Tolak Pembangunan Kantor President Kolonial Terrorist Indonesia di Tanah Papua

Papua bukan tanah kosong. Ini tanah leluhur kami

Tanah Papua bukan milik negara yang bisa dibangun seenaknya. Ini bukan tanah kosong seperti yang sering digambarkan. Tanah ini adalah rumah, tempat kehidupan, tempat kelahiran dan pemakaman para leluhur. Setiap gunung, sungai, hutan, dan batu punya nama, sejarah, dan arti yang sakral bagi orang Papua. Di tanah inilah kami hidup dan mempertahankan martabat kami sebagai manusia.

Kini negara datang menawarkan pembangunan Kantor Presiden Republik Indonesia di atas tanah Papua. Tapi bagaimana mungkin kami bisa menerima simbol kekuasaan negara, sementara kehadiran negara selama ini lebih sering menjadi sumber penderitaan? Apa arti sebuah kantor mewah jika rakyat terus dipukul, dibunuh, dibungkam, dan dianggap musuh di tanah sendiri?

Sejak dulu, pelanggaran Hak Asasi Manusia di Papua bukan cerita baru. Sudah puluhan tahun kami mengalami kekerasan, intimidasi, pengungsian, penangkapan, penyiksaan, bahkan kematian. Orang Papua sering ditembak tanpa proses hukum. Mereka yang bersuara damai dianggap separatis. Pemuda dan mahasiswa ditangkap hanya karena mengangkat bendera atau menyampaikan pendapat. Perempuan kehilangan anak, anak kehilangan orangtua. Tapi semua itu jarang diakui, apalagi diselesaikan secara adil oleh negara.

Kami belum pernah melihat negara benar-benar hadir untuk menyembuhkan luka itu. Belum ada pengakuan, belum ada keadilan. Yang terus berdatangan adalah militer, perusahaan besar, dan proyek-proyek pembangunan yang merampas tanah dan menghancurkan hutan kami. Rakyat dipinggirkan, adat diabaikan, dan suara kami dianggap ancaman.

Lalu sekarang pemerintah pusat datang membawa rencana membangun Kantor Presiden di Papua. Kami menolak. Bukan karena kami anti pembangunan, tapi karena kami tahu bahwa pembangunan ini tidak lahir dari suara rakyat Papua. Ini bukan untuk menyembuhkan luka, tapi untuk memperkuat kontrol kekuasaan. Kami tidak butuh istana di tanah ini — kami butuh keadilan.

Tanah Papua bukan halaman kosong untuk ditanami proyek kekuasaan. Ini tanah suci yang diwariskan oleh leluhur kami. Tidak ada satu gedung pun yang bisa menggantikan nyawa yang hilang. Tidak ada simbol negara yang bisa menutupi tangisan ibu-ibu yang anaknya ditembak oleh aparat.

Kami menolak pembangunan Kantor Presiden di Tanah Papua karena tanah ini belum sembuh. Kami masih berduka, kami masih mencari keadilan. Kami masih hidup dalam ketakutan di tengah pengawalan bersenjata. Kami masih menyimpan luka dari pelanggaran HAM yang belum pernah diadili secara adil.

Tanah Papua tidak butuh bangunan kekuasaan, tanah ini butuh pemulihan. Butuh pengakuan atas hak-hak adat. Butuh perlindungan atas hutan dan tanah yang menjadi sumber hidup. Butuh pengakuan bahwa kami, orang Papua, adalah manusia penuh martabat, bukan ancaman negara.

Jika negara mau hadir di Papua, hadirkan dulu keadilan. Hentikan penindasan. Tarik militer. Akui pelanggaran. Dengar suara rakyat. Jangan bangun di atas luka, jangan paksa kami menerima simbol yang tidak pernah kami minta. Kami menolak, karena kami tahu siapa diri kami, dan kami tahu bahwa tanah ini bukan milik negara — tanah ini milik leluhur dan anak cucu kami.

Papua bukan tanah kosong.
Papua adalah tanah perjuangan.
Papua adalah tanah yang hidup.
Papua akan terus bersuara.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *