Westpapuanews.Org

Berita tangan pertama dari Tanah Papua

MAI-Papua

Aliansi Rakyat Papua Sorong Raya serukan aksi HUT 62 Kemerdekaan Bangsa Papua

Seruan Aksi Aliansi Rakyat Papua [ARP] di Sorong, Domberay, pada Jumat 1 Desember 2023 / ARP

SORONG, Westpapuanews.Org — Aliansi Rakyat Papua [ARP] yang diorganisir oleh Masyarakat Adat Independen Papua [MAI-Papua] Komite Sorong Raya menyerukan aksi “Menuju 62 tahun kemerdekaan rakyat bangsa West Papua [1 Desember 1961-1 Desember 2023]” di Kota Sorong, Domberay.

Aksi tersebut akan digelar pada Jumat 1 Desember 2023 tepat pukul : 09.00 Waktu Tanah Papua [WTP] sampai sampai selesai, bertempat di samping Ramayana Mall Klademak 3 Kota Sorong.

“Kami mengundang seluruh orang Papua, orang non Papua, solidaritas, oraganisasi pro demokrasi, mahasiswa, individu progresif, dan seluruh elemen masyarakat,” seru ARP.

Sebelumnya, MAI-Papua Komite Kota Sorong telah melakukan konsolidasi, diskusi dan nonton bareng [Nobar] dalam rangka HUT ke-62 Bangsa Papua 1 Desember 1961 – 1 Desember 2023.

Konsolidasi, Diskusi dan Nobar yang diorganisir oleh MAI-Papua telah dilaksanakan pada Sabtu, 25 November 2023. [Baca disini]

Ditulis ARP dalam seruan aksi yang disebar melalui platform Facebook, Kamis [30/11/2023], disebutkan bahwa
isu West Papua sudah go international dan rakyat West Papua minta merdeka bukan tanpa alasan.

“Karena kemerdekaan West Papua telah dideklarasikan pada tanggal 1 Desember 1961, tetapi digagalkan 19 hari kemudian lewat Operasi Trikora yang dikumandangkan Soekarno di alun-alun Yogyakarta,” tulis ARP.

Disebutkan, setelah berhasil mengagalkan kemerdekaan West Papua lewat serangkaian operasi militer, Indonesia bersama Belanda dan Amerika menyepakati perjanjian-perjanjian sebagai klaim sepihak untuk menguasai West Papua tanpa melibatkan orang Papua sebagai pemilik tanah leluhur West Papua.

“Salah satu perjanjiannya adalah penandatanganan Perjanjian New York [New York Agreement] antara Belanda, Indonesia, dan Amerika Serikat sebagai penengah terkait sengketa wilayah West New Guinea [Papua Barat] pada tanggal 15 Agustus 1962, yang dilakukan tanpa keterlibatan satu pun wakil dari rakyat Papua Barat,” tulis ARP.

“Padahal,” ARP menyebutkan, “perjanjian itu berkaitan dengan keberlangsungan hidup rakyat Papua Barat sebagai bangsa yang telah Merdeka.”

Dirincikan, New York Agreement mengatur masa depan wilayah Papua Barat yang terdiri dari 29 Pasal yang mengatur 3 macam hal, dimana pasal 14-21 mengatur tentang Penentuan Nasib Sendiri [Self Determination] yang didasarkan pada praktek hukum Internasional, yaitu satu orang satu suara [One Man One Vote].

Pasal 12 dan 13 mengatur transfer administrasi dari Badan Pemerintahan Sementara PBB [UNTEA] kepada Indonesia.

Setelah transfer administrasi atau aneksasi yang dilakukan pada 1 Mei 1963 atas Papua Barat, Indonesia mendapat tanggungjawab untuk mempersiapkan pelaksanaan penentuan nasib sendiri dan pembangunan di Papua selama 25 tahun.

“Namun ternyata Indonesia tidak menjalankan kesepakatan sesuai dalam Perjanjian New York.

“Indonesia malah melakukan pengkondisian wilayah melalui berbagai operasi militer dan penumpasan gerakan kemerdekaan rakyat Papua Barat.

“Dengan itu, sebelum proses penentuan nasib dilakukan pada tahun 1969 PEPERA [Penentuan Pendapat Rakyat], tepat 7 April 1967, Freeport, perusahaan pertambangan milik negara imperialis Amerika Serikat telah menandatangani Kontrak Karya Pertamanya dengan pemerintah Indonesia secara ilegal,” rinci ARP.

Menurut ARP, klaim atas wilayah Papua Barat sudah dilakukan oleh kolonial Indonesia dengan kontrak pertama Freeport dua tahun sebelum PEPERA.

“Sehingga dari 809.337 rakyat Papua Barat yang memiliki hak suara, hanya 1.025 orang yang sebelumnya sudah dikarantina yang memberikan pendapat.

ARP membeberkan, secara sistematis Kolonial Indonesia melakukan dua musyawarah yang tidak memiliki ketentuan hukum Internasional, yang mana harus ‘Satu orang satu suara’ [One Man One Vote], yang telah diatur juga dalam New York Agreement secara hukum Internasional.

Musyawarah untuk Mufakat melegitimasi Indonesia untuk melaksanakan PEPERA yang tidak demokratis, penuh teror, intimidasi dan manipulasi serta adanya Pelanggaran HAM Berat selama PEPERA berlangsung adalah bentuk tidak demokratisnya Indonesia.

Sehingga, hasil manipulasi kolonial Indonesia atas Papua Barat sudah diatur dalam Resolusi PBB No. 2504 [XXIV] pada November 1969, dengan alasan kolonial Indonesia telah merebut dan merekayasa hasil PEPERA yang tidak demokratis dalam resolusi yang ilegal.

Enam puluh dua tahun telah berlalu sejak penandatanganan Kemerdekaan bangsa Papua Barat. Situasi hari ini semakin Parah dengan berbagai macam regulasi yang pro borjuis dan kapitalis yang disahkan dalam beberapa tahun terakhir.

“Seperti Omnibus Law, UU Minerba, UU ITE, KUHP dan Otsus Jilid II serta DOB yag semakin mencekik kehidupan masyarakat Indonesia secara umum dan rakyat Papua secara khusus,” beber ARP.

Menurut ARP, implementasi dari berbagai macam regulasi ini maka pembungkaman ruang demokrasi semakin masif terjadi, kriminalisasi dan penangkapan terhadap masyarakat maupun aktivis dan pembela HAM, Eksploitasi sumberdaya alam secara massif dan berkelanjutan tanpa memperdulikan nasib masa depan masyarakat, pengiriman dan operasi militer yang terus dilakukan ke Papua guna mengamankan segala kepentingan Negara kolonial Indonesia dan tuannya kapitalis.

Dikatakan, keadaan dari manipulasi sejarah gerakan Rakyat Papua Barat dan masifnya penjajahan oleh Kolonial Indonesia masih terus berlangsung dan semakin kritis hingga hari ini, dengan rakyat Papua sebagai korbannya.

“Hanya dengan Menentuan Nasib Sendiri atau Merdeka, Rakyat Bangsa Papua Barat dapat terlepas dari segala belenggu penindasan,” pungkas ARP. [W]

Baca berita seruan aksi HUT 62 Bangsa Papua disini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *