Westpapuanews.Org

Berita tangan pertama dari Tanah Papua

Otsus GagalPetisi Rakyat PapuaRasisme OtsusTolak Otsus Jilid II

Pernyataan Sikap Himpunan Pelajar Mahasiswa Kwiyawagi Bersatu (HPMKB) Se-Indonesia Tolak Otsus Jilid II

Himpunan Pelajar Mahasiswa Kwiyawagi Bersatu (HPMKB) Se-Indonesia menyatakan sikap Tolak Otsus Jilid II.@WPNewsOrg

PEPERA 1969 Ilegal dan Berikan Hak Penentuan Nasib Sendiri Bagi Bagi Bangsa Papua Barat Sebagai Solusi Demokratik.

West Papua telah menjadi wilayah konflik sejak awal dianeksasi kedalam wilayah Indonesia sejak 1961, Indonesia mengklaim secara sepihak bahwa wilayah West Papua adalah bagian sah dalam Negara Republik Indonesia, tetapi sejarah dengan tegas membuktikan sebaliknya; Bangsa West Papua bukanlah bagian sah dari Indonesia!

West Papua telah mendeklarasikan kemerdekaan sejak 1 desember 1961, namun kemerdekaan itu hanya bertahan 19 hari, dengan sikap angkuh dan dalil membebaskan wilayah West Papua dari praktek kolinialisme Belanda, Soekarno mengumandangkan “Operasi Trikora” di alun-alun utara Jogyakarta, Soekarna juga membentuk operasi Mandala yang dipimpin oleh Jenderal Soeharto pada saat itu.

Berbagai propaganda dan operasi militer dilakukan oleh pemerintah Indonesia pada saat itu untuk meng-aneksasi wilayah West Papua yang baru saja mendeklarasikan kemerdekaannya, berbagai perjanjian antara Indonesia, Belanda dan Amerika Serikat dilakukan tanpa melibatkan Rakyat asli West Papua, tujuannya hanya untuk menegosiasikan kekayaan alam yang terdapat di wilayah West Papua, salah satu hasil negosiasinya adalah pencurian terbesar dimuka bumi, yaitu “Freeport”.

Disaat yang sama, Indonesia mengirim militernya dalam jumlah banyak ke wilayah West Papua, tujuannya untuk mendukung propaganda Indonesia dipanggung Internasional dan meneror serta membunuh Rakyat West Papua yang pro kemerdekaan West Papua serta dengan tujuan untuk memenangkan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera/Act of Free Choice) 14 Juli 1969 yang kemudian hari dianggap oleh Rakyat West Papua sebagai Act of no Choice.

Alasan penolakan Rakyat West Papua terhadap hasil penentuan pendapat rakyat (PEPERA) sangat jelas, yaitu, ketidak-demokratisan dalam penyelenggaraannya, dalam penyelenggeraannya sangat bertentangan dengan hukum internasional, dimana setiap dewasa pria dan wanita di West Papua memiliki hak untuk memilih, seperti yang telah dibahas di dalam Perjanjian New York (New York Agreement), namun dalam pelaksanaannya Indonesia menggunakan cara lokal/curang yaitu musyawarah dengan hanya memilih 1.025 orang yang telah dipersiapkan untuk memilih Indonesia dan hanya 175 orang saja yang menyampaikan hak pilihnya dan membaca teks yang telah dipersiapkan oleh pemerintah Indonesia pada saat itu, sedangkan populasi orang dewasa di West Papua pada saat itu berjumlah 800.000 (delapan ratus ribu) jiwa.

Gelombang protes dan penolakan atas hasil penentuan pendapat rakyat (PEPERA) terus terjadi di seluruh wilayah West Papua, namun pemerintah Indonesia lewat militer yang telah dikirim ke wilayah West Papua menembak secara membabi buta ke arah para demonstran yang menyampaikan aspirasinya damai, penolakan terus terjadi hingga masa berakhirnya Jenderal Soeharto yang kemudian ditumbangkan oleh gerakan mahasiswa pro demokrasi di Indonesia.

Rakyat West Papua terus berjuang untuk memperoleh hak untuk menentukan nasibnya dengan cara-cara damai, namun berbagai upaya dan cara-cara damai yang disampaikan lewat demonstrasi damai terus dibungkam oleh negara Indonesia dan aparatusnya, pada tanggal 26 februari 1999 tim 100 utusan rakyat West Papua bertemu dengan presiden B.J Habibie untuk menyatakan akar masalah West Papua yaitu kesalahan sejarah terkait persoalan status politik dan menyampaikan niat rakyat West Papua untuk merdeka dan berdaulat penuh setara dengan bangsa-bangsa di seluruh dunia.

Namun keinginan dan tekad bulat dari rakyat West Papua untuk melepaskan diri dari pemerintah Indonesia justru dihianati oleh cara bermain dua kaki elit politik lokal di West Papua yang menghamba kepada elit Jakarta dengan kompromi politik yang kemudian mengeluarkan “gula-gula” berupa UU nomor 21 tahun 2001 tentang otonomi khusus (OTSUS) Papua.

Otonomi khusus yang telah berjalan selama 19 tahun telah terbukti tidak membawah perubahan apapun, khususnya bagi rakyat West Papua, kondisi objektif yang dialami rakyat West Papua sangat jauh dari kata sejahtera, berbagai pelanggaran hak asasi manusia (HAM) masih terus terjadi, hak-hak dasar Rakyat asli West Papua (OAP), kondisi kesehatan dan pendidikan yang begitu buruk menjadi bukti kuat bahwa otonomi khusus telah GAGAL di West Papua.

Maka dengan ini kami Himbunan Pelajar Mahasiswa Kwiyawage Bersatu Se- Indonesia (HPMKB) menuntut :

(1) Tolak OTSUS Jilid Dua!

(2) Berikan hak menentukan nasib sendiri sebagai solusi demokratis bagi bangsa West Papua!

(3) Bebaskan seluruh tahanan politik West Papua!

(4) Tarik TNI POLRI Organik dan non-organik Dari Nduga dan Seluruh Tanah Papua!

(5) Usut tuntas dan adili pelaku pelanggaran HAM di Papua!

(6) Cabut SK Rektor (Drop Out) terhadap 4 Mahasiswa Unkhair!

(7) Tutup Freeport, BP, LNG Tangguh, MNC, dan yang lainnya, yang Merupakan Dalang Kejahatan Kemanusiaan di atas Tanah Papua Barat.

Demikian pernyataan sikap ini dibuat, kami akan terus melakukan perlawanan terhadap segala bentuk penjajahan, pembungkaman, Diskriminasi, penindasan dan penghisapan, terhadap Rakyat dan Bangsa Papua Barat.

Papua 19 Juli 2020

Himpunan Pelajar Mahasiswa Kwiyawage Bersatu Se- Indonesia (HPMKB)