Westpapuanews.Org

Berita tangan pertama dari Tanah Papua

ArtikelIndonesia criminal regimeIndonesia Fascist StateIndonesia terrorist state

Rasisme Sistematik: Akar masalah Papua yang merupakan watak penguasa Indonesia dan rakyatnya

Pendeta Dr. Socratez Sofyan Yoman, MA
(Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua)

Oleh Gembala Dr. Socratez S.Yoman, MA

“Tebarkanlah jalamu di sebelah kanan perahu, maka akan kamu memperoleh”
(Yohanes 21: 6).

RASISME SISTEMIK artinya Indonesia dalam menduduki dan menjajah Penduduk Orang Asli Papua selama ini yang berada dalam semua sistem secara terstruktur dan sistematis di pemerintahan, keamanan, ekonomi, pendidikan, kesehatan dan juga kebudayaan.

RASISME adalah musuh Allah. RASISME adalah musuh seluruh umat manusia. RASISME sangat dibenci dan ditolak oleh seluruh umat manusia. Karena RASISME merendahkan martabat manusia.

Penguasa Indonesia yang menduduki, menjajah, dan menindas serta memusnahkan Penduduk Orang Asli Papua (POAP) memiliki watak dan jiwa RASISME. Penguasa kolonial Indonesia dan TNI-Polri yang berwatak RASIS selalu berlindung dan bersembunyi dibalik stigma politik: separatis dan makar serta kepentingan keamanan nasional dan juga jargon NKRI harga mati.

Penguasa Indonesia, TNI-Polri dan rakyat Indonesia menilai dan menempatkan Penduduk Orang Asli Papua (POAP) sebagai manusia kelas dua, bahkan disamakan dengan derajat hewan, yaitu:

“Monyet, tikus tanah, anjing, babi dan gorila.”

Ada ujaran RASISME terhadap “pahlawan nasional” Frans Kaisepo dalam mata uamg Rp 10.000. Narazisah Asril dalam akunnya: “Saya tidak setuju dengan gambar uang baru yang mukanya menyerupai monyet!!! Bukannya memasang wajah pahlawan malah memasang wajah seperti itu.”
(Baca: Melawan Rasisme dan Stigma di Tanah Papua, Yoman, 2020: hal. 17).

Rakyat Indonesia menghina dan merendahkan martabat Penduduk Asli Papua dengan RASISME kejam yang digambarkan dengan foto bergandengan Natalis Pigai dengan monyel/gorila.

Siti Fatimah: Jokowi Presidenku:

“Ini adalah teman setianya.”

Franz Atau DaNi : “Bukan teman tapi saudara gembar wkwkwkwkwk.”

Santoko: “Cucok2. Kembar siam. Tapi masalah sifaynya baikan yg gak pakai baji.”

Eleser: “Kalau bapak ini keluar malam tanpa ada penerangan orang pasti ketakutan.”

Sukwan Hendra : “Kembar siam.”

Muljasta Yasta: “Umpama satunya gak pakek baju sulit bedain…”

Capten Kalto : “Kembarin dia tu. Cocok.”

Indra Yafkhi: Indra lebih manusiawi dan mengerti akibat buruk ujaran rasisme.

” Postingan yg kyk gni bisa menimbulkan kegaduhan, ini namanya rasisme…Tolong dihormati saudaranya sendiri.”

( Baca Buku: Surat-Surat Gembala Forum Kerja Oikumenis Gereja-gereja Papua (2012:2018) hal. 11).

Natalis Pigai menanggapi ujaran RASISME sebagai berikut:

“Bangsa Papua Melanesia harus ketahui dan sadar bahwa kami ini monyet/gorila yang hidup di negeri ini. TUHAN tidak pernah tidur. Tuduhan dunia internasional bahwa sedang terjadi Genosida ( slow motion genocide) terhadap bangsa Papua dan bangsa Papua akan punah kian ke sini makin nyata. Tidak ada keselamatan hidup bersama di negeri ini. Indonesia akan bubar 2030. Apalagi penghinaan ini secara masif dikeluarkan oleh Siti Fatimah dkk. orang-orang Ir. Joko Widodo, seorang yang terhormat Presiden, Pemimpin Tertinggi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Presiden sangat tahu sejak tahun lalu saya katakan 723 orang menyatakan ujaran rasisme terhadap saya tetapi justru tidak berbuat apa-apa oleh Presiden. Dimana posisi saat itu jabatan saya Pimpinan Komnas HAM, Pejabat Negara yang Presiden tentu empati dan eliminir agar pendukungnya tidak melakukan rasisme. Justru hari ini makin membuktikan bahwa Presiden sengaja membiarkan jiwa-jiwa rasialis para pendukungnya tumbuh dan kembang.” (Natalius Pigai, Korban Rasisme).

Dalam Kompas TV pada 27 Oktober 2019, Mahfud MD, Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Republik Indonesia dengan jiwa diskriminasi RASIAL mengatakan “

“Separatisme lebih berbahaya dari radikalisme….kita harus tumpas separatisme.”

Penguasa yang berwatak dan jiwa diskriminasi RASIAL yang selalu bersembunyi dibalik stigma separatisme dan makar. Perwayangan Jawa digunakan dalam pendudukan dan penjajahan terhadap rakyat dan bangsa West Papua. Dalangnya adalah RASISME tapi wayangnya stigma Separatisme dan Makar.

Penguasa Indonesia dan TNI-Polri dalam menjajah dan menindas POAP dengan watak RASISME tapi selalu bertopeng dengan stigma atau mitos separatisme dan makar itu terbongkar pada 15-17 Agustus 2019 di Semarang, Malang dan Jogyakarta yang dilakukan oleh organisasi massa radikal seperti: Front Pembela Islam (FPI), Pemuda Pancasila (PP), Forum Komunikasi Putra Putri Purnawirawan TNI (FKPP) dan didukung oleh aparat keamanan.

Karena RASISME musuh Allah dan musuh bersama umat manusia, maka seluruh Orang Asli Papua dari Sorong-Merauke bangkit bersama dan melakukan perlawanan terhadap tindakan RASISME pada 29 Agustus 2019.

Dalam menyikapi dan meresponi demo damai melawan RASISME ini, Kapolri dan Panglima TNI berkantor di Papua. Kepala Kepolisian RI Jenderal Pol Tito Karnavian dan Panglima Tentara Negara Indonesia (TNI) Marsekal Hadi Tjahjanto memutuskan untuk berkantor di Jayapura,Papua, mulai Senin (2/9/2019) hingga sepekan ke depan.2 Sep 2019.

Kapolri dan Panglima TNI berkantor di Papua karena perlawanan rakyat atas RASISME bukan solusi yang tepat. Itu bagian yang tak terpisahkan dari kepanikan Negara atas terbongkarnya watak RASISME yang tersembunyi selama ini, maka seluruh kekuatan TNI-Polri dikerahkan di Papua. Tujuan utama mereka ialah membekokkan dan menyembunyikan akar persoalan di Papua, yaitu RASISME.

Solusinya yang benar dan terukur ialah tangkap, dan adili serta menghukum dalam penjara orang-orang yang menyatakan RASISME, bukannya aparat kepolisian sibuk persalahan orang yang menyebarkan kejadian RASISME. Ini nama usir asap tapi tidak padamkan bara apinya.

Ada perbedaan dan jurang yang lebar antara demo damai melawan RASISME tanggal 29 Agustus 2019 dengan 23 September 2019.

Demo damai melawan RASISME pada 29 Agustus 2019 mempunyai roh kebersamaan dan solidaritas kuat seluruh rakyat dan bangsa West Papua dari Sorong-Merauke. Demo pada tanggal ini telah membuktikan kepada kolonial Indonesia yang berwatak RASIS ini bahwa Penduduk Orang Asli Papua pemilik damai, pencinta damai dan pelaku damai di atas tanah leluhurnya.

Tetapi, sebaliknya, kita melihat dan menyaksikan demo pada 23 Agustus 2019 sepertinya ada dua kelompok yang ada dalam demo ini. Ada kelompok yang demo damai murni untuk melawan RASISME. Tetapi ada kelompok yang merusak dan membakar rumah, kios, toko dan aset pemerintah bahkan menghilangkan nyawa manusia. Dalam demo tanggal ini sepertinya ada tangan-tangan orang-orang yang tidak bertanggunghawab yang ikut terlibat didalamnya.

Menjadi terang bagi para pembaca bahwa demo pada 23 September 2019 itu dimanfaatkan untuk membelokkan persoalan RASISME ke persoalan politik dengan mitos makar yang ditujukkan kepada orang-orang yang sebenarnya tidak ada hubungan dengan demo pada 23 September 2019.

  1. Bazoka Logo; 2. Buchtar Tabuni; 3. Agus Kossay; 4. Steven Itlay; 5. Fery Kombo; 6. Alexander Gobay; 7. Hengki Hilapok; 8. Irwanus Uropmabin; 10. Arina Lokbere; 11. Dano Tabuni,; 12 Surya Anta; 13. Ambrosius Mulait; 14. Charles Kossay; 15. Issay Wenda.

Adapun penangkapan 41 orang demontran yang menentang RASISME yang ditahan, diproses, diadili dan dihukum di Jayapura. Nama-nama mereka sebagai berikut: 1. Yosan Wenda. 2. Yoni Weya. 3. Aldi Tabuni. 4. Pandra Wenda. 5. Persiapan Kogoya. 6. Yosan Wenda. 7. Dolvius Hisage. 8. Oktovianus Hisage. 9. Elo Hubi. 10. Mikha Asso. 11. Mikhael Hilapok. 12. Imanuel Hubi. 13. Feri Etama. 14. Welem Walilo. 15. Ronald Wandik. 16. Yoli Loho. 17. Agustinus Mohi. 18. Rupinus Tambonop. 19. Jan Piter Saramaja. 20. Jorgen Haibui. 21. Falerio Jaas. 22. Lanti Kawena. 23. Dorti Kawena. 24. Piter Meroje. 25. Yusuf M. 26. Lois Waswoi. 27. Vincen Gogopia. 28. Bendira Tabuni. 29. Pailes Yigibalom. 30. Biko Yalli Kogoya. 31. Abuwa Yikwa. 33. Jimrif Kogoya. 34. Assa Asso. 35. Meya Kamariki. 36. Yosael Gombo. 37. Elimus Bayage. 38. Yandu Kogoya. 39. Alpon Meku. 40. Tenak Wakerkwa. 41. Abraham Dote.

DISKRIMINASI RASISME terhadap Orang Asli Papua berjalan TELANJANG yang dilakukan oleh penguasa Indonesia. Presiden Republik Indonesia, Ir. Joko Widodo mendemonstrasikan dalam memandang masalah sangat kental dengan diskriminatif RASIAL.

“Innalillahi, saya atas nama pemerintah menyampaikan dukacita yang mendalam atas meninggalnya Randi dan Yusuf, dua mahasiswa Universitas Halu Olea Kendari. Semoga perjuangan mereka (korban) mendapatkan tempat yang mulia.”

Presiden menambahkan: “Saya juga sudah sejak awal ulangi ke Kapolri agar jajarannya tidak represif. Saya perintahkan dilakukan investigasi dan jajarannya Kapolri bilang tidak ada apapun dalam demo ini bawa senjata. Jadi, akan ada investigasi lebih lanjut.” (CNN Indonesia, 27/09/2019).

Lalu bagaimana dengan kematian Marselino Samon, Evert Mofu, Maikel Kareth, Otinus Lokmbere, Tery Wenda yang ditembak dan ditikam mati oleh aparat TNI-Polri bekerja sama dengan Masyarakat Nusantara, Barisan Merah Putih dan Milisi di Papua pada Agustus-September 2019?

Rakyat dan bangsa West Papua selama ini tidak sadar bahwa pendudukan dan penjajahan di West Papua berdasarkan watak dan nafas RASISME yang dikemas dalam stigma Separatis. Watak dan semangat RASISME dari penguasa Indonesia juga dikemas dengan baik dalam bentuk Kolonialisme, Imperialisme, Kapitalisme dan Militerisme.

Selama 74 tahun Indonesia, Penguasa Indonesia mendidik seluruh rakyat Indonesia melalui berbagai media massa dan kesempatan dengan kebohongan-kebohongan tentang persoalan rakyat dan bangsa West Papua. Sehingga sebagian rakyat Indonesia memandang rakyat dan bangsa West Papua dengan kerangka berpikir penguasa Indonesia yang berwatak RASIS. Sehingga seluruh rakyat Indonesia menjadi korban kepentingan penguasa Indonesia. Sebagian besar rakyat Indonesia ikut-ikutan atau meng-ekor menghina dan membenci rakyat Papua dengan watak RASISME.

Penguasa pemerintah Republik Indonesia menindas dan menjajah dan memusnahakan Penduduk Asli Papua, Ras Melanesia dengan semangat dan watak RASISME yang selama ini berlindung dan bersembunyi dan menyelamatkan wajah mereka dengan stigma SEPARATISME.

Pelanggaran berat HAM yang dilakukan Negara selama 58 tahun karena RASISME. Penguasa Indonesia dan aparat TNI-Polri merasa terganggu dengan keberadaan ras Melanesia di West Papua. Ras ini harus dimusnahkan dengan stigma separatis, makar dan OPM. Sebenarnya pandangan rasis tapi dikemas dengan baik dalam stigma politik supaya rakyat Indonesia mendukung penguasa rasis ini.

Dengan tepat alm Hermanus (Herman) Wayoi mengatakan:

“Pemerintah Indonesia hanya berupaya menguasai daerah ini, kemudian merencanakan pemusnahan Etnis Melanesia dan menggatinya dengan Etnis Melayu dari Indonesia. Hal ini terbukti dengan mendatangkan transmigrasi dari luar daerah dalam jumlah ribuan untuk mendiami lembah-lembah yang subur di Tanah Papua. Dua macam operasi yaitu Operasi Militer dan Operasi Transmigrasi menunjukkan indikasi yang tidak diragukan lagi dari maksud dan tujuan untuk menghilangkan Ras Melanesia di tanah ini…”    (Sumber:  Pemusnahan Etnis Melanesia: Memecah Kebisuan Sejarah Kekerasan Di Papua Barat: Yoman, 2007, hal. 143). Dikutip dari Makalah Tanah Papua (Irian Jaya) Masih Dalam Status Tanah Jajahan: Mengungkap Hati Nurani Rakyat Tanah Papua ( Bandar Numbay, Medyo Februari 1999).

Wayoi menegaskan pula:

“Secara de facto dan de jure Tanah Papua atau Irian Jaya tidak termasuk wilayah Indonesia berdasarkan Proklamasi 17 Agustus 1945. Jadi, Tanah Papua bukan wilayah Indonesia, melainkan dijadikan daerah perisai/tameng atau bumper bagi Republik Indonesia” ( Yoman: hal. 137-138).

Perwakilan Penduduk Orang Asli Papua sebagai pemilik TANAH tidak dilibatkan dan penandatanganan Perjajian New 15 Agustus 1962 antar Indonesia dengan Belanda karena Orang Asli Papua
dianggap bodoh dan diabaikan itu perilaku RASISME

Ada bentuk RASISME dalam Pelaksanaan Pepera 1969 yang dimenangkan oleh ABRI (sekarang:TNI) yang sangat merugikan dan melawan kehendak serta aspirasi politik seluruh Orang Asli Papua yang mau merdeka pada watu itu dan anggota Dewan Musyawarah Pepera ditunjuk oleh ABRI dan ditekan dengan moncong senjata.

Pak Pieter Siradan bersaksi: “Pak Yoman, setelah saya membaca buku-buku pak Yoman, saya sangat menyesal. Saya dulu telah menjadi Yudas karena saya ditugaskan oleh Negara untuk mengawasi orang-orang Asli Papua. Saya menangis dan mencucurkan air mata karena saya mengkhianati orang-orang Asli Papua. Saya datang di sini dan tiba di pelabuhan Jayapura pada 1 Desember 1964. Saya ditugaskan oleh negara untuk memenangkan Pepera 1969 dan mempertahankan Irian Barat. Saya yang memegang uang banyak waktu itu dan membayar kepada orang-orang yang mencabut tulisan: “One Man One Vote” yang akan dilewati Ortiz Sanz dan digantikan dengan tanam “Bendera Merah Putih.” Saya sangat malu tinggal di tanah ini. Saya juga menyaksikan pak Eli Uyup ditembak mati oleh TNI tahun 1966 di depan Biskop Rex (sekarang: Kantor Pos Jayapura). Darahnya menempias ke badan saya dan tangan saya penuh dengan darah karena saya ikut mengangkat mayatnya. Saya berdoa supaya Tuhan mengampuni dosa-dosa saya yang jahat itu. Pak Yoman, saya tahu Papua pasti merdeka dan pada saat Papua merdeka, saya yang lebih duluan pulang ke kampung halaman.” ( Sumber: Integrasi Belum Selesai, Yoman, 2010, hal. 91).

Penculikan dan pembunuhan seniman, atropolog dan budayawan yang dimiliki rakyat dan bangsa West Papua, Arnold Clemens Ap pada 26 April 1984 oleh Kopassandha (kini: Kipassus) merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang dahsyat sekaligus pembunuhan dan penghilangan nilai-nilai seni dan budaya itu merupakan bagian diskriminasi RASIAL.

Dr. George Junus Aditjondro dalam bukunya berjudul: Cahaya Bintang Kejora, mengakui:

“…Kebudayaan Papua begitu kaya dan dinamis (heterogen) yang terdiri lebih dari 250 dialek bahasa dan suku. Kekayaan dan kedinamisan itu kelihatannya bagi para penguasa rezim militeris korup Orba dianggap ancaman. Sehingga kekayaan kultural yang memperkuat identitas kepapuan sengaja dimatikan dan warga pendukungnya diintimidasi dan diteror agar ia meninggalkan jati dirinya.”
(2000: hal.107)

Pengiriman Transmigrasi dalam jumlah yang besar ke Tanah Papua dapat mengakibatkan Penduduk Orang Asli Papua disingsirkan dan tanahnya dirampas serta kehilangan tanah mereka untuk selama-lamanya. Perilaku penguasa Indonesia ini merupakan pelanggaran berat hak asasi manusia yang dahsyat yang didukung dengan latar belakang RASISME.

Pemekaran kabupaten dan provinsi tanpa memenuhi syarat-syarat administrasi pemerintahan seperti: jumlah penduduk, wilayah, sumber daya manusia dan sumber daya alam merupakan operasi intelejen untuk menyingkirkan dan mengurangi, bahkan memusnahkan Penduduk Asli Orang Papua adalah Operasi bernafas RASISME.

Ungkapan penguasa Indonesia dan aparat TNI-Polri bahwa Penduduk Orang Asli Papua primitif, terbelakang, tertinggal dengan kebodohan merupakan kejahatan RASISME yang tidak mengakui kehidupan dan peradaban POAP yang memiliki segala-galanya sebelum Indonesia menduduki dan menjajah West Papua.

Pandangan bangsa Indonesia yang RASIALIS selalu bertentangan dengan kedaulatan dan harga diri Penduduk Orang Asli Papua. Peradaban POAP terbukti
dalam buku: Kita Meminum Air Dari Sumur Kita Sendiri” (Yoman, 2010, hal. 92) penulis menjelaskan sebagai berikut:

Kata Ap Lani artinya: ” orang-orang independen, orang-orang yang memiliki otonomi luas, orang-orang yang merdeka, yang tidak diatur oleh siapapun. Mereka adalah orang-orang yang selalu hidup dalam kesadaran tinggi bahwa mereka memiliki kehidupan, mereka mempunyai bahasa, mereka mempunyai sejarah, mereka mempunyai tanah, mereka mempunyai gunung, mereka mempunyai hutan, mereka mempunyai sungai, mereka mempunyai dusun yang jelas, mereka mempunyai garis keturunan yang jelas, mereka mempunyai kepercayaan yang jelas, mereka mempunyai kemampuan untuk mengatur, dan mengurus apa saja, mereka tidak pernah pindah-pindah tempat, mereka hidup tertib dan teratur, mereka mempunyai segala-galanya.”

Seperti Pastor Frans Lieshout, OFM mengakui:

“Saya sendiripun belajar banyak dari manusia Balim yang begitu manusiawi. Saya masih mengingat masyarakat Balim seperti kami alami waktu pertama datang di daerah ini. Kami diterima dengan baik dan ramah, tetapi mereka tidak memerlukan sesuatu dari kami, karena mereka sudah memiliki segala sesuatu yang mereka butuhkan itu. Mereka nampaknya sehat dan bahagia, …Kami menjadi kagum waktu melihat bagaimana masyarakat Balim hidup dalam harmoni…dan semangat kebersamaan dan persatuan…saling bersalaman dalam acara suka dan duka…” ( Sumber: Kebudayaan Suku Hubula Lembah Balim-Papua, 2019, hal. 85-86).

Mitos-mitos negatif yang diproduksi penguasa Indonesia, TNI-Polri dan rakyat Indonesia seperti Gerakan Pengacau Keamanan (GPK), Gerakan Pengacau Liar (GPL), Kelompok Kriminal Sipil Bersenjata (KKSB) atau Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB), separatisme dan makar merupakan stigma-stigma yang disemangati dengan watak RASISME.

Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPN-PB) atau Organisasi Papua Merdeka (OPM) direndahkan dengan mitos Kelompok Kriminal Bersenjata itu penghinaan kolonial yang kejam dan itu bukti kolonial yang berwatak RASISME.

Memang, para kolonial tidak pernah hargai dan akui keunggulan bangsa yang diduduki dan dijajah. Benarlah bahwa kemerdekaan dan keadilan tidak pernah diberikan gratis sebagai hadiah kepada para pajuang kebebasan. Kebebasan harus bayar harga yaitu, keringat, darah, dan termasuk tudingan-tudingan miring dari kolonial yang RASIS seperti bangsa Indonesia.

Perang TNI di Nduga atas perintah presiden Republik Indonesia, Ir.Joko Widodo untuk mengejar Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) atas dasar RASISME. Terbukti dengan banyak rakyat sipil yang menjadi korban, kehilangan sanak-saudara, kehilangan rumah, bahkan Penduduk Asli Nduga telah meninggalkan tanah leluhur dan menjadi pengungsi.

Para pemilik perusahaan yang merampok tanah, hutan dan laut dan gunung POAP yang didukung oleh pemerintah dan aparat TNI-Polri merupakan kejahatan Negara yang menciptakan Kemiskinan Penduduk Orang Asli Papua dalam sistem dan dipelihara secara struktural karena RASISME. Penduduk Orang Asli Papua dianggap rendah seperti hewan, maka tanahnya dirampok dan dibuat miskin permanen dan itu tidak menjadi masalah bagi penguasa kolonial Indonesia yang RASIS.

Adapun pengambilalihan tanah milik rakyat untuk membangun instalasi TNI dan Kepolisian di seluruh Tanah West Papua dari Sorong-Merauke adalah bagian dari memarjinalkan Penduduk Orang Asli Papua dan itu tidak terlepas dari integrasi tindakan RASISME.

RASISME itu sudah telanjang di mana-di mama di seluruh TANAH West Papua dari Sorong-Merauke. Setiap hotel, super market, mall, restaurant, perusahaan bank-bank, di pompa bensin, karyawannya sebagian hampir 99,9% adalah orang-orang Melayu Indonesia. Ini watak dan wajah RASISME yang ada di depan mata.

Dengan tepat Syed Husein Alatas dalam bukunya: “Mitos Pribumi Malas: Citra Orang Jawa, Melayu dan Filipina Dalam Kapitalisme” mengatakan:

“Mereka harus direndahkan dan dibuat merasa bodoh dan bersikap tunduk, karena kalau tidak mereka akan bergerak untuk memberontak.” (Alatas, 1988:hal.37).

Buku ini ditulis dalam konteks masa penjajahan di Indonesia dan di Filipina, tetapi masih sangat relevan dan melampaui segala zaman, maka terlihat tepat seperti pernyataan ini dalam konteks realitas penjajahan penguasa kolonial Indonesia terhadap Penduduk Orang Asli Papua (POAP) selama 58 tahun.

Penguasa Indonesia selalu menutup mata, telinga dan berpura-pura tidak peduli dengan penembakan Orang Asli Papua yang dilakukan oleh aparat keamanan TNI-Polri karena dimata penguasa Indonesia, Orang Asli Papua yang berkulit hitam dan rambut keriting ini tidak layak hidup di atas tanah yang melimpah-ruah dengan kekayaan ini. Penguasa Indonesia dan aparat keamanan lebih mencintai tanah dan sumber daya alamnya. Maka watak RASISME mereka dikemas baik dengan stigma OAP itu separatis dan makar yamg mengganggu kedaulatan NKRI.

Kebijakan penguasa Indonesia dengan diskriminasi RASISME dengan contoh nyata bahwa Aceh dibuat anak emas tapi West Papua diabaikan. Rakyat Aceh diijinkan kibarkan Bendera Gerakan Aceh Merdeka dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) diberikan ruang untuk dialog damai antara pemerintah Indonesia dan GAM. Tetapi, rakyat dan bangsa Papua ditangkap, diadili dan dipenjarakan pada saat bendera Bintang Kejora dikibarkan. Ini bukti kuat diskriminasi RASIAL yang paling kejam yang dilakukan Indonesia terhadap POAP.

Penguasa Indonesia, aparat keamanan TNI-Polri dan rakyat Indonesia menduduki, menjajah, dan menindas serta memusnahkan Penduduk Asli Papua berdasarkan diskriminasi RASIAL, tetapi mereka bersembunyi dibalik stigma separatis dan makar. Mengapa?

  1. Stigma separatisme dan makar bagi penguasa Indonesia dan TNI-Polri selalu aman dan tidak ada yang mengganggu dan menyorotinya karena negara mempunyai alasan kedaulatan Negara dan kepentingan NKRI.
  2. Ketika rakyat dan bangsa West Papua menggunakan data-data diskriminasi RASISME selama 58 tahun, maka penguasa Indonesia dan aparat keamanan TNI-Polri berada dalam kepanikan yang luar biasa. Karena, RASISME adalah musuh Allah. RASISME adalah musuh seluruh umat manusia. RASISME sangat dibenci dan ditolak oleh seluruh umat manusia. Karena RASISME merendahkan martabat manusia. RASISME itu kejahatan kemanusiaan yang paling kejam.

Jadi, “Tebarkanlah jalamu di sebelah kanan perahu, maka akan kamu memperoleh”
(Yohanes 21: 6). Artinya, selama ini para pejuang menggunakan data-data politik dan pelanggaran berat HAM.

Coba, sekarang gunakan RASISME untuk
Perjuangan status politik bangsa West Papua, kejahatan dalam Pepera 1969 yang menyebabkab pelanggaran berat HAM selama 58 tahun.

Prof. Dr. Franz Magnis-Suseno memberikan kesimpulan yang akurat dan tepat tentang keadaan rakyat Papua yang sangat buruk selama ini dalam bukunya: Kebangsaan, Demokrasi, Pluralisme (2015, hal. 255, 257).

“…Ada kesan bahwa orang-orang Papua mendapat perlakuan seakan-akan mereka belum diakui sebagai manusia….Situasi di Papua adalah buruk, tidak normal, tidak beradab, dan memalukan, karena itu tertutup bagi media asing. Papua adalah luka membusuk di tubuh bangsa Indonesia.” (hal. 255).

“…kita akan ditelanjangi di depan dunia beradab sebagai bangsa biadab, bangsa pembunuh orang-orang Papua, meski tidak dipakai senjata tajam.” (hal. 257).
Doa dan harapan penulis, artikel pendek ini menjadi berkat dan pencerahan bagi para pembaca.

Ita Wakhu Purom, Kamis, 21 Mei 2020

Penulis: Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua.
Anggota: Dewan Gereja Papua (DGP).

2 komentar pada “Rasisme Sistematik: Akar masalah Papua yang merupakan watak penguasa Indonesia dan rakyatnya

Tinggalkan Balasan ke Paydayloan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *