Natal Seorang Gerilyawan

Egianus Kogoya dan Philip Mark Mehrtens pada momentum Natal 25 Desember 2023 di hutan Ndugama / FACEBOOK

Di bawah langit yang gelap, aku duduk sendiri di hutan ini, meratapi nasib negeri tercinta yang terenggut oleh cengkeraman tentara kolonial. Tangisku bergema di antara pepohonan, sebuah lamento yang tercipta dari kehilangan yang terlalu dalam.

“O, tanah airku yang terluka, keluargaku yang merana, betapa sulitnya hatiku menanggung beban ini,” desahku dalam keheningan malam. Angin hutan seolah mengusap air mata yang terus mengalir di pipiku, membawa cerita kesedihan yang tak terlupakan.

“Dalam kehancuran ini, aku mencari kekuatan untuk melanjutkan perjuangan. Namun, hatiku rapuh seperti daun kering yang berguguran di musim gugur. Keluargaku, di mana kalian sekarang? Hanya angin malam yang menjawab ratapanku.”

Aku meraba-raba kegelapan, mencari getar kehidupan yang telah dicabut dari desaku. “Oh, bayangan keluargaku yang hilang, aku merindukan kehangatan kalian. Tetapi dalam hatiku, bara perjuangan masih menyala. Aku bersumpah, meski harus sendiri, aku takkan membiarkan cahaya keadilan padam. Lentera natal ini, simbol kekuatan kita, akan bersinar di tengah malam yang kelam.”

Ratapan ini melintasi pepohonan dan menggema di malam yang sunyi, sebagai bentuk penghormatan pada kehilangan yang mengguncang, dan sebagai seruan untuk keberanian melanjutkan perjuangan di bawah bayang-bayang penjajah.

Dalam kegelapan yang menyelimuti hutan aku merayakan Natal meski dalam duka. Lentera natal yang kugantungkan di cabang-cabang pohon menjadi saksi bisu atas perayaan yang tak seperti biasanya. Cahayanya yang lembut seolah menciptakan ruang kecil di antara bayangan, tempat di mana kenangan-kenangan manis keluargaku masih hidup.

“Aku tahu kalian tak lagi bersamaku secara fisik, tapi semangat kalian tetap hidup di dalam hatiku,” bisikku ke angin malam. Aku menyusun ranting-ranting cemara dan dedaunan kering menjadi hiasan improvisasi, menciptakan atmosfer Natal yang sederhana namun penuh makna.

Dalam suasana yang sunyi, aku membayangkan senyum hangat keluargaku saat merayakan Natal di rumah dulu. Aroma masakan tradisional dan tawa riang anak-anak membahagiakan hatiku, meski hanya sejenak dalam khayalan. “Kalian mungkin telah pergi, tapi kisah Natal kita masih terus berlanjut. Ini adalah perayaan kekuatan, harapan, dan kehangatan.”

Aku mengambil sekeping ubi dan secangkir air dari bekal perjalanan, menikmatinya di bawah cahaya gemerlap lentera natal. “Natal dalam duka bukanlah akhir, tetapi awal dari keputusan untuk terus melangkah. Kita mungkin terpisah oleh jarak dan waktu, tetapi semangat Natal tetap bersatu di dalam jiwa kita.”

Dalam kesepiannya, hutan ini menjadi saksi bisu perayaan yang penuh arti. Aku mengucapkan terima kasih atas kenangan-kenangan indah dan bersiap untuk melanjutkan perjuangan ini dengan semangat Natal yang kian menguat.

Memang di sini, di tengah hutan yang sunyi, rasanya seakan-akan dunia di luar melupakan keberadaanku dan saudara-saudaraku yang juga merayakan Natal dalam kesendirian. Angin hutan hanya memberikan bisikan lembut, tanpa jawaban pasti. “Apakah kota telah melupakan jeritan perjuangan kita? Apakah kegembiraan mereka hanya dimiliki oleh yang kaya dan kuat?”

Sambil memandang lentera natal yang gemerlap di tengah kegelapan, aku terus merenung. “Natal seharusnya menyatukan, bukan memisahkan. Di antara pepohonan ini, kita merayakan dengan sederhana, namun hati kita tetap merindukan sentuhan kehangatan yang hilang. Apakah mereka tahu betapa kita berjuang untuk hak kita sendiri di bawah bayang-bayang penjajah?”

Aku merasa terisolasi, tetapi tekadku semakin kuat. “Mungkin kita terlupakan oleh kota, tapi perjuangan kita takkan terlupakan. Mungkin mereka melupakan kita, tetapi kita takkan melupakan arti sesungguhnya dari Natal. Ini bukan hanya perayaan keagamaan, tetapi juga perayaan keberanian dan keteguhan hati.”

Dalam keheningan malam yang sunyi, aku bersumpah untuk terus melanjutkan perjuangan ini, meski dunia di luar sana mungkin tidak mengerti. Natal kita mungkin sunyi, tapi kita akan menjadikannya sebagai sumber kekuatan untuk melanjutkan perjalanan ini, memperjuangkan keadilan yang kita impikan.

Victor Yeimo
Jubir Internasional KNPB

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *