TANAH MERAH, Westpapuanews.Org — Rencana pembangunan Bendungan Digoel di Sungai Muyu, Distrik Ninati dan Waropko, Kabupaten Boven Digoel, Papua, oleh Ditjen SDA Kementerian PUPR dan Balai Wilayah Sungai Papua Merauke kini mendapat penolakan dari warga suku Muyu dan Wambon di Boven Digoel.
Sebelumnya, bendungan yang sama rencananya akan dibangun di Sungai Kao, meliputi distrik Waropko dan Ambatkuy pada tahun 2018 lalu. Tetapi rencana tersebut ditolak masyarakat adat Muyu dan Wambon karena menyasar tempat-tempat keramat yang menjadi pusat kosmologi masyarakat adat setempat turun-temurun.
Jika ditelisik lebih dalam, bendungan yang akan dibangun di Sungai Kao tetapi gagal, dan kini gencar direncanakan untuk dibangun di sungai Muyu, sejatinya untuk memasok energi listrik dan air bersih kepada industri pengolahan kelapa sawit terpadu di kabupaten Merauke dan kabupaten Boven Digoel.
Bupati Merauke dan bupati Boven Digoel pada tahun 2017 pernah menyepakati, pabrik pengolahan kelapa sawit terpadu akan dibangun di sebuah wilayah netral antara Kabupaten Merauke dan Kabupaten Boven Digoel, tepatnya di wilayah sekitar Kali Mandom.
Tetapi, kesepakatan kedua bupati saat itu kini dimentahkan oleh Bupati Merauke Romanus Mbaraka. Bupati Mbaraka menginginkan, lokasi industri pengolahan kelapa sawit terpadu sepenuhnya berada di wilayah kabupaten Merauke.
Sumber terpercaya di lingkungan Pemerintah Kabupaten Merauke mengatakan, keinginan Bupati Mbaraka ada kaitan dengan 16 Izin Lokasi/Izin Prinsip yang diberikannya antara November 2011 sampai dengan Juli 2013 kepada berbagai perusahaan perkebunan skala besar, termasuk izin untuk PT Internusa Jaya Sejahtera milik Mendagri Tito Karnavian, yang diberikan tepat pada HUT Bhayangkara ke 67 pada 1 Juli 2013. (Baca disini).
Pabrik ini direncanakan akan mengolah Minyak Sawit Mentah/Crude Palm Oil/CPO menjadi beragam produk turunan untuk pasar domestik, menyusul penjualan CPO ke pasar di Amerika dan Eropa mendapat tantangan akibat kampanye kerusakan lingkungan dan penghancuran penduduk pribumi yang secara masif dilakukan oleh dua NGO asing, yaitu Mighty Earth dari Amerika dan AidEnvironment dari Belanda.
Pada Senin, 24 Juli 2017, sebuah Stakeholders Meeting yang diorganisir oleh beberapa perusahaan kelapa sawit digelar di Jakarta. Para stakeholder (pemangku kepentingan) meliputi para tuan dusun, tokoh masyarakat, tokoh agama dan perwakilan perusahaan kelapa sawit yang beroperasi di kabupaten Merauke dan kabupaten Boven Digoel terlibat dalam Meeting ini.
Mereka membahas tantangan dan hambatan industri perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Merauke dan Kabupaten Boven Digoel, Provinsi Papua.
Hadir dalam pertemuan tersebut yaitu Bupati Merauke Frederikus Gebze, SE, M.Si, Bupati Boven Digoel Benediktus Tambonop, S.STP, H.Hamdhani (Anggota Komisi IV DPR RI Fraksi Nasdem), Dr. Nyoto Santoso (Bioref IPB), dan beberapa orang perwakilan masyarakat pemilik hak ulayat di Merauke dan Boven Digoel.
Dua NGO asing, Mighty Earth dari Amerika dan AidEnvironment dari Belanda, yang dianggap kerap melakukan kampanye negatif tentang industri kelapa sawit nasional tidak hadir dalam pertemuan, meski sudah menerima undangan dan disinyalir sedang berada di Jakarta.
Dalam pertemuan itu, para stakeholders menyepakati empat point yaitu: Pertama, pemerintah daerah dan masyarakat Merauke serta Boven Digoel merupakan stakeholder utama dalam pembangunan perkebunan kelapa sawit di kedua daerah tersebut.
Kedua, dibutuhkannya investor untuk ikut berpartisipasi aktif membangun daerah; Ketiga, kebun masyarakat di kedua daerah tersebut harus segera direalisasikan sebagai wujud amanah perundang-undangan yang berlaku dan bagian dari pembangunan daerah.
Dan Keempat, Forum stakeholder ini adalah wadah urun rembug persoalan-persoalan pembangunan Kelapa Sawit di kedua wilayah tersebut.
Pertemuan ini digagas untuk merespon keluhan perusahaan kelapa sawit atas maraknya kampanye negatif dari LSM Mighty Earth dan AidEnvironment yang membuat perusahaan sawit di Merauke dan Boven Digoel belum juga membuka kebun masyarakat.
Terkait butir pertama, para stakeholders yang hadir menyayangkan adanya kampanye negatif NGO asing seperti Mighty Earth dan AidEnvironment. Perwakilan masyarakat yang merupakan para pemilik hak ulayat (tanah adat) tidak terima atas ikut campur tangannya NGO atas urusan tanah adat milik mereka.
Seperti dipaparkan masyarakat adat, masyarakat pemilik ulayat yang difasilitasi oleh beberapa perusahaan Kelapa Sawit, di pertengahan Juli 2017 telah melayangkan surat kepada Mighty Environment dan juga AidEnvironment.
Dalam suratnya, mereka meminta kedua NGO ini untuk menghentikan campur tangan di tanah hak ulayat masyarakat karena yang merasakan dampaknya adalah masyarakat sendiri, bukan dari pihak luar.
Di suratnya tersebut, masyarakat juga meminta NGO untuk memberikan kesempatan kepada perusahaan untuk membuka lahan menjadi kebun masyarakat sebagai usaha meningkatkan ekonomi masyarakat.
“Tolong jangan halangi kami untuk maju dengan berbagai alasan lingkungan,” tulis Demianus Blamen, Tuan Dusun Nakias di suratnya tertanggal 10 Juli 2017.
Pada point lainnya, kehadiran investor yang melakukan pembangunan perkebunan kelapa sawit diapresiasi pemerintah daerah dan masyarakat. Mereka mengklaim, sejak hadirnya perusahaan sawit telah nampak perubahan yang terjadi seperti telah dibangunnya sekolah, rumah sakit, tempat ibadah, dan pembangunan infrastruktur.
Seperti diungkapkan Bupati Merauke saat itu, Frederikus Gebze , areal APL (Area Penggunaan Lain) di Propinsi Papua hanya 6 persen dan semua kebun kelapa sawit di bangun di dalam areal itu. Namun kebanyakan areal APL belum direalisasikan. Situasi Papua pada saat ini, masih butuh pembangunan dan pemerintah daerah tetap menjaga alam di luar APL 6 persen.
Untuk diketahui, perusahaan Kelapa Sawit di Papua sepakat satu kata kampanye, bahwa luas APL di Papua totalnya hanya 6 persen, dan seluruh Kebun Sawit di Papua diklaim berada di areal APL, bukan di kawasan hutan dan diklaim tidak melakukan deforestasi.
Menurut kampanye berbagai perusahaan kelapa sawit, saat ini kondisi di Papua tidak semua areal APL telah direalisasikan. Di sisi lain Pemda Papua terus berjanji untuk menjaga areal kawasan hutan diluar areal APL.
Perwakilan tokoh agama Katolik dari Keuskupan Agung Merauke juga ikut bersuara. Pastor Felix Amias MSC yang juga merupakan anggota Missionariorum Sacratissimi Cordis (MSC) di depan seluruh peserta meeting mengisahkan pengalaman waktu kecilnya yang serba sulit.
Namun, Pastor asal suku Awyu ini mengklaim, semenjak kehadiran perkebunan sawit di Merauke dan Boven Digoel kondisi saat ini semakin membaik. “Kini anak-anak tidak perlu lagi seperti saya sewaktu kecil yang ketika itu harus mendayung perahu dua malam hanya untuk mencari SMP,” katanya.
Mengenai kebun masyarakat (plasma), pihak perusahaan kelapa sawit mendorong masyarakat pemilik ulayat untuk melaporkan bahwa saat ini realisasi pembangunannya terhambat karena berbagai tuntutan dan tekanan NGO asing seperti Mighty Earth dan AidEnvironment melalui isu lingkungan.
“Kami sudah menunggu perusahaan membuka kebun untuk pemilik hak ulayat tersebut, tapi sampai sekarang perusahaan belum juga membersihkan lahan untuk bisa kami tanam kelapa sawit,” kata Abraham Yolmen Ketua Koperasi Serba Usaha Merauke.
“Awalnya kami pikir mungkin perusahaan sengaja mengulur waktu,” katanya. Namun dalam beberapa minggu terakhir dia baru diberitahu oleh pihak perusahaan kelapa sawit, bahwa alasan perusahaan belum membuka kebun bagi masyarakat pemilik hak ulayat tersebut adalah karena pihak perusahaan mendapat tekanan dari NGO seperti Mighty Earth dari Amerika dan AidEnvironment dari Belanda.
Mewakili masyarakat pemilik hak ulayat di Kabupaten Merauke, Simon Walinaulik yang aktif berkonsultasi dengan sebuah perusahaan kelapa sawit menegaskan, pihaknya tidak mau NGO itu ikut campur dan melarang perusahaan. Karena yang akan dibuka ini adalah lahan milik masyarakat sendiri yang sudah masuk dalam Hak Guna Usaha (HGU) yang telah mendapatkan izin dari pemerintah.
Tiga bulan sejak Stakeholders Meeting di Jakarta, Menteri PUPR Basuki Hadimuljono pada 10 September 2017 mengungkapkan rencana pembangunan Bendungan Digoel dan Bendungan Baliem.
Seperti dikutip Ekbis.sindonews.com, Menteri Basuki mengatakan, Bendungan Digoel dan Bendungan Baliem masing-masing membutuhkan biaya sekitar Rp 4,7 Trilyun, memiliki daya tampung 200 juta m3 dan memiliki potensi sebagai pembangkit listrik sebesar 50 Mega Watt (MW).
Empat bulan kemudian setelah stakeholder meeting atau satu bulan sejak Menteri PUPR menyebutkan rencana pembangunan Bendungan Digoel dan Baliem, Kepala Balai Wilayah Sungai Papua, Merauke saat itu, Nimbrot Rumaropen, mengumumkan rencana pembangunan Bendungan Digoel untuk PLTA di Sungai Kao.
Seperti dikutip dari Metromerauke.com pada pada 30 Oktober 2017, Nimbrot Rumaropen mengatakan, bendungan ini memiliki daya 65,13 Megawatt, dan akan dibangun di Distrik Waropko. Daya tersebut diharapkan mampu melayani kebutuhan listrik di wilayah Selatan Papua. (SK/FT – dari berbagai sumber)
Berikut foto-foto kegiatan Stakeholder Meeting yang diperoleh Redaksi Westpapuanews.Org :