Westpapuanews.Org

Berita tangan pertama dari Tanah Papua

FRI - West PapuaPress Release

Statement Deklarasi Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-West Papua)

Front Rakyat Indonesia untuk West Papua atau FRI – West Papua adalah Aliansi Strategis Gerakan Rakyat di Indonesia untuk mendukung Kemerdekaan Papua. @FRI-West Papua.

Statement Deklarasi Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-WEST PAPUA)

Partai Pembebasan Rakyat, Pusat Perjuangan Rakyat Indonesia, PEMBEBASAN, Serikat Kebudayaan Masyarakat Indonesia, Lingkar Studi Sosialis, Perkumpulan Solidaritas Net

Mendukung Hak Menentukan Nasib Sendiri untuk Bangsa West Papua!

Salam Pembebasan Nasional Bangsa West Papua!

Amolongo, Nimo, Koyao, Koha, Kinaonak, Nare, Yepmum, Dormom, Tabea Mufa, Walak, Foi Moi, Wainambe, Nayaklak

Wa…wa…wa…wa…wa…wa..wa..wa..wa..wa!

“Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.”

Begitulah dinyatakan dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, namun kenyataan di tanah West Papua justru berkebalikan. Rakyat West Papua justru mengalami penjajahan. Pelaku penjajahan (kolonisasi) itu adalah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Meskipun Rakyat Indonesia korban penjajahan Belanda. Meskipun Rakyat Indonesia korban fasisme Jepang. Meskipun Rakyat Indonesia korban Rasisme kulit putih.  Akan tetapi, ingatan masa lalu tentang penindasan tak membuat Pemerintah Indonesia menjadi lebih manusiawi. Penipuan sejarah, diskriminasi, penyiksaan, pemenjaraan, pembunuhan dilakukan secara sistematis selama lebih dari 50an tahun.

Apa yang terjadi di Papua?

Sebagian besar dari rakyat Indonesia meyakini bahwa West Papua adalah Indonesia. Bukan! West Papua bukan Indonesia. Tak ada kebahagiaan bagi rakyat dan bangsa West Papua selama masih menjadi bagian NKRI. Dan, tak mungkin rakyat West Papua bisa hidup baik-baik saja jika  kecurangan dan penipuan atas sejarah masih terus berlangsung, diskriminasi rasial merajalela hingga semua lini, genosida terus berlanjut secara sistematis, dan perampokan kekayaan alam menghancurkan hajat hidup dan kebudayaan Bangsa Papua.

Kecurangan dan Penipuan Sejarah

Pada 27 Desember 1949 saat pengakuan kedaulatan Negara Republik Indonesia oleh Pemerintah Belanda, West Papua adalah koloni tak berpemerintahan sendiri dan diakui demikian oleh PBB dan Belanda, yang pada waktu itu menjadi penguasa administratif kolonialnya.

Rakyat West Papua telah mendeklarasikan kemerdekaannya pada 1 Desember 1961. Pada masa itu bangsa West Papua telah membentuk Dewan Nieuw Guinea Raad.  Deklarasi tersebut tak diakui oleh Pemerintah Soekarno yang menganggapnya sebagai Negara Boneka buatan Belanda. Akhirnya, Soekarno melakukan aneksasi terhadap West Papua melalui program Trikora (3 Komando Rakyat).

Di tahun 1963, ketika Indonesia mengambil alih tanggung jawab administratif atas West Papua, teritori itu tetap berstatus koloni tak berpemerintahan sendiri yang berhak atas penentuan nasib sendiri dibawah hukum internasional. Hak itu diakui oleh Indonesia dalam New York Agreement yang menguatkan fakta bahwa Indonesia tidak memiliki kedaulatan hukum atas West Papua. Keberadaan Indonesia di West Papua adalah administrasi kolonial yang bisa bersifat permanen hanya jika rakyat West Papua memilih integrasi melalui penentuan nasib sendiri dengan prosedur yang disyaratkan oleh hukum internasional.

Satu-satunya penentuan nasib sendiri yang dilakukan adalah PEPERA yang TIDAK SAH pada tahun 1969. TIDAK SAH, karena hanya 1022 orang (4 orang lainnya tidak ambil bagian) yang terlibat dalam pemungutan atau kurang dari 0,2% dari populasi Papua, yang dikondisikan setuju untuk integrasi dengan Indonesia.

Karena pengambilalihan tersebut TIDAK SAH, maka West Papua bukanlah bagian sah dari teritori Indonesia. Namun, teritori tak berpemerintahan sendiri di bawah pendudukan.

Diskriminasi Rasial

Rakyat Papua, mengalami diskriminasi rasial sebagaimana yang mereka alami di tanah Papua ataupun di luar seperti yang dialami oleh mahasiswa-mahasiswa Papua di Manado atau pun Yogyakarta, seperti yang baru-baru ini terjadi di Asrama Mahasiswa Papua di Kamasan Yogyakarta.

Ataupun diskriminasi rasial di tempat kerja, baik di lembaga pemerintahan dan perusahaan.

Diskriminasi rasial tersebut sudah dilakukan jauh-jauh hari, bahkan sebelum PEPERA berlangsung, sebagai mana pernyataan Ali Moertopo pada tahun 1966  “Indonesia tidak menginginkan orang Papua, Indonesia hanya menginginkan tanah dan sumber daya alam yang terdapat di dalam pulau Papua. Kalau orang Papua ingin merdeka, silahkan cari pulau lain di Pasifik untuk merdeka. Atau meminta orang Amerika untuk menyediakan tempat di bulan untuk orang-orang Papua menempati di sana”.

Ketika pejabat Negara membuat pernyataan rasial, tentu akan di ikuti oleh aparatus tingkat bawah, sebagaimana makian monyet kepada Obby Kogoya saat kepalanya diinjak oleh Polisi NKRI.

Genosida Perlahan

Selama 53 tahun lebih dari 500.000 orang Papua telah dibunuh.  Pembunuhan mulai terjadi sejak program Trikora dijalankan. Lalu dilanjutkan dengan penghancuran gerakan Fery Awom di tahun 1967.

Di Pegunungan Tinggi, TNI melakukan penembakan dan pengeboman terhadap penduduk Agimuga pada tahun 1977 karena melakukan pengibaran bendera bintang kejora. Setelah itu penduduk diisolasi, dibiarkan kelaparan, akibatnya ribuan meninggal dunia.

Kemudian disusul dengan pembunuhan di Enarotali, Obano, Moanemani dan Wamena akibatnya sebanyak 10.000 Jiwa penduduk Papua lari ke Papua New Guinea (PNG) demi menyelamatkan diri di tahun tahun 1977-1978 sampai awal 1980-an.

Arnorld C. Ap seorang aktifis dan seniman Papua yang bergerak dalam gerakan kebudayaan di tahun 1984 akhirnya ditangkap oleh Kopashanda. Mayat Arnold Ap ditemukan tergeletak di tengah hutan.

Pemberlakuan status Daerah Operasi Militer (DOM) bagi Papua. DOM di Papua diberlakukan sejak tahun 1978 sampai dengan tanggal 5 Oktober 1998. Pemberlakuan status DOM berakibat pada pembunuhan yang sistematis dan migrasi besar-besaran rakyat West Papua ke Papua Nugini.

Paska Kongres Rakyat Papua II pembunuhan terhadap pimpinan pergerakan dilakukan dengan berbagai cara.

Theys Eluay misalnya, diculik dari mobilnya kemudian jenazahnya dilemparkan. Kelly Kwalik  dibunuh di Timika meskipun dalam keadaan tidak bersenjata. Petrus Ayamiseba ditembak ketika momentum pemogokan buruh Freeport pada tahun 2011 lalu.

Mako Tabuni pimpinan KNPB ditembak oleh aparat setelah sebelum dijebak keluar dari sekretariat. Robert Jimau, aktivis yang mengkritik Jokowi karena tak kunjung merealisasikan janjinya memberi pasar untuk mama-mama dibunuh dengan cara ditabrak. Pola pembunuhan yang berkembang saat ini melalui rekayasa tabrak lari dan bunuh diri.

Hasil dari genosida “perlahan” ini membuat penduduk orang asli Papua (OAP) berkisar 48,7% dari total penduduk di West Papua.

Penangkapan, penyiksaan dan pemenjaraan

Dalam kurun waktu 2016 lebih dari 4000 orang ditangkap. Di tahun 1988 DR. Thomas Wanggai pendiri gerakan Papua Merdeka Bintang 16 berakhir dengan kematian di Penjara Cipinang. Puluhan tahanan politik di Papua hidup di penjara dengan kondisi yang mengenaskan. Filep Karma, tahanan politik belasan tahun menceritakan, “saya dipukul, disiksa dan ditelanjangi”.

Berbagai cara penyiksaan dilakukan. Baik dengan cara pemerkosaan. Atau sebelum pembunuhan dilakukan, perut korban dirobek hingga ususnya keluar, seperti yang dilakukan kepada Yawan Wayeni. Atau pimpinan KNPB Sorong yang dimasukan dalam karung lalu dibuang ke laut. Beberapa penelitian menyebutkan lebih dari 431 kasus penyiksaan dilakukan oleh aparat militer dan polisi NKRI.

Perampokan Kekayaan Alam

Secara ekonomi, sangat jelas terlihat penghisapan ekonomi dari sumber daya alam yang sangat besar di Papua. Seperti yang terjadi di hutan Wasior, eksploitasi kayu (ilegal loging) secara besar-besaran yang dilakukan oleh militer dan beberapa perusahaan lainnya mengakibatkan penggusuran terhadap tanah adat masyarakat di daerah tersebut. Protes dari masyarakat adat kemudian juga berakhir dengan penembakan dan mengakibatkan 6 orang meninggal dunia. Tragedi Wasior berdarah ini terjadi kurun waktu April-Oktober 2001.

Belum lagi Mega proyek Freeport MacMoran perusahaan yang mayoritas modalnya berasal dari AS, mulai mengembangkan proyeknya sejak tahun 1960an.

Perusahaan tambang emas dan tembaga ini sebenarnya memberikan keuntungan dari pajak industri mencapai US $ 700 juta – US $ 800 juta pertahun, bahkan dapat mencapai lebih dari US $ 1 Miliar. Belum lagi berbagai suku di Papua kehilangan tanah dan lahan penghidupan mereka karena adanya proyek MIFEE, sebagaimana yang dialami oleh marga Mahuze di Merauke.

West Papua adalah sebuah Bangsa

Dari kenyataan historis 1961, 1963 dan 1969 dan perkembangan penindasan paska PEPERA, kita harus mengakui : pertama, keberadaan NKRI di West Papua adalah ilegal; kedua, terjadi penjajahan di Papua selama 50-an tahun; ketiga, West Papua adalah sebuah Bangsa (nation).

“Nation” atau “Bangsa“ dalam sejarahnya terbentuk dari komunitas masyarakat yang stabil/tertentu, yang terbentuk berdasarkan sebuah kesamaan bahasa, teritori (wilayah), kehidupan ekonomi, dan perubahan psikologi, yang termanifestasikan dalam sebuah kebudayaan bersama”.

Kecurangan, penipuan sejarah, diskriminasi, penyiksaan, pemenjaraan, pembunuhan, dan genosida atau kue-kue “otonomi khusus” tak membuat perlawanan dan kehendak untuk Merdeka bagi bangsa West Papua surut. Sebaliknya, bangsa dan rakyat West Papua bersatu dalam representasi kekuatan politiknya dalam United Liberation Movement for West Papua (ULMWP).

Pengalaman (experience) dalam penindasan dan perjuangan yang mewujud dalam ULMWP merupakan bukti konkret bahwa West Papua sebagai sebuah Bangsa.

Adalah kemunafikan apabila kita atau pemerintah Indonesia bisa mendukung pembebasan Palestina tapi diam dan membiarkan penjajahan yang terjadi dalam bingkai teritori Indonesia. Oleh karena itu, tak ada lagi alasan menganggap West Papua sebagai bagian Indonesia baik dalam hukum internasional maupun secara politik.

Mengapa Penting Bersolidaritas bagi Bangsa West Papua?

Pertama, Dunia akan lebih baik dan indah apabila setiap bangsa tidak hidup dalam penjajahan dan dapat bekerjasama secara demokratis, adil dan setara.

Kedua, apa yang kita lihat di tanah West Papua adalah penindasan sistematis yang tidak manusiawi. Ketika kita berbicara kemanusiaan namun membiarkan penjajahan di atas tanah West Papua terus berlanjut, maka, sesungguhnya kita sedang bertindak tidak manusiawi.

Ketiga, solidaritas kami terhadap bangsa West Papua untuk menentukan nasibnya sendiri juga merupakan bagian dari perjuangan mendemokratisasikan rakyat dan bangsa Indonesia, memperjuangkan kesadaran kemanusiaan yang beradab terhadap rakyat dan bangsa Indonesia.

Keempat, solidaritas kami terhadap bangsa West Papua untuk menentukan nasib sendiri merupakan bagian dari perjuangan melawan Imperialisme dan Korporasi Internasional yang menyokong praktek kolonialisasi NKRI di tanah West Papua.

Kelima, solidaritas kami juga merupakan bagian dalam perjuangan melawan rasisme terhadap siapapun, termasuk bangsa West Papua.

Keenam, tidak ada jalan lain untuk menghentikan praktek kolonialisme dan militerisme di West Papua selain mendukung Hak Menentukan Nasib Sendiri.

Ketujuh, dan tidak ada jalan lain, yang lebih bermoral guna menghentikan genosida “perlahan” di West Papua selain mendukung Hak Menentukan Nasib sendiri.

Apa yang harus diperjuangkan?

Atas realitas yang terjadi di tanah West Papua kami meyakini jalan perjuangan yang harus ditempuh dalam perjuangan pembebasan nasional bangsa West Papua adalah, sebagai berikut:

  1. Mendukung Bangsa dan Rakyat West Papua untuk Menentukan Nasib Sendiri melalui mekanisme Referendum. Dan kepesertaan Referendum akan ditentukan oleh rakyat West Papua melalui representasi politiknya dalam ULMWP.
  2. Mendukung Keanggotaan ULMWP di Melanesia Spearhead Group, Pasific Island Forum dan  memperjuangkan keanggotaan ULMWP di PBB.
  3. Sebagai syarat yang tak terpisahkan bahwa militer organik dan non-organik di West Papua harus ditarik agar referendum di West Papua dapat berjalan secara damai, adil, dan tanpa tekanan.
  4. Kebebasan informasi, berekspresi, berorganisasi dan berpendapat bagi Bangsa West Papua harus dibuka lebar dan dijamin.
  5. Kami menolak intervensi imperialis dalam proses perjuangan demokratik West Papua.
  6. Kami juga menyerukan kepada dunia internasional untuk membangun konsolidasi solidaritas perjuangan hak menentukan nasib sendiri bagi bangsa West Papua.
  7. Kami juga menganjurkan kepada rakyat Indonesia yang bermukim di tanah West Papua untuk mendukung perjuangan bangsa Papua dalam menentukan nasibnya sendiri.
  8. Kami menolak politik rasial yang dilakukan oleh NKRI dan TNI/POLRI secara sistematis dan masif terhadap bangsa West Papua.
  9. Pendidikan gratis, perluasan sekolah dan universitas, kesehatan gratis, transportasi murah dan massal, dsb.

Akhirnya penting kami sampaikan, mari kita bersama-sama (Rakyat Indonesia, West Papua dan Dunia) bersatu untuk mengakhiri penipuan sejarah dan penderitaan di tanah West Papua.

Hormat diberi,

Hidup Bangsa West Papua!

Hidup Rakyat West Papua!

Jakarta, 29 November 2016

Surya Anta

Juru Bicara FRI-West Papua

One thought on “Statement Deklarasi Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-West Papua)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *