Westpapuanews.Org

Berita tangan pertama dari Tanah Papua

ArtikelFotoFree PalestineOrganisasi Papua MerdekaSolidaritas Internasional

PALESTINA-WEST PAPUA: INDONESIA MENDUKUNG KEMERDEKAAN PALESTINA DAN VANUATU MENDUKUNG KEMERDEKAAN WEST PAPUA

Palestinian angkat bendera Bintang Kejora di Inggris demo minggu yang lalu bersama Papua Militant International, Palestine ?? dan Revolutionary Communist Group 22/9/2020

Fakta/Realitas

(Indonesia membuka kesempatan luas dan pintu lebar untuk rakyat dan bangsa West Papua memperoleh kemerdekaan. Indonesia sedang mewujudkan pembukaan Mukadimah UUD 1945 dan nilai-nilai Pancasila, yaitu kemanusiaan yang adil dan beradab dan keadilan sosial bagi seluruh umat manusia, termasuk Palestina dan West Papua. Indonesia sudah membuat Palestina dan West Papua sejajar yang sedang berjuang untuk kemerdekaan).

Oleh Dr. Socratez S.Yoman,MA

Pada 23 September 2020, Presiden Republik Indonesia, Ir. Joko Widodo dalam pidato tahunan di forum PBB dengan tegas menyatakan dukungan kemerdekaan rakyat dan bangsa Palestina.

“Palestina adalah satu-satunya negara yang hadir di Konferensi Asia Afrika di Bandung. Yang sampai sekarang belum menikmati kemerdakaannya. Indonesia terus konsisten memberikan dukungan bagi Palestina untuk mendapatkan hak-haknya.”

Konferensi Asia Afrika di Bandung dilaksanakan pada 28-24 April 1955.
dengan tujuan untuk mempererat solidaritas negara-negara di Asia dan Afrika serta melawan kolonialisme barat.

Indonesia terus konsisten memberikan dukungan bagi Palestina untuk mendapatkan hak-haknya. Pernyataan Presiden Indonesia ini sesuai dan dijamin dalam hukum dan undang-undang Indonesia. Dan juga Indonesia dengan kebijakan Luar Negeri berhak mendukung Palestina.

“Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.”

Indonesia sebagai Negara berdaulat dan anggota PBB berkewajiban bersuara untuk kebaikan dan kemajuan serta perdamaian semua bangsa di dunia, maka dalam semangat itu Indonesia dengan terus konsisten mendukung Palestina untuk bebas dan merdeka karena Palestina masih diduduki dan dijajah oleh Israel.

Ketua United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) Benny Wenda sudah menanggapi positif pernyataan dukungan Indonesia atas kemerdekaan Palestina, bahwa hal yang sama Indonesia juga harus menyadari bahwa ia sedang menduduki dan menjajah West Papua.

Karena itu, dalam posisi dan semangat yang sama pemerintah Republik Vanuatu dengan terus konsisten mendukung kemerdekaan rakyat dan bangsa West Papua yang masih diduduki, dijajah dan ditindas oleh kolonial Indonesia.

“INDONESIA MENDUKUNG KEMERDEKAAN PALESTINA DAN VANUATU MENDUKUNG KEMERDEKAAN BANGSA WEST PAPUA” ini yang disebut dalam nilai Pancasila, ‘kemanusiaan yang adil dan beradab dan keadilan sosial bagi seluruh umat manusia.’

Dengan demikian, Indonesia tanpa disadari bahwa dukungan politik Indonesia untuk kemerdekaan bangsa Palestina berarti Indonesia juga mendukung posisi pemerintah Republik Vanuatu yang mendukung kemerdekaan rakyat dan bangsa West Papua.

Penulis kembali menambahkan artikel penulis pada 1 Oktober 2020 yang bertopik: PAPUA ADALAH LUKA MEMBUSUK DAN BERNANAH DALAM TUBUH BANGSA INDONESIA.

Diplomat Indonesia di PBB Silvany Austin Pasaribu menjawab kepada PM Vanuatu Mr. Bob Loughman: “Anda bukanlah representasi dari orang Papua, dan berhentilah berfantasi untuk menjadi salah satunya..” Kalau demikian, apakah Presiden Republik Indonesia, Ir. Joko Widodo berbicara tenntang Myanmar dan Palestina adalah representasi orang Myanmar dan Palestina? Apakah pak Jokowi harus berhenti berfantasi untuk menjadi salah satunya?

Meresponi jawaban diplomat Indonesia, dengan tepat Otto Syamsuddin Ishak mengatakan kepada diplomat Indonesia, Silvany: “Rupanya merasa heroic, tapi faktualnya adalah konyol dan merugikan Republik Indonesia itu sendiri.”

Pembelaan diplomat Indonesia di PBB dari tahun ke tahun itu selalu defensif yang sudah tidak relevan dengan era yang terus bergerak maju dan mengglobal. Indonesia selalu berdiri dengan masalah dalam Negeri dan kedaulatan Indonesia. Sementara Indonesia tidak sadar bahwa ia mencumpuri urusan dalam Negeri Israel dan mengganggu kedaluatan Israel atas Palestina.

Indonesia tidak sadar atau sadar tapi pura-pura tidak sadar atau tidak tahu. Dalam tubuhnya sendiri ada luka membusuk dan bernanah. “Papua adalah luka membusuk di tubuh bangsa Indonesia.” (Franz Magnis). dan “Papua tetaplah luka bernanah di Indonesia.” (Pastor Frans Lieshout).

Keadaan rakyat Papua yang sangat buruk dan tidak normal akibat kekerasan, kekejaman dan kebrutalan Indonesia sejak 1 Mei 1963. Kekejaman itu melahirkan pelanggaran berat HAM selama 57 tahun yang belum pernah disesaikan sampai tahun 2020. Pelanggaran berat HAM itu dapat disimpulkan dengan sempurna oleh dua rohaniawan dengan istilah medis, yaitu luka membusuk dan bernanah dalam tubuh bangsa Indonesia.

Papua luka membusuk dan bernanah itu semakin diperparah atau semakin membusuk/bernanah dan menebarkan aroma busuk ke seluruh dunia dengan pernyataan diplomat Indonesia Silvany Austin Pasaribu di Sidang PBB pada 29 September 2020.

Otto Syamsuddin Ishak menyatakan pendapatnya tentang diplomasi Indonesia di PBB.

“Dari sisi prinsip diplomasi Indonesia, agaknya tindakan diplomasi yang diperankan oleh Silvany kontradiksi dengan kaidah seribu kawan terlalu sedikit, satu lawan terlalu banyak, maka hal itu menjadi kontraproduktif. Rupanya merasa heroic, tapi faktualnya adalah konyol dan merugikan Republik Indonesia itu sendiri.”

Silvany Austin Pasaribu, pada 29 September 2020 di forum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mewakili bangsanya menanggapi pernyataan Pemerintah Vanuatu di PBB, sebagai berikut:

“Anda bukanlah representasi dari orang Papua, dan berhentilah berfantasi untuk menjadi salah satunya”. “Kami menyerukan kepada Pemerintah Vanuatu untuk memenuhi tanggung jawab hak asasi manusia Anda kepada rakyat Anda dan dunia. Jadi sebelum Anda melakukannya, mohon simpan khotbah Anda untuk diri Anda sendiri…”

Kata-kata atau kalimat diplomat Indonesia, Sylvany Austin Pasaribu di forum terhormat di PBB seperti:

“…..Anda bukanlah representasi orang Papua….berhentilah berfantasi….mohon simpan khotbah Anda untuk diri Anda sendiri..”

Pertanyaannya ialah apakah ketika Presiden Republik Indonesia atau Indonesia membela hak rakyat Myanmar, Palestina, itu bukanlah representasi orang Myanmar dan Palestina?

Apakah Presiden Republik Indonesia, Ir. Joko Widodo berbicara tenntang Myanmar dan Palestina adalah representasi orang Myanmar dan Palestina? Apakah pak Jokowi harus berhenti berfantasi untuk menjadi salah satunya?

Kalimat kekanak-kanakan dalam forum resmi PBB dikritik oleh Otto Syamsuddin Ishak sebagai berikut:

“Rupanya merasa heroic, tapi faktualnya adalah konyol dan merugikan Republik Indonesia itu sendiri.”

Pernyataan diplomat Indonesia di PBB adalah paradoks. Orang-orang yang memiliki kredibilitas dan integritas tinggi telah menyatakan situasi Papua itu buruk, tidak normal, tidak beradab, memalukan, luka membusuk, luka bernanah. Pernyataan iman dari Prof. Dr. Franz Magnis dan Pastor Frans Lieshout adalah fakta, realitas, kenyataan, bukti tentang apa yang dilakukan penguasa kolonial Indonesia terhadap rakyat dan bangsa West Papua ini dibantah oleh diplomat Indonesia di forum resmi PBB.

“Ada kesan bahwa orang-orang Papua mendapat perlakuan seakan-akan mereka belum diakui sebagai manusia…..“Situasi di Papua adalah buruk, tidak normal, tidak beradab, dan memalukan, karena itu tertutup bagi media asing. Papua adalah luka membusuk di tubuh bangsa Indonesia.” (hal.255).

“…kita akan ditelanjangi di depan dunia beradab, sebagai bangsa yang biadab, bangsa pembunuh orang-orang Papua, meski tidak dipakai senjata tajam.” (hal.257). (Sumber: Franz: Kebangsaan, Demokrasi, Pluralisme Bunga Rampai Etika Politik Aktual, 2015).

Sementara Pastor Frans Lieshout melihat bahwa “Papua tetaplah luka bernanah di Indonesia.” (Sumber: Pastor Frans Lieshout OFM: Gembala dan Guru Bagi Papua, (2020:601).

Direktur Amnesty Internasional, Usman Hamid mengkritisi pernyataan diplomat Indonesia di PBB pada COMPAS Live sebagai berikut:

“Paradigma diplomasi kita sudah rendah terlewati zaman. …Tidak menjawab persoalan, itu justru kredibilitas kita ada masalah. Persoalan hak asasi manusia itu bukan persoalan dalam negeri tetapi persoalan global. Seperti kita berbicara persoalan HAM di Myanmar, Suria, Palestina.”

Pendeta Yeremia Zanambani di Hitadipa, Kabupaten Intan Jaya, Papua yang tewas ditembak oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) pada Sabtu, 19 September 2020. Pendeta Yeremia tewas ditembak Pasukan TNI dalam operasi militer pada saat Pendeta Yeremia ke kandang babi miliknya untuk memberi makanan semakin membuat luka membusuk dan bernanah dalam tuhuh bangsa Indonesia.

Pendeta Yeremia adalah Ketua Sekolah Teologia Atas (STA) di Hitadipa dan gembala jemaat Imanuel Hutadipa dari Gereja Kemah Injil Indonesia (GKII) Daerah Hitadipa wilayah Papua 3, Penterjemah Alkitab bahasa Moni dan tokoh gereja dan juga pemuka masyarakat suku Moni.

Ada juga Pendeta Geyimin Nirigi tewas ditembak oleh pasukan elit TNI tanggal 19 Desember 2018 di Distrik Mapenduma. Korban disuruh menggali tanah di belakang halaman rumah dan kemudian ditembak mati dan disiram dengan minyak tanah di tubuhnya dan dibakar dengan api. Kapendam XVII Cenderawasih, Mohamad Aidi menyebarkan hoax bahwa pendeta Geyimin Nigiri masih hidup dan sehat-sehat. Tetapi, hasil investigasi Yayasan Keadilan dan Perdamaian Keutuhan Manusia Papua dipimpin langsung Direktur Theo Hesegem pada 25-27 Desember 2018 membuktikan, Pdt. Giyimin Nigiri (80/L) benar tewas di tangan pasukan elit TNI.

Kejahatan dan pelanggaran berat HAM lain yang dilakukan TNI menewaskan Pendeta Elisa Tabuni di Tingginambut, Puncak Jaya pada 16 Agustus 2004. Sebelumnya Pendeta Elisa Tabuni ditangkap, diborgol tanganya dan tewas ditembak oleh pasukan Kopassus dibawah pimpinan Dansatgas BAN-II/Koppasus, Letkol Inf.Yogi Gunawan.

Militer Indonesia yang menewaskan 4 siswa di Paniai pada 8 Desember 2014 belum pernah diselesaikan. Presiden Republik Indonesia, Ir. Joko Widodo berjanji dan janji itu belum pernah dibuktikan.

Status Quo pendekatan berkultur militer tidak pernah berubah. Pastor Frans Lieshout memberikan kesaksian tentang wajah Indonesia yang berkultur militer, brutal dan kejam sejak awal Indonesia memulai konflik di Papua sebagai berikut:

“Pada tanggal 1 Mei 1963 datanglah orang Indonesia. Mereka menimbulkan kesan segerombolan perampok. Tentara yang telah diutus merupakan kelompok yang cukup mengerikan. Seolah-olah di Jakarta mereka begitu saja dipungut dari pinggir jalan. Mungkin benar-benar demikian. Saat itu saya sendiri melihat amukan mereka. Menjarah barang-barang bukan hanya di toko-toko, tetapi juga di rumah-rumah sakit. Macam-macam barang diambil dan dikirim ke kapal itu ke Jakarta. Di mana-mana ada kayu api unggun: buku-buku dan dokumen-dokumen arsip Belanda di bakar.”
( Sumber: Pastor Frans Lieshout OFM: Gembala dan Guru Bagi Papua, 2020, hal. 593).

Dr. Reza A.A Wattimena melalui artikel bertopik: “Sampai Kapan Papua Bergejolak? Kajian Strategis Atas Konflik Politik dan Konflik Sumber Daya di Papua”, menyatakan kondisi riil rakyat Papua sebagai berikut:

“Persoalan HAM sudah menjadi persoalan lama di Papua. Berbagai pelanggaran HAM terus terjadi terhadap masyarakat Papua, dan seringkali tidak ditanggapi dengan tepat. Hal ini terkait erat dengan konflik politik maupun konflik sumber daya yang terjadi di Papua. Sampai sekarang, sebagian masyarakat Papua masih mempertanyakan legitimasi kekuasaan Indonesia atasnya. Permasalahan menjadi semakin rumit, ketika sumber daya alam Papua dikeruk oleh para pendatang, terutama perusahaan bisnis yang bekerja sama dengan militer dan pemerintah Indonesia, namun tidak memberikan sumbangan nyata bagi perkembangan Papua secara menyeluruh…”

“Papua merupakan salah satu daerah yang paling bergejolak di Indonesia. Selama puluhan tahun, berbagai konflik politik, ekonomi sampai dengan militer terjadi di sana. Rakyatnya juga masih banyak yang hidup dalam kemiskinan serta keterbelakangan, walaupun alamnya memiliki kekayaan alam yang amat besar. Sampai detik tulisan ini dibuat, berbagai bentuk persoalan pelanggaran HAM dan ketidakadilan ekonomi juga masih belum mendapatkan jalan keluar yang memadai. Di dalam berbagai krisis tersebut, tuntutan Papua untuk melepaskan diri dari Indonesia pun terus berkumandang.”
Perilaku negara terhadap orang asli Papua yang tidak adil, tidak beradab dan tidak manusiawi ini bertentangan dengan martabat kemanusiaan kita dan juga tidak sesuai dengan era perkembangan moderen yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan kesetaraan.

“Era modern yang ditandai dengan semangat kesetaraan dan demokratisasi meneguhkan bahwa sesama manusia adalah sama dan karena itu segala bentuk perbudakan, penjajahan, penindasan dan sejenisnya seperti yang belaku dalam budaya feodalisme dan kolonialisme sangat bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan harus ditinggalkan.”
( Pramoedya Ananta Toer, Muhammad Muhibbddin: 2019: hal. 127).

Dalam upaya untuk memulihkan luka membusuk dan bernanah dalam tubuh bangsa Indonesia, dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia sudah menyampaikan hasil diagnosa penyakitnya. LIPI sudah membantu penguasa Indonesia dengan penemuan penyakit yang menyebabkan luka membusuk dan bernanah itu.

Jadi, Indonesia sebaiknya menyelesaikan luka membusuk di tubuh bangsa Indonesia yaitu 4 pokok akar masalah Papua. Terlihat bahwa Pemerintah dan TNI-Polri bekerja keras dengan berbagai bentuk untuk menghilangkan 4 akar persoalan Papua yang dirumuskan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang tertuang dalam buku Papua Road Map: Negociating the Past, Improving the Present and Securing the Future (2008). Empat akar persoalan sebagai berikut:

1) Sejarah dan status politik integrasi Papua ke Indonesia;

(2) Kekerasan Negara dan pelanggaran berat HAM sejak 1965 yang belum ada penyelesaian;

(3) Diskriminasi dan marjinalisasi orang asli Papua di Tanah sendiri;

(4) Kegagalan pembangunan meliputi pendidikan, kesehatan, dan ekonomi rakyat Papua.

Solusi untuk mengobati luka membusuk dan bernanah di tubuh bangsa Indonesia ialah Pemerintah Republik Indonesia dan ULMWP duduk satu meja untuk perundingan damai tanpa syarat yang dimediasi pihak ketiga yang netral untuk menemukan solusi damai yang permanen.

Selamat membaca. Waa…waa..waa..

Agamua, Senin, 5 Oktober 2020

Penulis:

  1. Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua.
  2. Anggota: Dewan Gereja Papua (WPCC).
  3. Anggota Baptist World Alliance (BWA).