Soal Gereja, Gereja Mesti Bercorak Khas Papua

Pater Neles Tebay.@WPNewsOrg

Agama Kristen sudah lama hadir di Tanah Papua. Berkat pewartaan Injil yang dimulai oleh para misionaris, banyak orang Papua sudah menjadi Kristen.Tandanya, kini banyak denominasi gereja yang anggotanya adalah orang Papua. Banyak pendeta dan pastor adalah orang asli Papua. Tetapi pertanyaan: Apakah dengan munculnya para pendeta dan pastor asli Papua, dengan sendirinya gereja sudah bercorak Papua?

Guna menjawab pertanyaan di atas, para pimpinan gereja yang berhimpun dalam wadah Persekutuan Gereja-Gereja Papua (PGGP) perlu menyelenggarakan diskusi untuk membahas dan menyepakati indikator-indikator yang akan dipakai untuk mengukur ada-tidaknya corak khas Papua pada gereja. Tulisan ini mengangkat empat indikator sebagai bahan untuk diskusi lebih lanjut.

Pertama, adanya keterbukaan terhadap budaya Papua. Gereja membuka dirinya kepada kebudayaan lokal di Tanah Papua. Berbekalkan sikap keterbukaan ini, gereja melaksanakan dialog dengan setiap kebudayaan lokal dimana dia berada. Mengedepankan jalan dialog, semua anggota gereja dengan sabar dan penuh kasih menyatakan rasa hormat terhadap setiap kebudayaan dan mempelajari berbagai unsur kebudayaan lokal.

Dengan demikian gereja dapat memahami kebudayaan setempat, menemukan nilai-nilai unggul (positif) budaya lokal yang menjadi dasar utama dan menopang hidup masyarakat setempat, dan mengenal kekhasan dari setiap kebudayaan. Gereja juga menemukan praktek-praktek dalam kebudayaan setempat yang berlawanan dengan nilai-nilai universal sehingga perlu diperbaharui oleh masyarakat setempat.

Dialog dengan kebudayaan lokal memungkinkan gereja menerima unsur-unsur kebudayaan lokal dalam kehidupan gereja. Penerimaan dan penghormatan terhadap kebudayaan lokal dinyatakan, antara lain, dengan mengggunakan ukiran-ukiran budaya setempat dalam gedung gereja, menggunakan lambang dan simbol budaya sebagai sarana pengungkapan iman umat, memuji Tuhan dalam ibadat melalui lagu-lagu rohani bahasa setempat,dan menggunakan nilai-nilai unggul dari budaya lokal dalam pewartaan. Semua praktek ini memperlihatkan bahwa suatu gereja sungguh menghormati orang setempat beserta kebudayaannya.

Kedua, adanya pemahaman secara menyeluruh terhadap keberadaan orang Papua. Gereja mesti mengenal orang Papua yang hidup di sekitarnya,dengan memahami sejarah hidup dan perkembangan mereka. Proses pembelajaran sejarah orang setempat akan membantu gereja untuk memahami keberadaan mereka pada masa kini.

Gereja dapat memahami sikap, tindakan, ketidaksenangan, tuntutan, ketakutan, kesenangan, aspirasi, dan harapan yang disampaikan orang setempat. Pemahaman inilah yang memungkinkan gereja menolak untuk ikut-ikutan menghakimi, menuduh, atau mencurigai orang setempat.

Gereja juga tidak terdorong menstigmatisasi terhadap orang setempat. Gereja malah merasa terpanggil untuk memberikan pemahaman kepada berbagai pihak tentang makna dan harapan yang disampaikan melalui sikap, tindakan, dan tuntutan orang setempat.

Ketiga, adanya pendampingan terhadap orang Papua yang sedang mengalami kegoncangan budaya. Hadir di tengah masyarakat Papua, gereja mesti melihat perubahan dan pergeseran nilai-nilai budaya yang sedang dialami oleh orang Papua. Dibanjiri dengan barang-barang baru, pengetahuan-pengetahuan baru, nilai-nilai baru, agama-agama baru, ajaran-ajaran baru, yang masuk bersama orang-orang baru, ketahanan budaya orang Papua mulai goncang.

Goncangan kultural ini diperparah dengan adanya pandangan bahwa kebudayaan lokal menghambat pembangunan atau menghalangi jalan menuju surga, sehingga orang setempat diajarkan untuk meninggalkan kebudayaannya demi kemajuan dan keselamatan. Pegangan hidup yang diatur dalam adat Papua tidak lagi menjadi satu-satunya pilihan karena ternyata sudah ada alternatif-alternatif lain yang ditawarkan oleh perkembangan baru. Goncangan budaya ini mengakibatkan terjadinya krisis identitas budaya.

Gereja tidak boleh menutup mata terhadap krisis kebudayaan yang sedang dialami orang Papua.Gereja juga tidak boleh membiarkan orang Papua bergumul sendirian krisis ini. Gereja tidak boleh terdorong untuk mempersalahkan budaya setempat. Gereja juga tidak mampu menahan atau menolak semua orang dan hal baru yang masuk ke Tanah Papua.

Dalam situasi krisis seperti ini, gereja berperan sebagai fasilitator yang memungkinkan orang Papua untuk menemukan dan menghargai nilai-nilai unggul yang terdapat dalam budayanya sendiri, agar mereka dapat menyadari dan menghadapi secara sadar perubahan sosial budaya yang sedang dialaminya,serta mencari dan menemukan pedoman dan pegangan hidup yang dapat membimbing hidup mereka melewati kegoncangan budaya.

Dengan demikian, orang Papua dapat menghadapi perubahan sosial budaya dengan berdiri kokoh di atas nilai-nilai unggul yang terdapat dalam kebudayaannya sendiri. Tentu, orang Papua juga perlu belajar dari pengalaman suku-suku lain dalam menghadapi krisis budaya.

Keempat, adanya solidaritas dengan para korban ketidakadilan di Tanah Papua. Hadir di Tanah Papua, Gereja mesti merasakan kegembiraan dan kesedihan, serta harapan dan kecemasan masyarakat Papua. Gereja turut berbangga ketika masyarakat mencapai keberhasilan dan mengukir prestasi dalam berbagai bidang pembangunan.

Gereja tidak kuat menyembunyikan kegembiraannya ketika rakyat Papua tenggelam dalam luapan kegembiraannya karena Persipura menjadi juara sepak bola pada Indonesian Soccer Leage (ISL). Gereja juga cepat merasakan nuansa dari setiap peristiwa yang mengorbankan nyawa manusia.

Gereja turut merasa pedih ketika ada penganiayaan terhadap orang Papua. Gereja memahami dan merasakan penderitaan masyarakat setempat atas peristiwa yang menimpa mereka. Gereja terpanggil untuk menyatakan nilai kasih kepada Allah dan sesama melalui tindakan solidaritas dengan para korban dari ketidakadilan.

Solidaritasnya dinyatakan, antara lain,dengan mendoakan para korban dalam ibadah, dan memberikan bantuan sesuai kemampuan gereja, dan dalam kerjasama dengan pihak-pihak lain yang berkehendak baik.

Gereja yang tidak memenuhi empat kriteria di atas – sekalipun seluruh jemaatnya dan pendeta/pastornya orang Papua – adalah gereja yang belum memiliki corak khas Papua. Gereja tanpa kekhasan Papua biasanya menjadi gereja yang asing di Tanah Papua. Dia jauh dari rakyat maka tidak ikut jatuh bangun bersama rakyat.

Gereja tanpa corak Papua, lebih mudah bekerjasama dengan penjahat, menjadi corong dari para penindas, dan mudah mengorbankan rakyat demi materi, dana, dan kekuasaan. Gereja seperti itu tidak akan terlibat dalam melakukan perlawanan terhadap ketidakadilan dan memperjuangkan keadilan, penghormatan HAM, dan upaya perwujudan Papua sebagai Tanah Damai.

Bagi saya, gereja yang memenuhi empat kriteria di atas adalah gereja yang sudah mempunyai corak khas Papua. Mungkin kebanyakan anggotanya adalah orang non-Papua. Pendeta atau pastornya juga orang non-Papua.

Tetapi, kalau sudah memenuhi empat kriteria di atas, gerejanya sudah bercorak Papua. Gereja tersebut sungguh hadir bukan hanya di Tanah Papua, tapi lebih dari itu hadir dalam hati orang Papua. Gereja tersebut merupakan bagian yang tak terpisahkan dari rakyat Papua.

Neles Tebay

_______________

Dosen pada STFT Fajar Timur di Abepura.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *