Suharto Bukan Komandan
Selama ini kita mengetahui bahwa Suharto adalah penggagas Serangan Umum 1 Maret. Suharto ada di balik kisah heroik pertempuran 1 Maret 1949 di Yogyakarta. Sejarah tersebut pun semakin diperkuat oleh film heroik yang menggambarkan sejarah Serangan Umum 1 Maret berjudul ‘Janur Kuning’.
Tetapi benarkah Suharto yang menggagasnya? Seiring dengan waktu, pasca lengsernya Suharto setelah memerintah Indonesia selama 32 tahun, para pakar sejarah mulai meributkan peran Suharto. Pasalnya, saat itu pangkat Suharto masih letnan kolonel. Itu berarti Suharto masih punya atasan. Otomatis, Suharto tidak bisa memerintahkan penyerangan karena dalam dunia militer, kalau masih ada jenderal, maka komando perang ada di tangan para jenderal.
Pro dan kontra mengenai peran Suharto yang digembar-gemborkan sebagai penggagas Serangan Umum 1 Maret semakin bergulir. Mayoritas pakar sejarah setuju itu semua hanyalah salah satu bentuk propaganda Suharto untuk semakin memantapkan kekuasaannya saat orde baru.
Kebohongan Sejarah
Bertahun-tahun publik dicokoli kebohongan sejarah Serangan Umum 1 Maret melalui tulisan-tulisan di buku sejarah dan film berjudul ‘Janur Kuning’. Hingga muncul film ‘Sebelum Serangan Fajar’ yang dirilis Juni 2014.
Film ‘Sebelum Serangan Fajar’ merupakan film nonkomersial yang didukung penuh Dinas Kebudayaan DIY. Film ini diproduksi Sanggit Citra Production dengan sutradara Triyanto Hapsoro.
Film berjudul ‘Sebelum Serangan Fajar’ disinyalir mengungkap penggagas sebenarnya Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta. Bahwa serangan umum yang dikenal hanya berlangsung selama enam jam itu bukan atas ide Komandan Pasukan Wehrkreise III (Daerah III) Letnan Kolonel Suharto. Melainkan atas perintah Raja Kasultanan Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono IX kepada Soeharto.
Sri Sultan Hamengku Buwono IX & Latief
Dalam film itu memunculkan adegan surat-menyurat antara Hamengku Buwono IX yang berada di keraton kepada Panglima Besar Angkatan Perang Letnan Jenderal Sudirman yang berada di lokasi gerilya. Surat tersebut disampaikan oleh kurir.
Dalam suratnya, Hamengku Buwono IX mengusulkan agar para gerilyawan melakukan serangan besar-besaran secara serentak dan terkoordinir ke Yogyakarta yang diduduki tentara Belanda usai Agresi Militer Belanda II pada 19 Desember 1948. “Untuk menunjukkan kepada dunia internasional, bahwa Indonesia masih ada,” demikian alasan HB IX dalam film berdurasi 36 menit itu.
Sudirman menyetujui. Dia meminta Hamengku Buwono IX untuk berkoordinasi dengan Suharto. Kemudian muncul adegan pertemuan antara Hamengku Buwono IX dan Suharto di Keraton Yogyakarta. Dalam dialog empat mata itu, Hamengku Buwono IX memerintahkan secara langsung kepada Suharto untuk melakukan penyerangan. Penyerangan itupun dilakukan Kolonel Latif yang saat itu masih berpangkat kapten yang kemudian dijebloskan ke penjara oleh Suharto karena dituduh terlibat G 30 S PKI
Kesaksian Latief
Tanpa mengajak ikut menyantap soto babat, sekalipun hanya sekadar basa-basi, tulis M. R. Siregar dalam buku Tragedi Manusia dan Kemanusiaan (2007), Suharto segera memerintahkan Latief kembali berperang, menggempur tentara Belanda yang masih ada di sekitar daerah itu.
“Kami segera melaporkan tugas kewajiban saya. Kemudian beliau masih memerintahkan lagi supaya menggempur pasukan Belanda yang sedang berada di kuburan Kuncen Yogyakarta, letaknya hanya beberapa ratus meter dari markas gerilya saya itu,” kenang Latief.
Latief juga menceritakan hal ini kepada Subandrio, mantan Wakil Perdana Menteri RI. Dalam bukunya berjudul Kesaksianku Tentang G-30-S (2000), Subandrio mengungkap kembali penuturan Latief:
“Nah, saat Latief bersama sisa pasukannya berada di garis belakang itulah, mereka berjumpa Suharto. Apa yang dilakukan Suharto? Dia sedang santai makan soto babat,” tulis Subandrio.
Suharto—yang nantinya menjadi presiden—dicatat dalam buku-buku sejarah terbitan masa Orde Baru sebagai inisiator sekaligus pemimpin pertempuran bersejarah itu. Meskipun jika cerita Latief benar adanya, sang komandan justru sedang bersantap ria saat puluhan anak buahnya bertaruh nyawa di medan laga.
Salam Kedaulatan Rakyat
Ki Tito Gatsu