Westpapuanews.Org

Berita tangan pertama dari Tanah Papua

ArtikelSolidaritas IndonesiaTolak Otsus Jilid II

TNI-Polri Keparat: Bunuh Anak SMPN 1 Sugapa & Bubarkan PEMABA PERMAPPA Jember

Rakyat-Bangsa West Papua, kepadanya kami tundukan kepala, berbela sungkawa, dan mengheningkan cipta. Sejak Operasi Trikora 19 Desember 1961, bangsa yang telah merdeka, bermartabat dan berdaulat sekelebat merosot jadi spesies terhina. Di atas tanah airnya tidak lagi ditemui kebahagiaan apalagi kedamaian, melainkan prahara, sengsara, hingga berujung kematian yang mengerikan.

Sejak 1961-sekarang entah berapa ratus, ribu, atau juta orang jumlah nyawa yang melayang di sana. Semua tidak terkira: bukan karena tidak ada yang bisa mendata, tapi karena pendataannya dilarang atau data-datanya dimanipulasi begitu rupa. Pemalsuan sejarah pengiriman militer ke sana merupakan buktinya. Negera berkelakar bahwa TNI-Polri dikirim untuk pembebasan hingga pengamanan NKRI, padahal sesungguhnya: tidak lebih dari pelayanan terhadap aneka kepentingan pengusaha.

Demi melayani pemodal elit-elit negara ini berkuasa penuh cela. Mereka tidak hanya memanipulasi Pepera 1969, tapi juga Otsus 2001. Kedua keputusan ini dibuat bukan saja tidak demokratis, tapo juga kelahirannya meluapkan darah: (1) Pepera: dipaksakan melalui suap, intimidasi, teror, hingga pembunuhan; (2) Otsus, juga diselundupkan melalui pemaksaan, penekanan, bahkan dengan terlebih dahulu membunuh eksponen gerakan anti-Otsus: Theys Eluay. 

Tetapi sekarang rakyat Papua telah lebih berani, sadar, dan bersepakat. Bahwa tak saja Trikora yang dianggap sebagai awal mula penjajahan Indonesia terhadap bangsanya, tapi juga Pepera dan Otsus dianggap ilegal dan sesat. Bangsa West Papua sejak semula tidak ingin menjadi bagian dari NKRI, apalagi meminta Otsus segala. Daripada menjadi Bangsa Indonesia dan menerima dana segar otonomi mereka justru meminta Hak Menentukan Nasib Sendiri (HMNS).

Sejak beberapa tahun belakangan ini gerakan HMNS meletup berkali-kali hingga menjalar ke mana-mana–bukan hanya oleh rakyat di tanah Papua, tapi juga pelajar dan mahasiswa Papua yang berstudi di seabrek provinsi di Indonesia. Maka gugatan atas kejahatan negara dan tuntutan berkait referendum bergemuruh begitu rupa. Hanya kelas penguasa menanggapinya dengan memasifkan hegemoni aparatus ideologisnya dan menambah represifitas aparat bersenjatanya.

Melalui media, pendidikan, hukum, bahkan agama–disuntikan keyakinan-keyakinan naif, terutama berkait doktrin NKRI Harga Mati. Dalam saluran-saluran inilah aneka bentuk diskriminasi menampakan diri, termasuk rasisme yang dirawat sampai hari-hari ini. Hanya kekuasaan hegemonik walau arusnya tambah deras, tapi terhadap mayoritas rakyat-bangsa tertindas di Papua sana sudah tak mempan lagi. Penindasan, penderitaan, dan ancaman kematian yang berlangsung menahun mengajari mereka untuk melawan. Namun pemerintahan kolonial tidak mau dikalhkan. Maka TNI-Polri dikerahkan untuk menjamin keamanan kekuasaan.

Bertambah banyaknya aparat di sana mengharuskan penguasa membangun Kodim baru. Markas militer akan dibangun banyak sekali, maka diperlukan pemekaran wilayah terbaru pula. Kini di Papua sana rencana bacin pembangunan Kodim berbanding lurus dengan wacana busuk daerah otonomi baru. Penguasa menasbihkan kedua kebijakan itu bukan sekedar untuk mendukung pelaksanaan Otsus yang berjilid-jilid, tapi juga melemahkan gerakan dan persatuan Rakyat-Bangsa West Papua dalam memperjuangkan HMNS.

Bahkan dengan rencana memperbanyak markas serdadu dan menambah jumlah kabupaten dan provinsi, kelas penguasa sepertinya telah membagi-bagi daerah eksploitasi sumber daya alam terbarunya. Maka pembangunan dan investasi kemudian semakin bergema di atas kerusakan lingkungan dan kejahatan kemanusiaan yang menyembul-nyembul di sana. Aparatus represif negara berperan aktif di dalamnya. Tugas mereka tak sekedar menjaga stabilitas dan iklim bisnis, tapi juga membasmi yang dipandang menganggu hingga terlibat dalam ekspansi dan peniyiapan arena usaha. Penyisiran, penganiayaan, dan pengusiran paksa yang TNI-Polri gencarkan di Nduga, Intan Jaya, dan Puncak Jaya–merupakan buktinya.

Intan Jaya — Akrobat kekerasan pada ketiga kabupaten itu kian ke mari tambah gila saja. Tahun-tahun lalu: ayah, pendeta, perempuan sakit bisa-bisanya dimangsa. Dan masuk tahun baru: pemuda-mahasiswa hingga pelajar ikut disasar pula. Terbaru: Sabtu (6/3) kemarin, pelajar bernama Melianus Nayagau tewas ditembak tentara dari Batalyon Infanteri Raider 715/MTL. Dengan alasan memburu TPNBP-OPM, gerombolan serdadu menggerayangi pemukiman warga. Berkeliarannya penjagal membuat banyak penduduk ketakutan. Suara ledakan peluru memurka di udara. Arah tembakannya membabi-buta ke mana-mana.

Berada dalam suasana seperti itulah bocah kelas 2 SMPN 1 Sugapa diterjang amunisi serdadu. Tertembak dari jarak yang tidak terlalu jauh, kontan tubuh kecilnya melayang dihantam peluru. Kekuatan tembakan mendorong badannya mengudara hingga terpelanting jatuh. Terkapar di tanah, dirinya ditemukan bersimbah darah dengan nyawa yang sudah ditanggalkan. Terhadap bocah ini tembakan aparat berhasil mencetak kematian. Sedang pada banyak warga Pesiga dan Magalogae, sirkus bersenjata mampu memaksa mereka berhamburan lari ke hutan. Rumah dan harta-benda ditinggalkan begitu saja demi keselamatan.

Di sana aparat bersenjata lebih berbahaya dari apapun. Menjalarnya corona bahkan tidak terlalu menjadi ancaman bagi warga ketimbang militer dan kepolisian yang terus melancarkan serangan. Dibanding virus aparat rupanya lebih ganas dan perbuatannya sangat sadis nan kejam. Setelah bocah SMP dibunuh dan warga diusir, ulahnya dicarikan alasan untuk berkelit bahkan membenarkan.

Maka seperti pembunuhan Pendeta Yeremia Zanambani, dibunuhnya Melianus Nayagau coba dibikin memutih. Itulah mengapa seabrek media penguasa tidak mewartakan Nayagau sebagai anak SMP, melainkan anggota dari TPNPB-OPM. Kebacutnya tentara pembebasan itu distigma sebagai KKB (Kelompok Kriminal Bersenjata)–maka penyisiran dusun, pengusiran warga, dan pembunuhan pelajar mau dibenarkan.

Pemerintah begitu bedebah: aparat yang melakukan kejahatan tidak dicela apalagi disanksi, melainkan dipuji dan dibela. Menjadi ‘anjing penjaga’ kekuasaan, memang telah lama aparatus represif negara disayang. Jika anjing peliharaan dimanjakan tuannya  dengan daging dan tulang, maka anjing negara dijinakan kekuasaan menggunakan pangkat, kedudukan, dan anggaran atau uang. Semua ini akan diberikan kalau aparat melayani kepentingan penguasa. Hanya dilayaninya pemegang kuasa membuatnya tak punya pilihan selain berperan sebagai pemangsa. 

Melalui klasifikasi kekuasaan gampang sekali memerintahkan aparatmya untuk menyerang siapa-siapa yang mengusik ketentramannya. Jika di Intan Jaya pengejaran TPNPB-OPM menjadi apologi menembak membabi buta dan mengusir warga, maka di Jember meletus insiden yang tak kalah bebal dan bajingan pula.

Jember — Sabtu (6/3), Persatuan Pelajar dan Mahasiswa Papua (PERMAPPA) Jember menggelar acara Penerimaan Anggota Baru (PEMABA) 202. Kegiatan ini dirangkai dengan Konferensi Pers bertema: ‘Tolak Otsus Jilid II, Pemekaran DOB, dan Berikan HMNS bagi Bangsa West Papua sebagai Solusi Demokratis’.

Senasib dengan IMAPA Mataram tempo hari: tajuk yang diangkat PERMAPPA Jember meresahkan kekuasaan, hingga aparat setempat datang merecoki dan membubarkan konferensi. Pukul 14:30 WIB, TNI-Polri memulai intervensi. Para bedebah ini tidak langsung menekan mahasiswa, tapi melalui wartawan yang dikirimi undangan peliputan. Akibatnya: jurnalis yang semula akan hadir meliput kontan berubah pikiran, bahkan ia setengah mendesak supaya konferensi dibatalkan.

Setelah dikooptasinya pihak media, pukul 15.00 WIB ternyata mereka menambah serangannya. Kali ini tentara, polisi, intelijen mengajak ormas reaksioner untuk menebar teror dan intimidasi sekitar lokasi PEMABA 202. Kehadirannya tidak saja memprovoksi masyarakat setempat untuk bergerombol mengelilingi tempat acara PERMAPPA, tapi juga menekan pemilik tempat yang digunakan berkegiatan untuk menghentikan PEMABA–terutama konferensi pelajar dan mahasiswa Papua.

Meski diminta berhenti, tapi kawan-kawan PERMAPPA berhasil meyakinkan pemilik tempat untuk mengijinkan berlangsungnya acara sampai selesai. Hanya pukul 15.56 WIB, seorang berpakaian dan berperingai preman tetiba menerabas jalannya penyampaian materi. Dengan menyaru sebagai warga setempat dia masuk ke ruangan sambil berteriak-teriak, menebar ancaman, dan terus memaksa agar kegiatan segera berhenti.

Tetapi kawan-kawan pelajar dan mahasiswa Papua tidak menghiraukan tebaran pernyataannya. Orang tak dikenal itu lantas diajak bicara baik-baik, hingga berhasil diarahkan keluar dari ruangan acara. Tidak dapat membubarkan kegiatan memakai orang-orang suruhan, aparat kemudian tidak lantws menyerah. Pukul 17.00 WIB, mereka memicu ketegangan. Kali ini tentara, polisi, dan ormas reaksionerlah yang menerobos jalannya kegiatan.

Diganggunya acara oleh banyak kaki-tangan kekuasaan memaksa kawan-kawan pelajar dan mahasiswa Papua bereaksi. Keributan pun terjadi. Masyarakat yang semula telah dipengaruhi oleh polisi hadir bergerombol menyaksikan apa yang terjadi di lokasi. Keadaan ini membuat posisi PERMAPPA tersubordinasi. Aparat sejak awal soalnya telah menabar stigma yang bukan-bukan terhadap kegiatan PEMABA, terutama konferensi. Dilabelinya acara itu tidak hanya ilegal, melainkan pula beraroma berbahaya bagi ketertiban dan kemananan.

Seperti terpojok, PERMAPPA lalu buru-buru menyampaikan sikap politik dan mengakhiri acara. Sekitar 17.30 WIB, pernyataan sikapnya itu disampaikan di hadapan aneka aparat represif, ormas reaksioner, dan kerumunan warga.

PERNYATAAN SIKAP

PERSATUAN MAHASISWA DAN PELAJAR PAPUA (PERMAPPA) KOTA STUDI KABUPATEN JEMBER

“Tolak Otsus Jilid II, Pemekaran Daerah Otonomi Baru, dan Berikan Hak Menentukan Nasib Sendiri bagi Bangsa West Papua sebagai Solusi Demokratis”

Amolongo, Nimo, Koyao, Koha, Kinaonak, Nare, Yepmum, Dormum, Tabea Mufa, Walak, Foi Moi, Wainambe, Nayaklak

Wawawawawawa.. Wa.. Wa.. Wa.. Wa..!

Kejahatan sistem negara kolonial Indonesia, dibantu oleh negara-negara sekutu melakukan penjajahan di atas tanah air West Papua, dimana Bangsa West Papua sudah merdeka secara de facto dan de jure, yaitu 1 Desember 1961. Namun kemerdekaan itu hanya dinikmati 18 hari saja. Kemudian 19 Desember 1961 Dr. Ir. H. Soekarno mengeluarkan Dekrit Trikora kepada Jenderal Besar TNI H. M. Soeharto, awal operasi militeris Indonesia dan malapetaka bagi bangsa West Papua.

Tapi bagi Indonesia Trikora sebagai kemenangan itu kejahatan pembunuhan, dan eksploitasi bagi west Papua, terjadi hanya karena nafsu Ekonomi kapitalis untuk mengambil kekayaan alam di West Papua hal itu terjadi perjanjian-perjanjian ilegal tanpa melibatkan orang Asli Papua (OAP) sebagai (objek) hak atas status wilayah West Papua hal itu terjadi 15 Agustus 1962, (New York Agreement), dan 30 Desember 1962 (Roma Agreement) bahkan praktek kesepakatan itu dilakukan secara sepihak dan pembungkaman ruang esensi demokrasi.

Selanjutnya otoritas Eksekutif sementara PBB (UNTEA) dipegang dan dikelola penuh oleh kolonialistik Indonesia pada 1 Mei 1963 sebagai hari integrasi wilayah West Papua ke tangan Kolonial Indonesia. Di sinilah titik penjajahan terhadap Bangsa West Papua, penuh moncong senjata dengan tekanan represifitas, kriminalitas, rasialisme. Lebih ironis terjadi penandatanganan PT Freeport Indonesia 7 April 1967, dua tahun sebelum Pepera 1969, pembungkaman ruang demokrasi, Hak-Hak Orang Papua dimainkan, ditiadakan oleh keinginan nafsu kolonialisme Indonesia, sehingga praktek Pepera 1969 penuh dengan cacat hukum dan hancurnya moral esensi demokrasi. 

Selanjutnya, secara de facto dan de jure 1 Juli 1971 (proklamasi kemerdekaan Bangsa West Papua). Namun militeris Indonesia membubarkan secara paksa. Bentuk-bentuk perlawanan rakyat bangsa West Papua terhadap penjajah kolonialisme Indonesia itu terus menyala subur hingga saat ini. Namun Indonesia tidak mengakui kedaulatan suara rakyat West Papua atas permintaan saat ini yaitu tentang Hak Penentuan Nasip Sendiri (Self Dermination), sistem negara Indonesia terus menerus, memaksakan, manawarkan uang, UU dan DOB, salah satunya mengeluarkan UU Nomor 21 Tahun 2001 yang telah diubah dengan Perpu No. 1 Tahun 2008. UU 21/2001 yang terdiri dari 79 pasal ini mengatur kewenangan-kewenangan Provinsi Papua dalam menjalankan Otonomi Khusus. Namun Otsus hadir guna menutupi atas kejahatan eksploitasi pelanggaran HAM serta manipulatif sejarah dan bentuk rasisme terhadap harga mantabat Orang Asli Papua (OAP).

Terbukti Otsus itu justru menambah kekerasan, tingkat jaminan hak-hak orang Papua dihilangkan termasuk Tanah, Air, Hutan Ulayat, menjadikan rakyat West Papua minoritas di atas tanah West Papua, bahkan penutur bahasa, budaya dan tradisi ditelan atas kehadiran sistem-praktek NKRI harga mati, kegagalan Otsus terjadi depopulasi penduduk Orang Asli Papua (OAP) dimana data statistik nasional angka kemiskinan provinsi Papua dan Papua Barat berada di tingkat No. 1 dan 2, sebentar operasi militerisme Indonesia terus terjadi seperti operasi militer Biak Berdarah, Wamena Berdarah, Nduga Berdarah, Abepura Berdarah, Paniai Berdarah, dan Wasior Berdarah, Intan Jaya Berdarah dan operasi-operasi militerisme Indonesia di seluruh tanah air West sementara itu angka imigrasi ilegal dan non ilegal di atas tanah air west Papua setiap tahun meningkat dan bertambah.

Akibatnya orang Papua disingkirkan, alat-alat produksi dan perdagangan pasar lebih dominan dipegang dan dikendalikan oleh orang (imigran)/penguasa, serta kegagalan akses kesehatan yaitu angka kematian OAP meningkat setiap tahun, gizi buruk, HIV/AIDS kepada rakyat West Papua, akses pendidikan setiap sekolah didoktrinasi NKRI Harga Mati oleh aparat TNI/POLRI menjadi guru sehingga menganggu psikologi dan kebebasan hak belajar dan berpendidikan kepada rakyat Papua, kegagalan jaminan hak-hak orang Papua di bawah berlakunya Otsus 20 tahun berjalan selama ini.

Elit politik borjuis Jakarta-Papua dengan gigihnya bernafsu, rencana membuka dan lanjutkan Otsus jilid II dan Daerah Otonom Baru (DOB) seperti pemekaran provinsi, kabupaten tidak berdasarkan analisis ilmiah dan jumlah penduduk wilayah, realitas SDM dan aspek lainnya dan ini merupakan praktek wujud penyebaran dan memperluas penjajahan baru, membuka akses investor kapitalistik, merusak memusnahkan tatanan budaya, sosial dan politik orang West Papua.

Penindasan secara sistematis yang dialami oleh rakyat Papua terus berlangsung tanpa diketahui dunia luar, ditambah dengan disahkannya Undang-Undang Omnibus Law oleh DPR RI demi melancarkan aktivitas keluar-masuk investasi, tentu akan memperparah situasi yang dialami oleh rakyat Papua saat ini, dimana hak hidup masyarakat adat yang terdapat di seluruh tanah Papua akan dikuasai negara demi kepentingan kapitalisme internasional. Oleh sebab itu, kami yang tergabung di dalam Persatuan Mahasiswa dan Pelajar Papua (PERMAPPA) Kota Studi Jember menuntut agar segera:

1. Menuntut kepada Negara Indonesia sebagai negara hukum dan Negara Demokratis, segera mengadakan mekanisme REFERENDUM di atas tanah Papua untuk mengakhiri segala bentuk penindasan, pembunuhan dan perampasan hak-hak orang Papua, oleh karena itu, untuk menentukan penentuan nasib sendiri sebagai Negara yang Berdaulat dan Bermartabat agar orang Papua atur dirinya sendiri tanpa diintervensi oleh negara luar manapun dan termasuk Negara Indonesia.

2. Hentikan operasi militer di Nduga, Intan Jaya dan Puncak Ilaga dan seluruh Tetorial Tanah West Papua.

3. Presiden Joko Wiodo segera tarik TNI-POLRI di atas tanah Papua.

3. Menolak Otsus Jilid II dan menolak Pemekaran Daerah Otonomi Baru di atas tanah Papua.

4. Hentikan perusahaan ilegal yang operasi di atas tanah West Papua

5. Tolak PT Blok Wabu di Intan Jaya.

6. Hentikan diskriminasi terhadap aktivis Papua.

7. Segera bebaskan tahanan politik di seluruh tanah Papua.

8. Tarik militer organik dan non-organik di atas tanah Papua.

9. Mengutuk keras kepada elit politik Papua yang mengatas namakan rakyat Papua untuk melanjutkan Otsud II dan Daerah Otonomi Baru di atas tanah Papua.

10. Mendukung Petisi Rakyat Papua sebagai representasi Suara Rakyat Papua.

11. Pemerintah Indonesia segera membuka akses jurnalis Nasional dan Internasional di atas tanah Papua.

12. Hentikan pembangunan Kidim di atas tanah Papua.

13. Menuntut Pemerintah Indonesia segera berikan akses ke Tim Pencari Fakta Dewan HAM PBB (UN-CHR) ke West Papua.

14. Berikan Hak Penentuan Nasip Sendiri bagi Bangsa Rakyat West Papua sebagai Solusi Paling Demokratis.

Demikian pernyataan ini kami buat.

Medan Juang, 6 Maret 2021

Persatuan Pelajar dan Mahasiswa Papua (PERMAPPA) Kota Studi Kabupaten Jember

sumber: Independent Movement