Mengenang Leonie Tanggahma

Leoni Tanggahma, Salah satu juru runding dari lima orang yang ditunjuk dalam Konferensi Perdamaian Papua (KPP) yang digelar pada tahun 2011 di Kota Jayapura, Papua. (IST)

We did it adik, we did it….! It’s take me 4 days, untuk menorehkan catatan singkat ini. Hari itu, tanggal 7 Oktober 2022, ketika saya bersama umat Katolik di muka bumi ini merayakan hari Maria Bunda Ratu Rosari, engkau juga pergi secara tiba-tiba untuk selamanya.

Saya berusaha menahan tangisan. Tetapi tatkala menutup Novena 10 hari dalam bulan Maria ini, air mata mengalir mengiringi kenangan akan pertemuan dan perjuangan kita bersama. I know that you know it.., karena kini engkau saksikan dari atas sana.

Pertemuan kita berawal tatkala engkau kunjungi saya di rumahnya om Ben Kafiar di Zandam, Belanda, tidak jauh dari kota Amsterdam. Sejak pertemuan pertama saya ke Eropa di awal tahun 90-an itu, engkau adalah teman bercanda dengan aneka cerita lucu dan kita bisa tertawa terbahak-bahak.

Engkau juga adalah teman diskusi yang andalan. Karena tidak jarang dengan pertanyaan tajam, buah kecerdasanmu, sikapmu yang keras atas keyakinanmu dan berani hadapi siapa saja. Semua itu tergambar jelas dari ungkapan yang mengalir dari berbagai belahan muka bumi ini.

Saya menghibur diri dengan membaca satu persatu apa yang mereka katakan atau tulis. Dari mereka yang merasa kehilangan atas kepergian sang pejuang Papua Merdeka dari selatan, dari Fak-Fak. Tetapi ada yang bisu. Tidak menulis apa-apa karena adik dianggap pengganggu kenyamanan mereka.

Musuh kita pun tahu ‘this is big lost’ dalam perjuangan Papua Merdeka di dunia internasional melalui sosial media dan jaringan solidaritas. Bisa diduga mereka pasti sukacita. Mereka tau betul kualitas adik yang menguasai secara sempurna bahasa Perancis, Belanda, Inggris dan Melayu. Bukan cuma tau tetapi menggunakannya dengan elok dalam bicara dan menulis.

Dalam tangisannya, kaka Henry Beryeri dari Darwin, Australia, berkisah bahwa kenapa yang muda belia dan cerdas ini yang duluan pergi? Ia mengulangi kata-kata terakhirmu dalam diskusi internal kalian, yakni leadership perjuangan Papua Merdeka. Nasehat itu akan abadi di layar kaca, sebagaimana juga wawancaramu dengan Youngsolwara Pasifik Selatan dalam our morning star exhibition, 5 Desember 2021 dan tentu saja dalam halaman facebookmu.

Saya bersyukur bahwa lebih dari 10 tahun dalam 48 tahun usiamu, kita dua berdiri setara dengan 3 pemimpin lainnya untuk memperjuangkan kemerdekaan Papua. Kita mulai sejak rakyat Papua di Jayapura dalam Kongres Papua Tanah Damai 2011 memilih kita sebagai wakil mereka di luar negeri. Kita keliling dunia untuk lakukan rapat internal maupun dalam kegiatan lobby.

Dalam catatan singkat ini, saya hendak share untuk pertama kalinya secara terbuka. Walau Indonesia tidak punya nyali untuk duduk setara selesaikan masalah antara kedua bangsa yang sudah berlangsung 60 tahun ini. Namun atas kerjasama dengan Pater Neles Tebay, Pr dan Jaringan Damai Papua (JDP), kita sudah yakinkan dunia akan pentingnya dialog sebagai jalan keluarnya.

Tidak sedikit pemimpin dunia yang nyatakan itu secara terbuka di berbagai forum. Bukan saja Presiden Amerika, Kofi Annan, mantan Sekjen PBB pun terbang ke Jakarta bertemu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) hanya untuk membicarakan masalah dialog tersebut.

Sambil menunggu kesiapan Indonesia dan sekutunya, kita sebagai Anggota Eksekutif ULMWP meningkatkan tekanan dalam diplomasi internasional dengan menggalang dukungan berbagai negara. Adik adalah anggota paling setia yang selalu hadir dalam hampir semua pertemuan, yang ketika itu kita lakukan paling tidak sekali dalam setiap 4 bulan di berbagai belahan bumi.

Dengan dukungan penuh dari saudara-saudari kita di seluruh Pasifik dan solidarity group di berbagai belahan dunia, kita porak porandakan diplomasi Indonesia yang sudah lama menipu dunia. Kita menjadi anggota Melanesia Spearhead Group (MSG), kita bentuk Pasific Island Coalition on West Papua.

Tidak berhenti di sana. Atas dukungan negara-negara di Pasifik, masalah Papua pun menjadi pembicaraan utama 79 negara di dunia yang bergabung dalam African Caribbean and Pacific (ACP) di Brussels, Belgia. Jumlah negara-negara yang berpidato di Sidang Umum PBB pun meningkat dari waktu ke waktu selama 3 tahun.

Alhasil, dalam bulan September 2017, untuk pertama kalinya sejumlah Perdana Menteri di sela-sela Sidang Umum PBB melakukan pertemuan tentang Papua di Kantor PBB. Dalam pertemuan itu mereka menetapkan bahwa masalah Papua akan dimajukan bersama untuk dibahas General Assembly pada tahun berikutnya, 2018. Ketika itu mereka membagi tugas siapa bikin apa guna menggalang suara yang cukup.

Sesuai dengan kesepakatan itu, mereka minta agar ULMWP jangan diubah struktur organisasinya dan mempertahankan kita. Kecuali memperbaiki yang kurang agar menuntaskan apa yang sudah disepakati. Sayang, nasehat itu tidak diikuti.

Di Port Vila pada tanggal 1 Desember 2017, Perdana Menteri Salwai dari Vanuatu yang pahami nasehatnya tidak diikuti, terpaksa meninggalkan tempat. Dia meminta acara pembukaan Kantor ULMWP hanya dipimpin wakilnya. Suara di PBB yang tadinya banyak pun merosot drastis dan di tahun 2022 ini mencapai klimaksnya. Tidak ada kata Papua dalam pidato mereka, termasuk Vanuatu.

Sementara di kampung atau tanah air kita, penguasa Kolonial Indonesia cincang Tanah Papua menjadi 5 bagian dan konon akan jadi 7 dan berapa lagi? We don’t know…. Bukan saja para pendatang yang akan padati dan hancur leburkan alam kita, tetapi ini menjadi basis aparat keamanan yang dipimpin puluhan jenderal berbintang satu, dua, bahkan tiga.

Gubernur Lukas Enembe yang selama ini gagah berani membela nasib rakyat dan bangsa Papua, telah ditetapkan sebagai pencuri. Tanpa melalui proses hukum dan akan ditangkap walau rakyat kawal siang malam di halaman rumahnya.

Adik Leonie, kami sedih atas kepergianmu secara tiba-tiba. Dalam usia yang masih sangat muda, persis seperti bapakmu, Bernard Tanggahma. Sebagai orang beriman kami percaya semua kehancuran ini adik bawa pergi sebagai ‘appeal’ atau permohonan kepada Bapa di Surga. Adik akan menjadi pendoa kami di sana bersama para pejuang Papua lainnya yang sudah mendahului.

Dalam iman kita akui bahwa kematian adalah semacam mekanisme untuk melanjutkan kehidupan baru karena kehidupan selalu abadi. Sedangkan yang berubah hanya bentuk. Di sini kita akan benahi kekurangan dan akan bangkit lagi. Akan lebih kuat lagi untuk menuntaskan kesepakatan para kepala negara di Gedung PBB dalam bulan September 2017. Satu bulan sebelum kita diganti dalam kepemimpinan ULMWP.

Adik Leonie, selamat jalan… Selamat jalan dengan tertawa tanpa sakit apa-apa lagi, disambut Bunda Maria Ratu Rosari. We did it adikku…, we did it!

Octovianus Mote
Penulis adalah mantan ketua ULMWP Periode I dan saat ini bermukim di AS. Pernah menjadi wartawan Kompas saat bertugas di Indonesia.

__________________

Artikel ini bersumber dari Website Suara Papua. Klik disini untuk membaca sumber asli.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *