Semarang — Petisi Rakyat Papua (PRP), sebuah gerakan yang di dalamnya bergabung 108 elemen pro-demokrasi: organisasi, suku, komunitas, hingga solidaritas. Pada Jum’at (5/3), mereka mengalirkan protes. Dengan bertajuk ‘Tolak Otonomi Khusus (Otsus) Jilid II dan Berikan Hak Menentukan Nasib Sendiri (HMNS) sebagai Solusi Demokratis bagi Bangsa West Papua’, aksi massa dilaksanakan di Kota Semarang.
Mula-mula peserta aksi berkumpul di Patung Kuda Universitas Diponegoro Pleburan Semarang. Sejak 06.00 WIB mereka satu per satu mulai berdatangan. Massa berasal bukan saja dari dalam daerah, melainkan pula dari daerah-daerah sekitarnya. Kehadirannya di titik kumpul membawa sikap yang sama: berpihak kepada rakyat-bangsa tertindas–West Papua.
Sampai pukul 08.30 WIB, massa berhenti berdatangan karena sudah berkumpul semua di lapangan. Barisan kemudian disiapkan dan peralatan aksi dikeluarkan. Korlap aksi lantas membuka bicara. Kepada massa diberitahukan kembali apa yang saat teklap disepakati: ‘aksi akan dimulai dengan long march’. Maka barisan dipasangi tali komando agar perjalanan tertib dan aman.
Hanya ketika gerakan PRP ingin membuka long march, tiba-tiba aparat represif negara menghalang-halangi. Sejak awal titik kumpul memang telah dikepung polisi pamong praja, tentara dan polisi. Pukul 09.00 WIB, massa dihadangnya oleh para bedebah ini menggubakan mobil komando dari Polresta Semarang. Sementara di sekeliling puluhan aparat berseragam dan berpakaian preman mengepung.
Kala itu bukan saja long march yang tidak bisa dilancarkan, tapi juga orasi tak dibiarkan. Bunyi megaphon soalnya kalah kuat dengan suara sound system yang diputar keras-keras di atas mokom kepolisian. Di atas mokom-nya, aparat membunyikan apa saja untuk merecoki aksi. Bahkan dengan pengeras suara yang dimilikinya, polisi mencibir, menyela, dan memaksa massa membubarkan diri.
Desakan untuk bubar tidak dituruti massa PRP. Karena aksi dijamin oleh komstirusi dan dipandang sebagai bagaian dari hak demokratis, terutama untuk menyampaikan aspirasi. Hanya aparat yang menaggapnya sebagai mangacaukan ketertiban umum hingga melanggar protokol kesehatan segala. Dengan dalih inilah gerakan kemudian tak sekedar dihadang, melainkan pula dibubarkan paksa dan sebagian kawan gerakan ditangkap seenak jidadnya.
Perlindungan terhadap kekuasaan dilaksanakan aparat represif negara negitu rupa: Satpol PP menegakan peraturan daerah secara arbiter, TNI nekad mengintervensi demo, dan Polri bukan menegakan keadilan tapi merebakan ketidakadilan. Maka meski punya tupoksi berbeda-berbeda, namun menghadapi massa mereka mendadak berperan serupa: bebal, banal, dan brutal.
Pukul 10.30 WIB, massa aksi mulai diserang, dibubarkan, dan ditangkap. 20 orang asli Papua bersama anak-anak muda Indonesia diangkut ke mobil Dalmas. Sementara massa lainnya terus dikejar secara beringas. Suasana na’as mengharuskan gerakan sejenak mundur.
Dalam mundurnya massa aksi, mereka tidak pulang. Tapi tetap berada di titik aman untuk memikirkan keadaan 20 temannya yang telah diseret menuju Polresta Semarang. Pikiran-pikiran itu kemudian didiskusikan secara cekatan. Hasilnya: tercapai keputusan bersama buat bernegosiasi dengan aparat kepolisian.
Setelah bernegosiasi dengan polisi maka pukul 12.30 WIB, 19 peserta aksi dibebaskan. Sementara 1 orang lainnya masih ditahan. Kepada polisi PRP lalu mengancam: tidak akan meninggalkan kantor kepolisian sebelum seorang kawannya dikeluarkan. Terus ditekan akhirnya 25 menit kemudian Polresta Semarang membebaskan semua demonstran yang ditangkap dan ditahan.
Berhasil mendapatkan kembali 20 kawan, selanjutnya gerakan PRP membacakan pernyataan sikap sekaligus tuntutan. Adapun isinya demikian:
PETISI RAKYAT PAPUA (PRP)
“Tolak Otonomi Khusus Jilid II dan Berikan Hak Menentukan Nasib Sendiri sebagai Solusi Demokratis bagi Bangsa West Papua”
Sejak awal keberadaan Indonesia dan segala hukum positif dan turunannya tidak berdasarkan kehendak Rakyat-Bangsa West Papua dan semuanya dipaksakan di atas tanahh Papua, di balik tindakan ini menimbul ribuan nyawa manusia Papua dikorbankan. Begitu juga memasuki Era Otonomi Khusus (OTSUS) yang menjadi politik kompromi Jakarta untuk menutupi tuntutan nurani Rakyat Papua untuk hidup bebas sebagai Bangsa yang merdeka.
Setelah runtuhnya rezim otoriter, Soeharto, Rakyat-Bangsa West Papua sudah mengalami penderitaan sejak tahun 1960-an hingga saat ini, dan perjuangan Rakyat Papua untuk meraih kemerdekaan tetap hingga saat ini. Niat persatuan untuk memperoleh kemerdekaan ini dibuktikan dengan peristiwa politik penting, seperti mengelar Kongres Rakyat Papua yang mengangkat Theys Elluay, sebagai pimpinan dewan Presidium Papua.
Tujuan pembentukan ini, untuk mempersiapkan hal-hal yang terkait dengan keinginan Rakyat dan mengajukan kepada Negara Republik Indenesia. Theys sebagai pimpinan tidak bertahan lama, Dia dibunuh oleh Kopasus atas perintah Megawati Soekarno Putri, waktu itu dia berjabat sebagai Presiden mengantikan B. J. Habibie. Setelah kematian tokoh sentral ini, tuntutan kemerdekaan Rakyat Papua dibungkam dengan ditandatangi Undang-Undang No.1 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (OTSUS) oleh Presiden Megawati Soekarno Putri.
Sejak tahun 2001 Otsus berlaku di Papua menimbulkan berbagai masalah yang, terutama masalah sosial: kemiskinan, kualitas pendidikan rendah, kesehatan yang buruk dan pelayanan dalam sekotor publik yang tak menyentuh pada Rakyat kecil. Otsus hadir tidak menjamin, hak masyarakat adat sehingga tanah dan hutan Papua dikeruk untuk kepentingan kapital dan elit Jakarta. Penegakan hukum yang diskriminatif, pembungkaman ruang demokrasi, pembatasan akses jurnalis dan terjadinya operasi militer di Nduga, Intan Jaya, Puncak Jaya dan seluruh tanah West Papua, banyak masalah lain, ini semua terjadi pada Era Otsus.
Sekarang memasuki tahun yang ke-20 berlakunya Otsus dan berjalan nyata telah gagal kerena menunjukan Otsus menjadi agenda etnosida (pemusnahan bangsa) terhada Bangsa Papua. Otsus telah gagal dalam konteks pengelolaan maupun penerapannnya sehingga layaknya untuk ditolak dan tidak dilanjutkan jilid berikutnya. Negara Indonesia harus memberikan hak menentukan nasib sendiri kepada bangsa Papua, ini bentuk dari Negara demokrasi dan sesuai Pembukaan konstitusi Indonesia “Penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan”.
Bila Otsus dilanjutkan jilid yang ke-2 atas keinginan elit lokal Papua dan Jakarta, dengan alasan klasik: keadilan, kemakmuran dan kesejahteraan untuk Rakyat Papua, tetapi 20 tuhuan OTSUS berlakunya hidup Rakyat Papua semakin menderita. Maka penolakan terhadap perpanjangan Otonomi Khusus (OTSUS) adalah hal sangat masuk akal dan mendasar, kami serukan kepada Jakarta segera menggelar Referendum di Papua sebagai bagian dari menghargai suara Rakyat Papua yang melakukan penolakan terhadap Otonomi Khusus (Otsus). Jika negara ngotot melanjutkan Ltsus, maka negara sedang mendesain pemusnahan hidup Rakyat Papua di atas tanah airnya.
Dengan ini, kami yang tergabung dalam Petisi Pakyat Papua, menuntut dengan tegas:
1. Berikan Hak Menentukan Nasib Sebagai Solusi Demokratis bagi Bangsa West Papua.
2. Tolak Otonomi Khusus Jilid 2.
3. Tuntaskan dan Adili Pelaku Pelanggaran HAM di Papua.
4. Hentikan Operasi Militer di Nduga, Intan Jaya, Puncak Jaya, Puncak Papua, dan seluruh wilayah West Papua lainnya.
5. Hentikan segala bentuk perampasan tanah dan sumber daya alam di West Papua.
6. Hentikan kriminalisasi Aktivis Pro-Demokratis.
7. Akui bahwa Bangsa West Papua telah Merdeka sejak 1 Desember 1961 dan kembalikan Hak Manifesto Kebangsaan West Papua.
8. Tarik militer organik dan non-organik dari seluruh Tanah West Papua.
9. Tutup Freeport, BP, LNG Tangguh, Mncs, Mife, Blok Wabu, dan lainnya, yang menjadi dalang kejahatan kemanusiaan di West Papua.
10. PBB harus membuat Resolusi intuk mengembalikan Kemerdekaan Bangsa West Papua yang telah menyatakan kemerdekaan pada 1 Desember 1961 sesuai dengan Hukum Internasional.
11. Berikan ruang demokrasi dan akses bagi jurnalis dan media nasional dan internasional di West Papua.
12. Hentikan nerbagai diskriminasi rasial dan program Kolonial Indonesia di West Papua.
13. Stop Pemekaran Kabupaten dan Provinsi di West Papua.
14. Bebaskan seluruh Tahanan Politik West Papua.
15. Cabut UU Omnibus Law.
Medan Juang, 05 Maret 2021
Petisi Rakyat Papua (PRP)
Sumber: Independent Movement