Westpapuanews.Org

Berita tangan pertama dari Tanah Papua

Lawan OligarkiOligarki Sawit

Majelis Hakim PTUN Jakarta Menolak Gugatan Perusahaan Sawit di Papua

Aksi solidaritas terhadap suku Awyu di PTUN Jakarta padq bulan Juli 2023 / PUSAKA

JAKARTA, Westpapuanews.Org — Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara [PTUN] Jakarta melalui persidangan secara elektronik [e-court] pada hari ini [05/09] membacakan putusan Perkara Nomor 82/G/2023/PTUN.JKT, dan 87/G/2023/PTUN.JKT, yang didaftarkan pada Maret 2023. Keduanya merupakan perkara gugatan perusahaan kelapa sawit PT Megakarya Jaya Raya (MJR) dan PT Kartika Cipta Pratama (KCP), yang diduga anak perusahaan Hayel Saeed Anam (HAS) Group, perusahaan modal asing asal Yaman, yang beroperasi di daerah Kali Digoel, Distrik Jair, Distrik Mandobo, hingga daerah Kali Mappi, Distrik Fofi, Kabupaten Boven Digoel, Provinsi Papua Selatan [sekarang].

Dalam Pokok Perkara, Majelis Hakim PTUN Jakarta menyatakan, [1]. Menolak Gugatan Penggugat [PT MJR dan PT KCP] dan Penggugat II Intervensi [atas nama Koperasi Yefioho Dohona Ahawang] seluruhnya; [2]. Menghukum Penggugat dan Penggugat II Intervensi secara tanggung renteng untuk membayar biaya perkara sejumlah Rp. 332.000 (tiga ratus tiga puluh dua ribu rupiah).

Awal perkaranya, perusahaan PT MJR dan PT KCP menggugat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan [LHK]RI Nomor SK.1150/MENLHK.SETJEN/PLA.2/11/2022 dan SK.1157/MENLHK.SETJEN/PLA.2/11/2022, tertanggal 14 November 2022, tentang Penertiban dan Penataan Pemegang Pelepasan Kawasan Hutan, masing-masing mengatasnamakan  PT Megakarya Jaya Raya dan PT Kartika Cipta Pratama. Perusahaan tersebut memperkarakan putusan Menteri LHK terkait antara lain penetapan komitmen tambahan yang wajib dipenuhi seperti tidak melakukan pembukaan lahan berhutan di dalam areal pelepasannya untuk kegiatan perkebunan kelapa sawit. Putusan ini dianggap merugikan perusahaan.

Eksepsi jawaban KLHK atas perkara ini antara lain bahwa keputusan yang menjadi objek sengketa merupakan tindak lanjut dari arahan Presiden RI dan penambahan komitmen sudah sesuai dengan ketentuan untuk mengurangi dan mengendalikan deforestasi.  Dalam proses evaluasi ditemukan juga fakta bahwa perusahaan tidak mengusahakan lahan secara maksimal, tidak ada kontrak penjualan, tidak ada suplai untuk pengolahan kelapa sawit, tidak ada laporan produksi dan belum ada kegiatan pemanenan.

Saksi Ahli Dr. Totok Dwi Diantoro, S.H., dosen Fakultas Hukum UGM, yang dihadirkan oleh Tim Advokasi Selamatkan Hutan Adat Papua, dalam persidangan PTUN Jakarta, menyatakan bahwa penertiban kawasan hutan tidak mencabut pelepasan kawasan hutan hanya merubah jenis usahanya, hal itu tidak akan berkait dengan pelepasan kawasan hutan, karena itu tidak mengubah apa yang sudah dilepas. Penertiban dalam konteks ini boleh jadi dimasukkan ke dalam kerangka menertibkan karena melihat ada ketidakefektifan izin yang sudah diberikan, kemudian negara atau pemerintah memberikan sikap dengan mendorong upaya upaya menjadi jenis usaha yang tadinya diharapkan oleh penerima izin.

Dalam perkara ini, masyarakat adat Awyu asal Boven Digoel, pemilik tanah dan hutan adat, yang menjadi sasaran dan objek sengketa bersikap dengan mengajukan permohonan gugatan sebagai Tergugat Intervensi. Pada Mei 2023, perwakilan masyarakat adat dan pemimpin marga dari Suku Awyu, yang berdiam di beberapa kampung di wilayah Kabupaten  Boven Digoel, yakni: Gergorius Yame, Fidelis Misa, Barbara Mukri, Paskalis Mukri, Maximus Nawisi dan Adolfina Sifi, menyampaikan permohonan sebagai intervensi melawan gugatan yang diajukan perusahaan melalui PTUN Jakarta.

Mereka memohon kepada Majelis Hakim PTUN Jakarta agar diterima menjadi pihak intervensi dengan kemauan sendiri untuk mempertahankan atau membela hak dan kepentingannya mereka tidak dirugikan oleh putusan pengadilan.

Gergorius Yame, berpendapat tindakan Menteri LHK menerbitkan putusan pencabutan dan pembatasan izin akan dapat memulihkan hak dan kepentingan masyarakat adat terdampak perusahaan ini, sebaliknya bilamana permohonan perusahaan diterima maka akan merugikan hak dan kepentingan masyarakat, termasuk perempuan adat. Mereka akan kehilangan wilayah hak ulayat berupa hutan dan tanah, kehilangan ruang kehidupan, menghilangkan keanekaragaman hayati dilokasi dan menghilangkan tempat keramat dan tempat penting berdasarkan pengetahuan dan keyakinan masyarakat adat.

Berbagai organisasi masyarakat sipil, organisasi pemuda dan mahasiswa di Tanah Papua dan di luar Pulau Papua,  berkomitmen untuk mengawal gugatan masyarakat adat Awyu terhadap perusahaan di PTUN Jakarta dan terhadap pemerintah di PTUN Jayapura, sebagai gugatan masyarakat adat, gugatan lingkungan hidup, untuk keselamatan manusia dan bumi. Pada perayaan Hari Internasional Masyarakat Adat Se Dunia, di Jayapura, 12 Agustus 2023, Pemuda Adat dan pelajar mahasiswa, menyatakan mendukung upaya penyelamatan hutan adat Papua yang saat ini sedang terancam dengan hadirnya investasi berbasis lahan dan kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada keberlangsungan dan keberlanjutan hutan adat Papua. Kawal sampai menang. [W]

Diadaptasi dari : PUSAKA

One thought on “Majelis Hakim PTUN Jakarta Menolak Gugatan Perusahaan Sawit di Papua

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *