
West Papua, Globalindo.Net // Benny Wenda Presiden Pemerintah Sementara West Papua ULMWP Menanggapi peristiwa kontak senjata tentara papua dengan militer kolonial Indonesia yang dampaknya masyarakat sipil 4 Distrik di pania harus meninggalkan tempat tinggal mereka lari ke hutan demi melindungi diri mereka dari ancaman terorisme Indonesia terhadap rakyat bangsa Papua pada 14 Juni 2024 di Paniai papua yang diterima media Globalindo.net
Presiden Wenda, menambahkan Dalam pengungsian internal terbaru, lebih dari 5000 warga sipil Papua di Paniai terpaksa meninggalkan rumah mereka akibat serangan militer Indonesia. Laki-laki, perempuan, dan anak-anak berpencar, ada yang bersembunyi di semak-semak, ada pula yang berlindung di kompleks Gereja Katolik setempat. Lima belas desa telah benar-benar kosong dari tempat tinggal mereka.
Sementara itu 5000 warga Papua di Paniai ini menambah lebih dari 100,000 warga Papua Barat yang mengungsi sejak tahun 2018, menjadi pengungsi di tanah leluhur mereka sendiri. Di seluruh Papua Barat, dari Intan Jaya hingga Nduga, Maybrat hingga Puncak, masyarakat Papua melarikan diri ke hutan, meninggalkan keluarga dan desa mereka. Lebih dari 1.200 orang meninggal karena kondisi hutan yang buruk. Banyak bayi meninggal karena persalinan menjadi berbahaya karena kurangnya fasilitas medis. Persediaan makanan dan air terbatas. Gereja, sekolah, dan rumah sakit semuanya telah diubah menjadi pos militer Indonesia – sebuah kejahatan menurut hukum internasional. Banyak warga sipil kini menetap di tempat mereka mengungsi, terpaksa memulai hidup baru jauh dari keluarga dan suku mereka tambahnya

Wenda menyinggung Dukungan Indonesia terhadap Palestina adalah murni kemunafikan. Krisis pengungsian di Papua Barat telah menjangkau seluruh pelosok negara kita, mulai dari dataran tinggi, pesisir, hingga pulau-pulau kecil dan terpencil. Setiap minggunya selalu ada berita mengenai evakuasi massal, karena masyarakat Papua yang ketakutan melarikan diri dari kekerasan militer Indonesia. Namun Indonesia mengutuk perpindahan Israel di Gaza. Apa yang terjadi di Gaza juga terjadi di Papua Barat. Komite Hak Asasi Manusia PBB baru-baru ini mengutuk pembunuhan di luar hukum yang dilakukan Indonesia terhadap warga West Papua: sekarang pertimbangkan apa yang akan ditemukan oleh Komisaris Tinggi jika Indonesia mengizinkannya mengakses ke West Papua.
Dunia perlu memberikan perhatian yang lebih besar terhadap krisis pengungsi yang sedang terjadi di negara saya. Militer Indonesia menggunakan pemerkosaan sebagai senjata perang dan penyiksaan sebagai ‘cara pemerintahan’. Mereka tidak pernah menginginkan orang Papua, hanya sumber daya kami. Hanya dengan mengusir masyarakat, pemerintah bisa mencuri emas, tembaga, nikel, dan kayu kita. Papua Barat bukan sekadar wilayah kedaulatan Indonesia. Negara ini berada di bawah pendudukan militer, dan hanya bisa diamankan melalui kekuatan militer yang terus-menerus. Inilah sebabnya mengapa 450 tentara lainnya dikerahkan ke sana minggu ini. Papua Barat adalah zona yang paling banyak dimiliterisasi di Pasifik.

Atas nama pemerintah sementara ULMWP dan rakyat West Papua, saya menyampaikan tuntutan sederhana berikut ini kepada Indonesia: Untuk segera menarik militernya agar 5000 pengungsi Paniai bisa kembali ke kampung halamannya. Untuk segera memfasilitasi kunjungan Komisaris Tinggi Hak Asasi Manusia PBB ke Papua Barat, sesuai dengan permintaan lebih dari 100 negara. Untuk mencabut larangan mereka terhadap LSM internasional dan mengizinkan Amnesty International, Palang Merah, dan lainnya untuk melapor dari West Papua dan menawarkan dukungan kepada pengungsi West Papua. Untuk menghentikan pemadaman media dan memungkinkan jurnalis internasional untuk bebas melaporkan dari West Papua.
Untuk akhirnya memfasilitasi referendum penentuan nasib sendiri yang diawasi secara internasional, yang telah ditolak oleh masyarakat Papua Barat selama lebih dari 60 tahun. Hal ini bukan sekedar jalan untuk mengakhiri ekosida dan genosida di Papua Barat: hal ini juga merupakan satu-satunya cara yang layak untuk mencapai solusi damai jangka panjang di Pasifik.
Pewarta : Dano Tabuni