Westpapuanews.Org

Berita tangan pertama dari Tanah Papua

BACAAN PROGRESIF

Negara dan Revolusi – Bab V — Bagian [b]

VLADIMIR I. LENIN

Ajaran Marxis tentang Negara dan Tugas-tugas Proletariat di dalam Revolusi

  1. TAHAP TINGGI MASYARAKAT KOMUNIS

Marx melanjutkan:

“Dalam tahap tinggi masyarakat Komunis, setelah lenyapnya ketundukan yang membudak dari manusia pada pembagian kerja masyarakat; setelah bersamaan dengan itu lenyap pula pertentangan antara kerja badan dengan keja otak; setelah kerja tidak lagi menjadi sarana untuk hidup saja, tetapi menjadi kebutuhan utama hidup; setelah bersamaan dengan perkembangan menyeluruh setiap individu tumbuh juga tenaga-tenaga produktif dan semua sumber kekayaan masyarakat mengalir dengan melimpah ruah baru pada waktu itulah horison sempit hak borjuis akan dapat dilampaui sepenuhnya, dan masyarakat dapat menulis pada panji-panjinya: ‘Masing-masing menurut kemampuannya, untuk masing-masing menurut kebutuhannya’ “.

Baru sekaranglah kita dapat menilai seluruh kebenaran pendapat Engels, ketika ia tanpa ampun mengejek ketololan menggabungkan kata-kata “kebebasan” dengan “negara”. Selama ada negara, tidak ada kebebasan. Ketika ada kebebasan, tidak ada negara.

Dasar ekonomi untuk melenyapnya negara dengan sepenuhnya adalah perkembangan Komunisme yang sedemikian tinggi di mana pertentangan antara kerja badan dengan kerja otak lenyap, oleh karena itu lenyap pula salah satu sumber terpenting dari ketidaksamaan sosial modern dan lagi pula sumber yang bagai manapun juga tidak dapat dihapuskan segera hanya semata-mata dengan penyitaan milik kaum kapitalis.

Penyitaan milik ini akan memberi kemungkinan bagi perkembangan yang besar-besaran dari tenaga-tenaga produktif. Dan, bila kita melihat betapa tak terbayangkannya kapitalisme sekarang sudah menghambat perkembangan tersebut dan betapa banyaknya yang akan dapat didorong maju atas dasar teknik modern yang sudah dicapai, maka kita berhak dengan keyakinan sepenuh-penuhnya mengatakan bahwa penyitaan milik kaum kapitalis tak terelakkan akan menyebabkan perkembangan yang besar-besaran dari tenaga-tenaga produktif masyarakat manusia. Tetapi berapa lama perkembangan ini akan berlangsung terus, kapan ia akan sampai pada titik pisah dengan pembagian kerja, sampai pada penghapusan pertentangan antara kerja badan dengan kerja otak, sampai pada pengubahan kerja menjadi “kebutuhan utama hidup”, hal ini kita tidak tahu dan tidak dapat tahu.

Itulah mengapa kita hanya berhak berbicara tentang melenyapnya negara yang tak terhindarkan, dengan menekankan sifat jangka panjang proses tersebut, ketergantuannya pada kecepatan perkembangan tahap tinggi Komunisme dan dengan membiarkan masalah jangka waktu atau bentuk-bentuk kongkrit melenyapnya negara sepenuhnya menggantung, sebab tidak ada bahan-bahan untuk menjawab masalah-masalah ini.

Akan mungkin bagi negara untuk melenyap sepenuhnya ketika masyarakat melaksanakan ketentuan: “masing-masing menurut kemampuannya, untuk masing-masing menurut kebutuhannya”, yaitu ketika orang-orang menjadi sedemikian terbiasa mentaati peraturan-peraturan dasar pergaulan umum dan ketika kerja mereka menjadi begitu produktifnya, sehingga mereka dengan sukarela akan bekerja menurut kemampuannya. “Horison sempit hak borjuis” yang memaksa orang menghitung-menghitung dengan kekejaman hati seorang Shylock[3], apakah tidak bekerja setengah jam lebih banyak dari pada yang lain, apakah tidak menerima upah kurang dari pada yang lain&emdash;harison sempit ini pada waktu itu akan terlampaui. Ketika itu dalam pembagian barang-barang hasil masyarakat tidak perlu menentukan jumlah barang hasil yang harus diterima oleh masing-masing; masing-masing akan mengambil dengan bebas “menurut kebutuhannya”.

Dari sudut pandang borjuis, adalah mudah untuk menyatakan bahwa susunan masyarakat semacam itu adalah “utopi belaka” dan mengejek kaum sosialis karena menjanjikan kepada masing-masing hak untuk menerima cendawan, mobil, piano, dsb. Berapa saja dari masyarakat, tanpa pengawasan apapun atas kerja setiap penduduk. Bahkan sampai sekarangpun mayoritas “sarjana” borjuis membatasi diri pada ejekan seperti ini yang dengan ini menunjukan baik kebodohan mereka maupun pembelaan mereka yang berpamrih terhadap kapitalisme.

Kebodohan sebab tak pernah terlintas dalam kepala seorang sosialispun untuk “menjanjikan” bahwa tahap tinggi perkembangan Komunisme akan tiba, sedangkan ramalan orang-orang sosialis yang besar bahwa ia akan tiba mensyaratkan bukan produktivitas kerja yang sekarang dan juga bukan orang kebanyakan yang sekarang, yang mampu merusak gudang-gudang kekayaan masyarakat “hanya untuk kesenangan” dan menuntut apa yang tidak mungkin seperti merid-murid seminari dalam kisah-kisah karangan Pomyalovski,[4].

Sampai tahap “lebih tinggi” dari Komunisme tiba, kaum sosialis menuntut adanya pengawasan yang sekeras-kerasnya dari pihak masyarakat dan serikat pihak negara atas ukuran kerja dan ukuran konsumsi, tetapi pengawasan in harus dimulai dengan penyitaan milik kaum kapitalis, dengan pengawasan kaum buruh atas kaum kapitalis dan harus dijalankan bukan oleh negara kaum birokrat, melainkan oleh negara kaum buruh bersenjata.

Pembelaan berpamrih atas kapitalisme oleh para ideolog borjuis [dan penjilat-penjilatnya seperti tuan-tuan yang sebangsa Tuan Tsereteli, Tuan Cernov dan rekannya] justru terletak dalam hal bahwa mereka dengan perdebatan-perdebatan dan pembicaraan-pembicaraan tentang masa depan yang jauh mengganti masalah politik sekarang yang mendesak dan hangat: penyitaan milik kaum kapitalis, pengubahan semua warga negara menjadi pekerja dan pegawai dari satu “sindikat” besar, yaitu: seluruh negara, dan ketundukan sepenuhnya semua kerja dari seluruh sindikat ini kepada negara yang sungguh-sungguh demokratis, kepada negara soviet-soviet Wakil Buruh dan Prajurit.

Sebenarnya, ketika profesor yang ahli, dan sesudah dia si filistin, dan sesudah si filistin ini tuan-tuan yang sebangsa Tuan Tsereteli dan Tuan Cernov, berbicara tentang utopi-utopi yang gila, tentang janji-janji demagogis kaum Bolshevik, tentang ketidakmungkinan “melaksanakan” sosialisme, yang mereka maksudkan justru tingkat atau tahap tinggi Komunisme, yang tidak seorangpun pernah menjanjikan atau bahkan memikirkan “pengantar”nya, karena ia secara umum tidak dapat “dilaksanakan”.

Dan di sini kita sampai pada masalah tentang perbedaan ilmiah antara sosialisme dengan Komunisme, yang telah disinggung oleh Engels dalam argumennya yang telah dikutip di atas tentang ketidaktepatan nama “Sosial-Demokrat”. Secara politik perbedaan antara tahap pertama atau tahap rendah dengan tahap tinggi Komunisme, mungkin, pada suatu ketika akan besar sekali, tetapi sekarang di bawah kapitalisme adalah mentertawakan mamandang penting perbedaan ini, dan mungkin hanya kaum anarkis perseorangan saja yang bisa menonjolkannya [apabila di kalangan kaum anarkis itu masih ada orang-orang yang tidak belajar apapun setelah perubahan secara “Plekhanov” dari orang-orang yang sebangsa Kropotkin, sebangsa Grave, sebangsa Cornnelissen dan “bintang-bintang” anarkisme lainnya menjadi kaum sosial sovinis atau kaum anarkis-parit-pertahanan, seperti yang dikatakan oleh Ge, salah seorang di antara beberapa anarkis yang masih mempunyai rasa harga diri dan hati nurani].

Tetapi perbedaan ilmiah antara Sosialisme dengan Komunisme, oleh Marx dinamakan tahap “pertama” atau tahap rendah masyarakat Komunis. Karena alat-alat produksi menjadi milik umum, maka kata “Komunisme” di sini juga dapat diterapkan, asal jangan dilupakan bahwa ia bukan komunisme penuh. Arti besar dari penjelasan-penjelasan Marx terletak dalam hal bahwa di sinipun ia dengan konsekuen menterapkan dialektika materialis, ajaran tentang perkembangan, dengan memandang komunisme sebagai sesuatu yang berkembang dari kapitalisme. Marx bukannya secara skolastik[5] mereka-reka, “mengarang-ngarang” definisi-definisi dan melakukan perdebatan-perdebatan kosong tentang kata-kata [apa sosialisme itu, apa Komunisme], melainkan membuat analisa tentang apa yang dapat dinamakan tingkat-tingkat kematangan ekonomi Komunisme.

Dalam tahap pertamanya, atau tingkat pertamanya, Komunisme masih belum dapat matang sepenuhnya di bidang ekonomi dan sepenuhnya bebas dari tradisi-tradisi atau bekas-bekas kapitalisme. Dari sinilah gejala yang menarik, seperti tetap adanya “horison sempit hak borjuis” di bawah Komunisme dalam tahap pertamanya. Sudah tentu hak borjuis dalam hubungan dengan pembagian barang-barang konsumsi tak terelakkan mensyaratkan juga negara borjuis, sebab hak bukanlah apa-apa tanpa aparat yang mampu memaksakan ditaatinya patokan-patokan hak.

Maka itu di bawah Komunisme untuk jangka waktu tertentu masih terdapat bukan saja hak borjuis, tetapi bahkan juga negara borjuis tanpa borjuasi!

Itu mungkin tampaknya seperti suatu paradoks atau hanya teka-teki dialektika saja, dan Marxisme sering dituduh seperti itu oleh orang-orang yang sedikitpun tidak berusaha untuk mempelajari isinya yang luar biasa mendalamnya itu.

Dalam kenyataannya kehidupan dalam setiap langkah baik di dalam alam maupun di dalam masyarakat, menunjukan kepada kita sisa-sisa dari yang lama di dalam yang baru. Dan Marx tidak dengan semau-maunya saja menyisipkan sepotong hak “borjuis” ke dalam Komunisme, tetapi menunjukan apa yang secara ekonomi dan politik tak terelakkan di dalam masyarakat yang lahir dari rahim kapitalisme.

Demokrasi mempunyai arti penting yang sangat besar dalam perjuangan kelas buruh melawan kaum kapitalis untuk pembebasannya. Tetapi demokrasi sekali-kali bukanlah batas yang tak dapat dilangkahi, ia hanyalah salah satu tingkat di atas jalan dari feodalisme ke kapitalisme dan dari kapitalisme ke Komunisme.

Demokrasi berarti persamaan. Jelaslah, betapa besar arti perjuangan proletariat untuk persamaan dan semboyan persamaan, apabila tepat memahaminya dalam arti penghapusan kelas-kelas. Tetapi demokrasi hanya berarti persamaan formal. Dan segera setelah tercapainya persamaan bagi semua anggota masyarakat dalam hubungan dengan pemilikan atas alat-alat produksi, yaitu persamaan kerja dan persamaan upah, umat manusia tak terelakkan akan dihadapkan pada masalah supaya maju lebih lanjut, dari persamaan formal ke persamaan sesungguhnya, ke pelaksanaan ketentuan: “masing-masing menurut kemampuannya, untuk masing-masing menurut kebutuhannya”. Melalui tingkat-tingkat apa, dengan tindakan-tindakan prktis apa, umat manusia akan maju ke tujuan yang tertinggi itu, kita tidak tahu dan tidak bisa tahu. Tetapi adalah penting menyadari betapa palsunya pengertian borjuis yang biasa, seakan-akan sosialisme itu sesuatu yang mati, membatu, ditetapkan untuk selama-selamanya, padahal dalam kenyataannya di bawah sosialismelah baru akan dimulai gerakan maju yang cepat, sejati, benar-benar masal, dengan ikut sertanya mayoritas penduduk, dan kemudian seluruh penduduk, dalam segala bidang kehidupan umum dan pribadi.

Demokrasi adalah bentuk negara, salah satu variasinya. Karenanya, seperti setiap negara, ia adalah penggunaan kekerasan yang terorganisasi dan sistematis terhadap orang-orang. Ini di satu pihak, tetapi di pihak lain ia berarti pengakuan formal atas persamaan diantara warga negara, hak sama dari semua orang untuk menentukan susunan negara dan mengurusnya. Dan ini, pada gilirannya, berhubungan dengan kenyataan bahwa pada tingkat tertentu perkembangan demokrasi, ia pertama-tama mempersatukan kelas revolusioner yang melawan kapitalisme, dan memberikan kepada proletariat kemungkinan untuk mematahkan, menghancur leburkan dan menyapu bersih dari muka bumi mesin negara borjuis, bahkan juga mesin negara borjuis republiken, tentara tetap polisi, birokrasi, dan menggantinya dengan mesin negara yang lebih demokratis, tetapi masih juga mesin negara, dalam bentuk massa buruh bersenjata yang berubah menjadi milisia dan ikut sertanya seluruh rakyat.

Di sini “kuantitas berubah menjadi kualitas”: tingkat demokratisme demikian itu berakibat ke luar dari kerangka masyarakat borjuis, permulaan pembangunan kembali masyarakat borjuis secara sosialis. Jika sungguh-sungguh semua ambil bagian dalam pengurusan negara, maka kapitalisme tidak dapat bertahan lagi. Dan perkembangan kapitalisme, pada gilirannya, menciptakan premis-premis supaya sungguh-sungguh “semua” dapat ikut serta dalam pengurusan negara. Beberapa dari premis ini adalah termasuk setiap orang tahu huruf, sesuatu yang sudah dicapai di sejumlah negeri kapitalis yang paling maju, kemudian “pendidikan dan pendisiplinan” jutaan buruh oleh aparat yang maha besar, rumit dan disosialisasi yang terdiri dari pos, kereta api, pabrik besar, perdagangan besar, perbankan, dst., dst.

Di bawah premis-premis ekonomi yang demikian adalah sepenuhnya mungkin untuk segera, seketika, sesudah kaum kapitalis dan birokrat digulingkan, mengganti mereka dalam melakukan pengawasan atas produksi dan pembagian, dalam hal penghitungan kerja dan barang hasil dengan kaum buruh bersenjata. [jangan mencampuradukkan masalah pengawasan dan penghitungan dengan masalah personil insinyur, ahli pertanian, dsb. Yang berpendidikan ilmiah: hari ini tuan-tuan ini bekerja dengan tunduk kepada kaum kapitalis, besok mereka akan bekerja lebih baik lagi dengan tunduk kepada kaum buruh bersenjata.]

Penghitungan dan pengawasan itulah soal utama, yang dibutuhkan untuk “membereskan”, untuk berfungsinya secara tepat tahap pertama masyarakat Komunis. Semua warga negara di sini berubah menjadi pegawai upahan dari negara yang terdiri dari kaum buruh bersenjata. Semua warga negara menjadi pegawai dan bekerja dari satu “sindikat” negara seluruh rakyat. Seluruh masalahnya adalah bahwa mereka harus bekerja sama banyaknya, dengan mentaati secara tepat ukuran pekerjaan, dan menerima upah yang sama. Penghitungan dan pengawasan yang diperlukan untuk ini telah amat sangat disederhanakan oleh kapitalisme, menjadi pekerjaan yang luar biasa sederhananya, yang dapat dilakukan oleh setiap orang yang tahu huruf, yaitu penilikan dan pencatatan &endash;pengetahuan tentang empat peraturan ilmu hitung &endash;dan pemberian kuitansi-kuitansi yang bersangkutan.

Ketika mayoritas rakyat mulai melakukan sendiri dan di mana saja penghitungan itu dan pengawasan itu atas kaum kapitalis [yang kini dijadikan pegawai] dan atas tuan-tuan intelektual yang masih memiliki kebiasaan-kebiasaan kapitalis, maka pengawasan ini akan benar-benar menjadi univesal, umum, kerakyatan, dan pengawasan ini sama sekali tidak akan bisa dihindari, maka akan “tak ada jalan lain.”

Seluruh masyarakat akan menjadi satu kantor dan satu pabrik, dengan persamaan kerja dan persamaan upah.

Tetapi disiplin “pabrik” ini, yang akan diluaskan oleh proletariat, sesudah mengalahkan kaum kapitalis, sesudah menggulingkan kaum penghisap, akan meluas ke seluruh masyarakat, sama sekali bukan merupakan cita-cita kita atau tujuan terakhir kita, melainkan hanyalah anak tangga yang diperlukan untuk membersihkan masyarakat secara radikal dari kebusukan dan kekejian penghisapan kapitalis dan untuk gerak maju selanjutnya.

Sejak saat semua anggota masyarakat atau setidak-tidaknya mayoritas terbesar dari mereka telah dapat mengurus sendiri negara, telah mengambil pekerjaan ini dalam tangan mereka sendiri, telah “menjalankan” pengawasan atas minoritas kecil kaum kapitalis, atas tuan-tuan yang ingin mempertahankan kebiasaan-kebiasaan kapitalis dan atas kaum buruh yang telah sangat dibejatkan oleh kapitalisme sejak saat itulah mulai lenyap kebutuhan akan pemerintahan apapun pada umumnya. Makin penuh demokrasi, makin dekatlah saat di mana ia menjadi tidak diperlukan. Makin demokratis “negara” yang terdiri dari kaum buruh bersenjata dan yang “bukan lagi negara menurut arti kata yang sebenarnya”, makin cepatlah mulai melenyapnya segala bentuk negara.

Sebab, bilamana semua telah belajar mengatur dan dalam kenyataannya mengatur sendiri produksi masyarakat, melaksanakan sendiri penghitungan dan pengawasan atas kaum benalu, kaum priyayi, kaum penipu dan sebangsa “penjaga-penjaga tradisi kapitalisme”, maka menghindarkan diri dari penghitungan dan pengawasan oleh seluruh rakyat itu pasti akan menjadi begitu luar biasa sulitnya, menjadi kekecualian yang langka, dan barangkali akan mendapat hukuman yang segera dan berat [sebab kaum buruh bersenjata adalah orang-orang praktis, dan bukan kaum intelektual yang sentimentil, dan kaum buruh bersenjata itu kecil kemungkinannya akan memperkenankan orang bermain-main dengan mereka], sehingga keharusan untuk mentaati peraturan-peraturan dasar yang sederhana dari segala pergaulan manusia akan sangat cepat menjadi kebiasaan.

Dan kemudian akan terbuka lebar-lebar pintu bagi transisi dari tahap pertama masyarakat Komunis ke tahapnya yang lebih tinggi, dan dengannya terbuka pula bagi melenyapnya negara sepenuhnya. — Bersambung ke Bab VI

Catatan :

[3]. Shylock si tukang riba yang menjadi tokoh utama dalam sandiwara Shakespeare “Saudagar Dari Venesia”. 

]4]. Yang dimaksud adalah siswa-siswa seminari [sekolah calon pastor] yang menjadi terkenal buruk karena kebutuhan mereka yang keterlaluan dan kebiasaan-kebiasaan mereka yang biadab. Mereka itu dilukiskan oleh N.G. Pomyalovski, seorang penulis Rusia. 

[5]. Skolastik menurut arti kiasnnya: formil, terenggut dari kehidupan dan praktek, cenderung pada berfilsafat kosong.

ketika bagian utama dari fungsi-fungsi negara direduksi menjadi penghitungan dan pengawasan seperti itu oleh kaum buruh sendiri, maka ia tidak lagi menjadi “negara politik”, maka “fungsi-fungsi kemasyarakatan berubah dari fungsi-fungsi politik menjadi fungsi-fungsi administrasi sederhana” [bandingkan di atas, bab IV, 2, tentang polemik Engels dengan kaum anarkis]. 

One thought on “Negara dan Revolusi – Bab V — Bagian [b]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *