Kilas Balik
Negara-negara kolonial berlomba-lomba mencari koloni (wilayah) baru. Di bawah semboyang “Gold ‘emas’, Gospel ‘Injil’ dan Glory ‘kejayaan”, bangsa Papua ditaklukkan oleh Belanda.
Kerajaan Belanda semakin tertarik dengan Papua ketika seorang pilot menemukan puncak gunung emas. Puncak itu adalah Grassberg (puncak Nemangkawi) yang sekarang disebut Tembagapura. Laporan penemuan puncak gunung emas itu diketahui juga oleh Amerika Serikat.
Demi perebutan gunung emas Grassberg itu, Belanda ditekan Presiden Amerika Serikat (John F Kennedy) agar menyerahkan Papua ke dalam NKRI, dengan alasan ‘dunia bebas dari komunis’; mengingat saat itu RI meningkatkan kerjasama dengan Uni Soviet (komunis).
Belanda tidak mendapat dukungan dari negara sekutunya NATO untuk pertahankan Papua, sehingga Belanda mengalah dan terpaksa menanda-tangani perjanjian antara Belanda dan Indonesia di New York, disaksikan PBB dan Amerika Serikat pada 15 Agustus/1962.
Pada tahun 1967 perjanjian kontrak kerja PT Freeport dilakukan antara Indonessia dan Amerika Serikat. Perjanjian itu illegal karena bangsa Papua belum melaksanakan Penentuan Pendapat Rakyat 1969.
Demonstrasi dan Isu Utama yang diusung Front PEPERA PB
PT Freeport menjadi lambang Kejahatan Kemanusiaan bangsa Papua. Mengapa Freeport menjadi lambang kejahatan kemanusiaan? Pertama, gara-gara perebutan emas Grassberg di Timika, bangsa Papua Barat dianeksasi ke dalam NKRI.
Kedua, banyak penduduk setempat menjadi korban akibat eksploitasi Tambang Freeport; Ketiga, Ekosistem dan tanah air di Timika hancur akibat eksploitasi tambang Freeport.
Maka isu utama yang diusung dalam demontrasi yang terjadi secara meluas lokal, nasional dan Internasional saat itu adalah ‘Penutupan PT Freeport di Timika’ dan mendesak dialog segitiga antara Indonesia, Amerika Serikat dan Papua yang dimediasi oleh PBB.
Demontrasi ini dilakukan oleh organisasi-organisasi pemuda dan mahasiswa yang bergabung dalam Front Persatuan Perjuangan Rakyat Papua Barat (Front PEPERA Papua Barat).
Kronologis Abe Berdarah
Demonstrasi “pemalangan jalan’ di Abepura difasilitasi oleh organisasi organisasi yang bergabung dalam Front PEPERA PB wilayah Port Numbay yang dipimpin kawan Ornold Omba.
Front PEPERA PB pusat hanya memantau aktifitas demonstrasi yang berlangsung di lokal, nasional dan internasional.
Pemalangan jalan di depan Uncen itu dilakukan karena aspirasi yang diusung oleh organisasi-organisasi yang tergabung dalam Front PEPERA PB tidak direspon oleh wakil Pemerintah RI di Papua.
Pada tanggal 16 Maret 2006 beberapa anggota DPRP dipimpin wakil ketua I – Komarudin Watubun datang menerima aspirasi di depan Uncen Bawah dan disepakati pemalangan jalan dibuka.
Di saat pemalangan jalan dibuka, aparat kepolisian yang sudah siaga I di depan Museum Uncen diperintahkan maju buka secara paksa.
Saya (Selpius Bobii) bertemu dengan Kaporesta Jayapura untuk meminta pasukannya ditarik mundur, karena pemalangan jalan sedang dibuka.
Tetapi ada pemuda tertentu yang saya tidak kenal, mereka ngotot tidak mau membuka pemalangan. Nampaknya mereka ini dipasang oleh kaki tangan NKRI untuk membuat rusuh.
Kapolresta memerintahkan aparatnya terus maju untuk membuka pemalangan secara paksa, padahal pemalangan jalan sedang dibuka oleh massa demo.
Seorang intel polisi Abepura yang berpakaian preman bernama Obeth Epa mengarahkan pistolnya ke arah massa demo, tetapi peluru itu mengenai seorang wanita – isteri dari seorang polisi.
Akibatnya keadaan menjadi kacau dan saat itulah Kapolresta memerintahkan anak buahnya menangkap saya, dan menarik saya naik ke truk brimob.
Saya tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya, karena saya sudah dibawa ke Polsek Abepura, lalu dibawa ke Polresta Jayapura.
Analisa Kasus Abe Berdarah
Tragedi 16 Maret 2006 adalah hari kelabu di mana ‘Matinya Demokrasi’ di Tanah Papua. Demonstrasi damai yang kemudian disiasati oleh pihak ketiga untuk membenturkan massa aksi damai dengan aparat kepolisian yang melaksanakan tugas di lapangan merupakan peristiwa kelabu yang mencoreng wajah Demokrasi, Hukum dan HAM di Tanah Papua.
Peristiwa itu menjadi salah satu catatan buram dalam lembaran sejarah perjuangan keadilan dan kedamaian di Tanah Papua, serta mencederai demokrasi di Indonesia di era reformasi.
Tak pernah dibayangkan sebelumnya bahwa peristiswa benturan antara massa pendemo dan aparat kepolisian itu bisa terjadi.
Karena pada saat itu massa pendemo sedang membuka pemalangan arus utama jalan raya Jayapura – Sentani, setelah aspirasi dari massa pendemo diterima oleh rombongan DPRP dipimpin Kamarudin Watubun.
Pembukaan pemalangan yang sedang berlangsung dihentikan dengan pembubaran secara paksa atas perintah Kapolresta – Jayapura.
Situasi menjadi berubah ketika massa pendemo yang melakukan aksi bisu di badan jalan meminta Kapolresta Jayapura membebaskan kami beberapa orang yang ditahan sebelumnya, tiba-tiba dihadapi dengan represif oleh pihak kepolisian dengan menembakkan gas air mata.
Di sinilah terjadi aksi brutal antara mahasiswa dan aparat kepolisian tak terhindarkan. Peristiwa kelabu ini mengorbankan 4 aparat kepolisian yang bertugas di lapangan dan seorang TNI AU, serta bererapa masyarakat sipil kena tembakan peluru.
Banyak warga sipil menderita dan korban akibat penyisiran membabi buta pasca insiden berdarah itu. Dan kami 25 orang dikambing-hitamkan dan dipenjara.
Benturan itu bukan tiba waktu tiba akal, tetapi nampaknya scenario itu di-setting sebelumnya oleh kaki tangan NKRI untuk mencapai empat kepentingan, berikut ini: Pertama, Untuk meredam aksi damai serentak nasional Internasional yang dimotori oleh Front PEPERA Papua Barat dalam rangka penutupan PT Freeport Indonesia dan desakan Dialog Segitiga antara Amerika Serikat, Indonesia dan Papua;
Kedua, Untuk mendapatkan imbalan berupa uang bagi mereka yang terlibat dalam mensukseskan skenario mematikan itu;
Ketiga, Untuk menaikan pangkat dan jabatan bagi mereka yang merancang skenario dan terlibat dalam peristiwa kelabu itu;
Keempat, Untuk mendegradasikan gerakan perjuangan bangsa Papua yang berjuang dengan cara-cara yang bermartabat, agar Papua tetap dalam bingkai NKRI.
Tentang skenario di balik insiden itu, kami sudah bongkar dalam persidangan di Pengadilan klas IIA Jayapura pada pertengahan 2006.
Ruang demokrasi bagi warga Papua untuk menyampaikan pendapat di muka umum masih dibungkam hingga kini. Di era kepemimpinan presiden Jokowi, ruang demokrasi ditutup rapat, bahkan banyak pihak menilai bahwa kepemimpin presiden Jokowi semirip dengan kepemimpinan presiden Soeharto yang memimpin Negara Indonesia dengan tangan besi, bahkan ada pihak yang menyimpulkan bahwa era kepemimpinan presiden Jokowi adalah “Orde Baru jilid II”.
Pembatasan ruang demokrasi, penculikan, penangkapan sewenang-wenang, penyiksaan, diskriminasi, stigmatisasi, pemenjaraan sewenang-wenang, terror dan pembunuhan baik secara terbuka dan tertutup di Tanah Papua masih mewarnai hingga kepemimpinan presiden Jokowi. Terakhir terjadi di Yahukimo kemarin pada tanggal 15 Maret 2022.
Tuntutan Komunitas Korban Tragedi 16 Maret 2006:
Pertama, Tragedi 16 Maret 2006 adalah Tragedi Kejahatan Kemanusiaan, maka Negara Indonesia harus bertanggung jawab;
Kedua, Mendesak KOMNAS HAM RI segera menyelidiki tragedi berdarah 16 Maret 2006 dan kaki tangan NKRI yang merancang skenario harus diproses hukum demi keadilan;
Ketiga, Negara Indonesia harus secara berani, jujur dan terbuka kepada publik mengakui sknenario mematikan di balik tragedi 16 Maret 2006 yang dirancangnya dan meminta maaf kepada para korban16 Maret 2006;
Keempat, Tragedi 16 Maret 2006 diskenariokan oleh kaki tangan NKRI untuk mempertahankan PT Freeport Indonesia, maka pada kesempatan ini, kami menyatakan PT. Freeport Indonesia HARUS DITUTUP demi kemanusiaan, keadilan dan demi kelestarian ekosistem alam lingkungan;
Kelima, Mendesak presiden Jokowi membuka ruang demokrasi secara menyeluruh, membuka akses bagi wartawan asing ke Papua untuk meliput berita yang berimbang, serta segera memberi akses bagi Komisaris Tinggi HAM PBB berkunjung ke Tanah Papua;
Keenam, Presiden Jokowi segera hentikan kekerasan, hentikan operasi militer, hentikan pengiriman TNI-POLRI, hentikan penculikan dan pembunuhan, hentikan stigmatisasi dan diskrminasi, hentikan penangkapan dan pemenjaraan sewenang-wenang bagi warga asli Papua, serta segera menarik pasukan non organik dari Tanah Papua; cabut UU OTSUS Papua dan hentikan pemekaran propinsi di Tanah Papua;
Ketujuh, Pendekataan keamanan dan pendekatan pembangunan kesejahteraan yang bias pendatang tidak akan pernah selesaikan masalah-masalah Papua, khususnya Distorsi Sejarah Bangsa Papua, maka mari kita berunding antara dua bangsa (Indonesia dan Papua) yang setara dimediasi oleh PBB atau pihak ketiga yang netral.
Demikian tuntunan ini kami buat untuk ditindak-lanjuti oleh pihak-pihak terkait.
Jayapura – Papua : 16 Maret 2022
Juru Bicara Komunitas Korban Tragedi 16 Maret 2006
Ttd
SELPIUS BOBII