Omnibus Law: RUU Cipta Kerja sudah disahkan, demonstrasi 6-8 Oktober akan tetap digelar – kelompok buruh: Kami berjuang sekuat-kuatnya

awa Barat, Senin (5/10/2020)

Sejumlah kelompok buruh mengatakan akan tetap melaksanakan “mogok nasional” dan unjuk rasa selama tiga hari pada 6 – 8 Oktober, walau DPR dan pemerintah sudah mengesahkan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja pada Senin (05/10).

Mereka mengatakan langkah itu diambil untuk mendesak pemerintah dan DPR menggagalkan undang-undang, yang menurut mereka “disahkan secara tidak transparan”.

Sementara, pemerintah memandang demonstrasi dan penolakan seperti itu wajar, tapi menyarankan pihak yang menolak untuk menyuarakan aspirasi mereka melalui mekanisme uji materi Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi.

‘Mosi tak percaya terhadap kekuasaan’

Ketua Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI), Nining Elitos, mengatakan pada 6 – 8 Oktober, buruh akan berdemonstrasi menyuarakan apa yang disebutnya sebagai “mosi tidak percaya terhadap kekuasaan”.

Salah satu titik demonstrasi, katanya, adalah di depan Gedung DPR di Jakarta.

“Kami akan berusaha berjuang sekuat-kuatnya bagaimana mendesak agar terjadi pembatalan terhadap Omnibus Law. Pengalaman kami dulu, beberapa kali, misalkan pemerintah ingin melahirkan suatu regulasi, ketika ini bertentangan dengan prinsip dan asas konstitusi dan Pancasila, sekuat mungkin harus diperjuangkan.

“Tidak boleh dibiarkan dan pasrah dalam keadaan yang semakin tidak baik,” katanya pada wartawan BBC News Indonesia Callistasia Wijaya.

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal, mengatakan aksi “mogok massal” akan diikuti buruh-buruh lintas sektor, seperti industi kimia, energi, dan pertambangan di Jabodetabek serta kota-kota lain di Jawa Barat, Jawa Timur, dan Yogyakarta.

Sejumlah kelompok buruh dan organisasi masyarakat sebelumnya berulang kali mengkritik proses pembahasan Omnibus Law, yang mereka sebut “tak transparan”.

Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, misalnya, mempertanyakan juga proses pembahasan RUU Cipta Kerja yang disebut lembaga itu “terburu-buru”.

‘Penolakan sah dalam demokrasi’

Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden, Donny Gahral Adian, menanggapi penolakan sejumlah pihak atas disahkannya RUU itu, termasuk mengenai mosi tidak percaya yang disebutnya “sah di alam demokrasi”.

“Ruang beda pendapat terbuka, tapi ada mekanisme konstitusional untuk mengajukan keberatan yaitu melalui mekanisme judicial review [ke Mahkamah Konstitusi],” katanya.

Terkait mosi tidak percaya, ia mengatakan itu tak tepat dilayangkan ke pemerintah.

“Perlu dicatat bahwa ini adalah produk bersama antara DPR dan pemerintah. DPR itu representasi kekuatan politik yang ada sekarang. Artinya, tak tepat jika mosi tidak percaya diajukan ke pemerintah karena lembaga yang buat UU adalah DPR, meski pemerintah turut andil merumuskannya,” ujarnya.

Ia mengatakan pemerintah juga tak bisa melarang demonstrasi, tapi menyarankan pihak yang menolak untuk mempertimbangkan keadaan pandemi Covid-19.

Di sisi lain, Polri telah mengeluarkan telegram yang berisi arahan untuk pencegahan mogok massal dan demonstrasi buruh terkait Omnibus Law karena alasan pandemi Covid-19.

Bakal ‘digugat’ ke Mahkamah Konstitusi

Kelompok-kelompok buruh dan sejumlah organisasi masyarakat belum satu kata mengenai uji materi undang-undang ke MK.

Ketua KASBI, Nining Elitos, mengatakan belum berpikir melakukannya.

Sementara itu, Direktur Pusat Studi Konstitusi dari Universitas Andalas, Feri Amsar—yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Tolak Omnibus Law—mengatakan pihaknya siap membawa RUU Cipta Kerja untuk diuji ke Mahakamah Konstitusi (MK) jika akhirnya disahkan oleh DPR dan pemerintah.

Kepada wartawan Quin Pasaribu yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Minggu (04/10), Feri menyebut pengajuan ke MK sebagai “cara yang paling formal dalam mempermasalahkan undang-undang”.

Sejauh pengamatannya, Rancangan Undang-undang Cipta Kerja memuat beberapa persoalan selain ketenagakerjaan, yakni pengabaian terhadap lingkungan hidup demi mendatangkan investor dan pengabaian atas prosedur pembentukan undang-undang.

Pun dalam pembentukannya, menurut Feri, cacat formil lantaran tidak melibatkan partisipasi publik yang lebih luas.

“Omnibus Law ini tidak dikenal di UU 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Jadi untuk merevisi undang-undang tidak menggunakan model penggabungan. Yang ada revisi untuk satu undang-undang terhadap satu undang-undang tertentu,” sambungnya.

“Sekarang ada 79 undang-undang direvisi menjadi satu undang-undang.”

Manfaatkan ruang dialog

Triyono, peneliti ketenagakerjaan Pusat Penelitian Kependudukan di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengatakan ruang dialog harus terus diupayakan pihak buruh dan pemerintah, sebelum mengambil langkah judicial review.

“Kalau ruang dialog saya kira harus masih dibuka. Jalan tengah dengan mogok dan sebagainya… Mogok itu kan hak buruh ya, tapi saya lihat dalam kondisi pandemi kayak gini dan kondisi ekonomi bisa dikatakan resesi, saya kira bukan salah satu jalan terbaik.

“Yang terbaik lagi-lagi bagaimana bisa mengkomunikasikan ini dengan ruang-ruang dialog yang sudah ada,” ujarnya.

Triyono mengatakan hal itu misalnya bisa dilakukan kedua pihak dengan berdialog mengenai petunjuk pelaksana undang-undang itu.

Jika hal itu tak bisa dilakukan, ia menyarankan buruh menempuh mekanisme judicial review.

Disahkan meski ditolak sejumlah pihak

Rapat paripurna DPR akhirnya mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja pada Senin (05/10) sore, walaupun terus mendapat penolakan dari berbagai kelompok buruh dan sejumlah pihak lainnya.

Tujuh fraksi menyetujui pengesahan RUU Cipta Kerja, dan beberapa di antaranya menerima dengan catatan, sementara dua fraksi yaitu Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menolaknya.

Usai pembacaan pendapat fraksi-fraksi, sejumlah politikus Partai Demokrat melakukan interupsi sebelum akhirnya melakukan aksi “walk out” atau meninggalkan ruangan.

Keputusan pengesahan RUU Omnibus Law Cipta Kerja ini digelar setelah Badan Musyawarah DPR pada Senin siang menyetujui untuk disahkan pada rapat paripurna. Sejumlah kalangan menilai pengesahan RUU yang kontroversial ini “dikebut”.

Sebelumnya, pembahasan RUU Cipta Kerja telah diselesaikan Badan Legislasi DPR dan pemerintah pada Sabtu (3/10/2020) malam.

Bagaimana sikap fraksi-fraksi?

Dalam sambutannya, Ketua Badan Legislasi DPR Supratman Andi Agtas mengatakan, tujuh fraksi di DPR menerima hasil panitia kerja dan menyetujui agar RUU Omnibus Law disahkan.

Dia mengklaim pembahasan RUU tersebut “dapat diakses publik” karena disiarkan langsung oleh TV parlemen.

Dalam pandangannya, perwakilan Fraksi PDI-P Andreas Eddy Susetyo menyatakan pihaknya menyetujui pengesahan RUU Omnibus Law. Sikap senada juga ditunjukkan Fraksi Golkar, Nurul Arifin, mendukung pengesahan RUU tersebut.

Diberi kesempatan, juru bicara Fraksi Gerindra Heri Gunawan menyatakan keberadaan RUU ini penting untuk penciptaan lapangan kerja. Pihaknya mengklaim sudah menyuarakan dan mengakomodasi kepentingan kelompok buruh dalam RUU tersebut.

Taufik Basari, juru bicara Fraksi Nasdem, menyatakan pihaknya mendukung pengesahan RUU yang disebutnya dapat “memudahkan berusaha dan perizinan” sehingga dapat menciptakan lapangan kerja.

Diakuinya ada penolakan atas RUU ini, dan Taufik mengklaim pihaknya sudah menerima dan mengakomodir sebagian masukan dari masyarakat. Dia mengklaim ada beberapa perbaikan setelah ada masukan dari masyarakat.

Adapun juru bicara Fraksi PKB Abdul Wahid menyatakan dapat menerima dan menyetujui RUU Omnibus Law menjadi UU dengan “banyak catatan” tanpa menjelaskan detilnya.

Melalui juru bicaranya, Ahmad Baedowi, Fraksi PPP menyatakan pihaknya menerima RUU tersebut, apalagi setelah ada perbaikan terhadap sejumlah klaster, diantaranya masalah ketenagakerjaan.

Dia mengklaim sudah berusaha menjembatani antara kepentingan tenaga kerja dan dunia usaha, dengan memasukkan sejumlah usulan, diantaranya jaminan kehilangan pekerjaan.

‘Terlalu kapitalistik dan neoliberalistik’

Sementara, Fraksi Partai Demokrat melalui juru bicaranya Marwan Cik Hasan menyatakan pihaknya menolak pengesahan RUU Cipta Kerja, karena “hak kaum pekerja dipinggirkan”.

Dia juga menilai keberadaan RUU ini “terlalu kapitalistik dan neoliberalistik”. Marwan juga mengklaim materi dalam RUU ini “kurang transparan dan kurang melibatkan pekerja dan civil society.”

Senada dengan Fraksi Partai Demokrat, fraksi PKS melalui juru bicara Amin AK juga menolak RUU Omnibus Law.


Mereka menganggap RUU ini berpotensi adanya “liberalisasi pendidikan” serta berpotensi pengrusakan lingkungan. Dia juga menyebut RUU ini memberi kewenangan yang besar kepada pemerintah, tetapi tidak diimbangi oleh aspek pengawasan.

Sementara fraksi Amanat Nasional, melalui juru bicaranya mengatakan pihaknya menerima RUU tersebut dengan “catatan”.

Ancaman mogok nasional

Ancaman mogok nasional sudah dicetuskan sejak Minggu (04/10), saat DPR masih mencanangkan untuk mengesahkan RUU Cipta Kerja itu pada tanggal 8 Oktober.

Saat itu, Ketua KASBI, Nining Elitos, mendesak DPR dan pemerintah membatalkan pengesahan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja pada Rapat Paripurna.

Ini karena di dalam RUU tersebut, ada setidaknya tujuh poin menyangkut ketenagakerjaan merugikan kelompok buruh, seperti skema pesangon kepada pekerja yang di-PHK diubah dari 32 bulan upah menjadi 25 bulan.

Hal lain mengenai terancam dihapusnya skema Upah Minimum Sektoral di tingkat kabupaten atau kota.

Kata Nining, jika desakan pembatalan itu tidak dilakukan, ratusan ribu orang yang terdiri dari buruh, petani, dan mahasiswa akan menggelar demonstrasi serentak di depan gedung DPR/DPRD dan pemerintah daerah di 30 kota.

“Mau tidak mau di masa pandemi, di mana rakyat khawatir tentang persoalan keselamatan kesehatan, tapi kita dipaksa turun ke jalan. Dipaksa harus melawan karena tidak ada iktikad baik pemerintah dan DPR peduli akan nasib rakyat.

“Kaum buruh dan masyarakat banyak kehilangan pekerjaan karena PHK. Kita dalam bahaya,” ujar Nining Elitos dalam konferensi pers virtual, Minggu (04/10).

Apa yang terbaru dari RUU Cipta Kerja?

Dalam rapat kerja RUU Cipta Kerja yang berlangsung di DPR pada Sabtu (03/10) malam sebanyak tujuh fraksi setuju untuk melanjutkan pembahasan beleid tersebut ke rapat paripurna DPR untuk disahkan menjadi undang-undang.

Tujuh fraksi itu yakni PDI Perjuangan, Gerindra, Golkar, Partai Kebangkitan Bangsa, Nasdem, Partai Amanat Nasional, dan Partai Persatuan Pembangunan menyetujuinya.

Sementara dua partai lain yaitu Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera menyatakan menolak.

Sekretaris Fraksi PKS yang juga anggota Panitia Kerja RUU Cipta Kerja, Ledia Hanifa, mengatakan rapat yang berlangsung panjang dan maraton itu masih menyisakan masalah. Karena itulah, partainya menyatakan menolak RUU itu untuk disahkan menjadi undang-undang.

“Sebetulnya keberatan kami karena ini menyangkut 79 undang-undang kita harus pastikan. Kalau buru-buru nanti ada yang terlewat. Karena kan tujuannya mau mensinkronkan. Pada item utama, iya kita sinkonkan tapi yang bukan item utama ini saya khawatir luput,” ujar Ledia Hanifa kepada Quin Pasaribu yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Minggu (03/10).

“Karena kita nggak bisa cek satu-satu dengan waktu yang sangat cepat ini,” sambungnya.

Beberapa poin yang dipermasalahkan PKS, kata Ledia, di antaranya mengenai tidak adanya pemaksaan terhadap pengusaha yang melakukan usaha di kehutanan untuk melakukan pelestarian hutan kembali.

“Ini fungsi pelestarian hutan sangat kita khawatirkan dan harusnya tetap ada.”

Kemudian terkait pembentukan Lembaga Pengelolaan Investasi (LPI) yang modal awalnya berasal dari APBN. Sementara pemeriksaan penggunaan keuangannya, kata Ledia, tidak menyertakan Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK).

“Menurut kami tidak terjadi proses transparansi dan akuntabilitas,” tukasnya.

Adapun yang menyangkut ketenagakerjaan, katanya, seperti hak cuti hamil, melahirkan, menyusui, dan menstruasi untuk pekerja dikembalikan seperti aturan semula. Begitu pula dengan aturan jam kerja.

Namun demikian, skema pesangon bagi pekerja yang di-PHK diubah oleh pemerintah. Jika merujuk pada aturan sebelumnya, pesangon diberikan sebanyak 32 kali upah dengan skema 23 kali ditanggung pengusaha dan sembilan kali oleh pemerintah melalui jaminan BPJS.

Tapi pemerintah menginginkan agar skema itu diturunkan menjadi 25 kali upah dengan skema 19 kali ditanggung pengusaha dan enam kali oleh pemerintah.

Selanjutnya dalam RUU Cipta Kerja juga membuka peluang dalam kemudahan mempekerjakan tenaga kerja asing di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) dan kawasan industri.

Kemudian, kata Leida, pemberlakuan Upah Minimum Sektoral di tingkat kabupaten/kota yang terancam hilang.

Ia menjelaskan, penetapan upah minimum hanya berlaku di tingkat provinsi. Sementara kabupaten/kota bisa diterapkan jika ada persetujuan dari gubernur dengan hitungan merujuk pada pertumbuhan ekonomi dan inflansi.

“Padahal di beberapa kota/kabupaten nilai upahnya justru lebih besar kan daripada provinsi?”

Apa kata pemerintah?

Meski masih ada penolakan-penolakan, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartanto, pada Minggu (04/10) menyebut RUU Cipta Kerja akan dibawa ke Rapat Paripurna DPR untuk pengambilan keputusan dan mendapat pengesahan.

Ia mengklaim RUU Cipta Kerja akan bermanfaat besar untuk mendorong pemulihan ekonomi nasional dan membawa Indonesia memasuki era baru perekonomian global.

“RUU Cipta Kerja akan mendorong reformasi regulasi dan debirokratisasi, sehingga pelayanan pemerintahan akan lebih efisien, mudah, dan pasti, dengan adanya penerapan Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria (NSPK) dan penggunaan sistem elektronik”, ujar Menko Airlangga dalam siaran pers Minggu (04/10).

Terkait ketenagakerjaan, Airlangga mengklaim RUU ini menjamin adanya kepastian dalam pemberian pesangon di program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP).

Sedangkan mekanisme PHK, katanya, tetap mengikuti persyaratan yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan dan tidak menghilangkan hak cuti haid dan cuti hamil.

Sementara kepada pengusaha, RUU Cipta Kerja akan memberi manfaat yang mencakup kemudahan dan kepastian dalam mendapatkan perizinan berusaha.

Pengusaha juga, lanjutnya, akan mendapatkan insentif dan kemudahan baik dalam bentuk insentif fiskal. Di samping adanya bidang kegiatan usaha yang lebih luas untuk dapat dimasuki investasi, dengan mengacu kepada bidang usaha yang diprioritaskan pemerintah (Daftar Prioritas Investasi).

Gagasan membuat RUU Cipta Kerja atau Omnibus Law pertama kali dilontarkan Presiden Joko Widodo dalam pidato pelantikannya pada 20 Oktober 2019.

RUU Cipta Kerja ini terdiri dari 11 klaster dan lebih dari 70 undang-undang. Sebelas klaster dalam RUU ini ialah penyederhanaan perizinan, persyaratan investasi, ketenagakerjaan, kemudahan dan perlindungan UMKM.

Kemudian terdapat pula kemudahan berusaha, dukungan riset dan inovasi, administrasi pemerintahan, pengenaan sanksi, pengendalian lahan, kemudahan proyek pemerintah, dan Kawasan Ekonomi Khusus.

Pemerintah menyerahkan draf dan Surpres RUU Cipta Kerja pada 12 Februari lalu. Namun sejak awal, RUU Cipta Kerja menuai banyak kritik dan penolakan dari banyak pihak, mulai dari akademisi, pegiat lingkungan, buruh, hingga mahasiswa.

Berita ini diperbarui pada Selasa 6 Oktober 2020, dengan menambahkanreaksi terhadap keputusan rapat paripurna DPR yang mengesahkan RUU Omnibus Law pada Senin, 5 Oktober 2020.

source: BBC Indonesia