Westpapuanews.Org

Berita tangan pertama dari Tanah Papua

BACAAN PROGRESIF

Negara dan Revolusi – Bab I – Bagian [b]

Ajaran Marxis tentang Negara dan Tugas-tugas Proletariat di dalam Revolusi

VLADIMIR I. LENIN

  1. NEGARA SEBAGAI ALAT UNTUK MENGHISAP KELAS TERTINDAS

Untuk mempertahankan kekuasaan kemasyarakatan yang khusus, yang berdiri di atas masyarakat, dibutuhkan pajak dan pinjaman negara.

“Dengan memiliki kekuasaan kemasyarakatan dan hak untuk memungut pajak,” tulis Engels, “maka para pejabat, sebagai organ masyarakat, kini berdiri di atas masyarakat. Rasa hormat yang bebas dan sukarela kepada organ-organ masyarakat gens [klan] sudah tidak cukup bagi mereka, bahkan andaikatapun mereka dapat memperolehnya”…. Dibuatlah undang-undang khusus tentang kesucian dan kekebalan para pejabat. “Seorang agen polisi yang paling hina” mempunyai “otoritas” yang lebih besar daripada wakil-wakil klan, tetapi bahkan kepala kekuasaan militer negara beradab bisa beriri hati kepada seorang pengetua klan yang menikmati “rasa hormat yang diperoleh tanpa paksaan” dari masyarakat.

Di sini dikemukakan masalah kedudukan berhak istimewa para pejabat sebagai organ kekuasaan negara. Pokok persoalannya apa yang menempatkan mereka di atas masyarakat? Akan kita lihat bagaimana soal teori ini dipecahkan dalam praktek oleh Komune Paris pada tahun 1871 dan bagaimana ia dikaburkan secara reaksioner oleh Kautsky pada tahun 1912.

“Karena negara timbul dari kebutuhan untuk mengendalikan pertentangan-pertentangan kelas; karena bersamaan itu ia timbul di tengah-tengah bentrokan kelas-kelas, maka sebagai hukumnya, ia, negara, lazimnya adalah negara dari kelas yang paling perkasa, yang berdominasi di bidang ekonomi, yang dengan bantuan negara menjadi kelas yang juga berdominasi di bidang politik dan dengan demikian memperoleh sarana baru untuk menindas dan menghisap kelas-kelas tertindas” Seperti halnya negara-negara kuno dan feodal yang merupakan organ untuk menghisap kaum budak dan hamba, demikianlah juga “negara perwakilan modern adalah alat dari kapital untuk menghisap kerja upahan. Tetapi sebagai kekecualian terdapat periode-periode di mana kelas-kelas yang berperang mencapai keseimbangan kekuatan sedemikian rupa sehingga kekuasaan negara untuk sementara waktu memperoleh kebebasan tertentu dalam hubungan dengan kedua kelas itu, seolah-olah sebagai penengah di antara mereka”…. Demikianlah monarki-monarki absolut abad ke-17 dan ke-18, Bonapartisme dari Kekaisaran Pertama dan Kedua di Perancis, serta rezim Bismarck di Jerman.

Begitulah, bisa kita tambahkan, pemerintah Kerensky di Rusia republik setelah beralih ke pengejaran terhadap proletariat revolusioner dalam saat di mana Soviet-soviet[13] sudah tidak berdaya akibat pimpinan kaum demokrat borjuis kecil, sedang borjuis belum cukup kuat untuk begitu saja membubarkan soviet-soviet itu.

“Dalam republik demokratis,” Engels meneruskan “kekayaan menggunakan kekuasaannya secara tidak langsung, tetapi justru dengan lebih pasti”, yaitu pertama, dengan jalan “menyuap langsung para pejabat” [Amerika]; kedua, dengan jalan “persekutuan antara pemerintah dengan bursa” [Perancis dan Amerika].

Dewasa ini imperialisme dan dominasi bank-bank telah “mengembangkan” kedua cara mempertahankan dan mewujudkan kemahakuasaan kekayaan ini di dalam republik-republik demokratis manapun menjadi seni yang luar biasa. Apabila, misalnya sejak bulan-bulan pertama dari republik demokratis Rusia, dapat dikatakan dalam bulan madu dari perkawinan kaum “sosialis”, kaum Sosialis Revolusioner dan kaum Menshevik, dengan borjuasi dalam ikatan perkawinannya, pemerintahan koalisi. Tuan Palchinsky mensabot setiap tindakan untuk mengekang kaum kapitalis dan praktek-praktek perampokan mereka, penggarongan mereka terhadap kas negara melalui kontrak-kontrak militer; dan apabila kemudian Tuan Palchinsky yang mengundurkan diri dari kabinet [tentu saja diganti dengan orang lain yang tepat serupa dengan Palchinsky] “dihadiahi” jabatan dengan gaji 120.000 rubel setahun oleh kaum kapitalis –apa ini? Penyuapan langsung atau tidak langsung? Persekutuan antara pemerintah dengan sindikat-sindikat atau “hanya” hubungan persahabatan? Peranan apa yang dilakukan oleh orang-orang yang sebangsa Cernov, Tsereteli, Avksentyev dan Skobelev? Apakah mereka itu sekutu “langsung” atau hanya sekutu tidak langsung dari jutawan-jutawan penjarah harta karun?

Alasan mengapa kemahakuasaan “kekayaan” lebih terjamin dalam republik demokratis, adalah karena ia tidak tergantung pada selubung politik yang buruk dari kapitalisme. Republik demokratis adalah selubung politik terbaik yang mungkin bagi kapitalisme dan karena itu kapital, setelah menguasai selubung yang terbaik itu [melalui orang-orang semacam Palchinsky, Cernov, Tsereteli dan rekan-rekannya] menegakkan kekuasaannya yang dengan begitu aman, begitu pasti, sehingga tidak ada perubahan apapun baik perubahan orang, lembaga maupun partai dalam republik borjuis-demokratis yang dapat menggoyang kekuasaan itu.

Harus ditegaskan pula bahwa Engels dengan setegas-tegasnya menamakan hak pilih umum sebagai alat kekuasaan borjuasi. Hak pilih umum, kata Engels, jelas dengan mempertimbangkan pengalaman panjang dari Sosial-demokrasi Jerman, adalah “ukuran bagi kematangan kelas buruh. Hak pilih umum tidak dapat dan tidak akan dapat memberikan lebih banyak dalam negara masa kini”

Kaum demokrat borjuis kecil, seperti kaum Sosialis-Revolusioner dan kaum Menshevik kita, dan juga saudara kembar mereka, yaitu seluruh kaum sosial-chauvisnis dan kaum oportunis Eropa Barat, mengharapkan justru “lebih banyak” dari hak pilih umum. Mereka sendiri menganut pikiran yang salah dan menyampaikan pada rakyat, seolah-olah hak pilih umum “dalam negara modern” benar-benar dapat menyatakan kehendak mayoritas kaum pekerja dan menjamin pelaksanaannya.

Di sini kita hanya dapat menyebutkan pikiran salah itu, hanya dapat menunjukan bahwa pernyataan Engels yang sepenuhnya jelas, tepat dan kongkrit itu terus menerus didistorsikan dalam propaganda dan agitasi partai-partai Sosialis yang “resmi” [yaitu yang oportunis]. Penjelasan yang terperinci mengenai seluruh kepalsuan pikiran ini, akan diberikan dalam uraian kita lebih lanjut tentang pandangan-pandangan Marx dan Engels mengenai negara “modern”.

Engels memberikan kesimpulan umum tentang pandangan-pandangannya dalam karyanya yang paling populer dengan kata-kata berikut:

“Jadi, negara tidaklah selamanya ada. Pernah ada masyarakat yang bisa tanpa negara, yang tidak mempunyai konsepsi tentang negara dan kekuasaan negara. Pada tingkat tertentu perkembangan ekonomi, yang tidak bisa tidak berhubungan dengan pecahnya masyarakat menjadi kelas-kelas, negara menjadi keharusan karena perpecahan ini. Kita sekarang dengan langkah-langkah cepat mendekati tingkat perkembangan produksi di mana adanya kelas-kelas ini bukan hanya tidak lagi menjadi keharusan, tetapi menjadi rintangan langsung bagi produksi. Kelas-kelas tak terelakan akan runtuh, sebagaimana halnya dulu kelas-kelas itu tak terelakan timbul. Dengan runtuhnya kelas-kelas, maka secara tak terelakan akan runtuh pula negara. Masyarakat yang akan mengorganisasi produksi secara baru atas dasar perserikatan bebas dan sama derajat kaum produsen akan mengirim seluruh mesin negara ke tempat yang semestinya: yaitu ke dalam museum barang antik, di sebelah alat pemintal dan kapak perunggu”.

Kutipan ini jarang dijumpai dalam literatur propaganda dan agitasi dari Sosial-Demokrasi masa kini. Tetapi kalaupun kita menjumpai kutipan tersebut, kebanyakan dikutip dengan cara seperti menyembah di hadapan patung orang suci, yaitu untuk menyatakan rasa hormat resmi kepada Engels, tanpa usaha sedikitpun untuk merenungkan berapa luas dan dalamnya jangkauan revolusi sebagai prasyarat untuk “mengirim seluruh mesin negara ke museum barang antik ” itu. Dalam banyak hal bahkan tidak nampak adanya pemahaman tentang apa yang oleh Engels dinamakan mesin negara.

  1. “MELENYAPNYA” NEGARA DAN REVOLUSI DENGAN KEKERASAN

Kata-kata Engels mengenai “melenyapnya” negara terkenal begitu luas, begitu sering dikutip dan begitu jelas menunjukkan inti pokok pemalsuan yang lazim terhadap Marxisme sehingga menjadi mirip dengan oportunisme, sehingga kita harus membahasnya secara terperinci. Kita akan mengutip seluruh argumen dari mana diambil kata-kata tadi:

“Proletariat merebut kekuasaan negara dan pertama-tama mengubah alat-alat produksi menjadi milik negara. Tetapi dengan ini ia mengakhiri dirinya sendiri sebagai proletariat, dengan ini ia mengakhiri segala perbedaan kelas dan antagonisme kelas, dan bersama itu juga mengakhiri negara sebagai negara. Masyarakat yang ada sejak dulu hingga sekarang yang bergerak dalam antagonisme-antagonisme kelas memerlukan negara yaitu organisasi kelas penghisap untuk mempertahankan syarat-syarat luar produksinya; artinya terutama untuk mengekang dengan kekerasan kelas-kelas terhisap dalam syarat-syarat penindasan [perbudakan, perhambaan dan kerja upahan] yang ditentukan oleh cara produksi yang sedang berlaku. Negara adalah wakil resmi seluruh masyarakat, pemusatan masyarakat dalam lembaga yang nampak, tetapi negara yang berupa demikian itu hanya selama ia merupakan negara dari kelas yang sendirian pada zamannya mewakili seluruh masyarakat; pada zaman kuno ia adalah negara dari warga negara pemilik budak; pada Zaman Tengah, negara dari bangsawan feodal; pada zaman kita, negara dari borjuasi. Ketika negara pada akhirnya sungguh-sungguh menjadi wakil seluruh masyarakat, ia menjadikan dirinya tidak diperlukan lagi. Segera setelah tidak ada lagi satu kelaspun dalam masyarakat yang perlu ditindas, segera setelah lenyapnya, bersama dengan dominasi kelas, bersama dengan perjuangan untuk eksistensi perorangan yang dilahirkan oleh anarki produksi masa kini, bentrokan-bentrokan dan ekses-ekses yang timbul dari perjuangan ini, maka sejak saat itu tidak ada lagi yang harus ditindas, juga tidak ada keperluan akan kekuatan khusus untuk menindas, akan negara. Tindakan pertama, di mana negara benar-benar tampil sebagai wakil seluruh masyarakat –pemilikan alat-alat produksi atas nama masyarakat– sekaligus merupakan tindakannya yang bebas yang terakhir sebagai negara. Campur tangan kekuasaan negara dalam hubungan-hubungan sosial menjadi tidak diperlukan lagi dari satu bidang ke bidang yang lain dan ia berhenti dengan sendirinya. Pemerintahan atas orang-orang diganti dengan pengurusan barang-barang dan pimpinan atas proses produksi. Negara tidaklah dihapuskan, ia melenyap. Atas dasar ini harus dinilai kata-kata ‘negara rakyat bebas’ –kata-kata yang untuk sementara mempunyai hak hidup dalam hal agitasi, tetapi yang pada akhirnya tidak beralasan secara ilmiah–serta harus dinilai juga tuntutan dari apa yang dinamakan kaum anarkis supaya negara dihapuskan seketika” [Herr Eugen Duhring’s Revolution in Science [Anti-Dühring], hlm. 301-03, edisi Jerman ketiga].[14]

Dengan tidak takut salah dapat dikatakan bahwa dari argumen Engels yang luar biasa kayanya akan ide itu, yang telah menjadi milik sesungguhnya dari ide sosialis di kalangan partai-partai sosialis modern hanyalah bahwa menurut Marx, negara “melenyap” –berbeda dengan ajaran anarkis tentang “penghapusan” negara. Memangkas Marxisme sedemikian itu berarti memerosotkannya menjadi oportunisme, sebab “interpretasi” semacam itu hanyalah meninggalkan gambaran yang kabur tentang perubahan yang lambat, bahkan berangsur-angsur, tentang ketiadaaan revolusi. “Melenyapnya” negara dalam pengertian yang sudah umum berlaku, tersebar luas, massal, kalau dapat dikatakan demikian, tidak diragukan lagi berarti mengaburkan, jika tidak mengingkari, revolusi.

Bagaimanapun, “interpretasi” semacam itu adalah distorsi yang paling kasar terhadap Marxisme, yang hanya menguntungkan borjuasi; dalam secara teori, dasarnya ialah mengabaikan keadaan-keadaan serta pertimbangan-pertimbangan terpenting yang diindikasikan, katakanlah, dalam argumen Engels yang “bersifat kesimpulan” yang telah kita kutip selengkapnya di atas.

Pertama sekali, pada awal dari argumennya Engels mengatakan bahwa dengan merebut kekuasaan negara, proletariat “dengan demikian menghapuskan negara sebagai negara”. Apa artinya ini, ini “tidak biasa” direnungkan. Biasanya ini diabaikan sama sekali atau dianggap sebagai sesuatu “kelemahan Hegelian” dari Engels. Sebenarnya kata-kata tersebut dengan singkat menyatakan pengalaman salah satu revolusi proletar yang terbesar, yaitu pengalaman komune Paris tahun 1871 yang akan kita bicarakan secara lebih terperinci pada tempat yang semestinya. Sebenarnya di sini Engels berbicara tentang “penghapusan” negara borjuis oleh revolusi proletar, sedang kata-kata tentang melenyapnya negara merujuk pada sisa-sisa ketatanegaraan proletar sesudah revolusi sosialis. Menurut Engels negara borjuasi tidak “melenyap” tetapi “dihapuskan” oleh proletariat dalam revolusi. Apa yang melenyap sesudah revolusi adalah negara atau setengah negara proletar itu.

Kedua, negara adalah “kekuatan penindas khusus”. Di sini Engels memberikan definisi yang cemerlang dan amat mendalam dengan sejelas-jelasnya. Dan dari sini dapat ditarik kesimpulan bahwa “kekuatan penindas khusus” dari borjuasi terhadap proletariat, dari segelintir kaum kaya terhadap jutaan kaum pekerja, harus digantikan dengan “kekuatan penindas khusus” dari proletariat [diktator proletariat] terhadap borjuasi. Inilah “penghapusan negara sebagai negara”. Inilah “tindakan” pemilikan alat-alat produksi atas nama masyarakat. Dan dengan sendirinya jelas bahwa penggantian satu “kekuatan khusus” [borjuasi] dengan “kekuatan khusus” yang lain [proletar] yang demikian itu tidaklah mungkn terjadi dalam bentuk “melenyap”.

Ketiga, ketika berbicara tentang “melenyap” dan bahkan lebih hidup dan lebih ekspresif tentang “mati perlahan dengan sendirinya”, Engels, dengan jelas sekali dan pasti memaksudkan zaman sesudah “dimilikinya alat-alat produksi oleh negara atas nama seluruh masyarakat”, itu berarti, sesudah revolusi sosialis. Kita semua tahu bahwa bentuk politik dari “negara” pada masa itu adalah demokrasi yang paling sempurna. Tetapi hal ini tidak pernah masuk ke dalam kepala seorangpun yang mana saja dari kaum oportunis yang dengan tak tahu malu mendistorsikan Marxisme bahwa Engels oleh karena itu di sini berbicara tentang demokrasi “berhenti dengan sendirinya”, atau “melenyap”. Ini tampaknya sungguh janggal sekali pada pandangan pertama; tetapi ini adalah “tidak komprehensif” hanyalah bagi mereka yang tidak berpikir tentang kenyataan bahwa demokrasi juga adalah suatu negara dan bahwa, oleh karena itu, demokrasi akan hilang juga apabila negara hilang. Revolusi sendiri dapat “menghapuskan” negara borjuis. Negara pada umumnya yaitu, demokrasi yang paling sempurna, hanya dapat “melenyap”.

Keempat, sesudah merumuskan dalilnya yang tersohor bahwa “negara melenyap”, Engels sekaligus memberikan penjelasan yang kongkrit bahwa dalil ini diarahkan kepada kaum oportunis maupun kaum anarkis. Disamping itu Engels mengedepankan kesimpulan yang ditarik dari dalil bahwa “negara melenyap” yang diarahkan kepada kaum oportunis.

Orang dapat bertaruh bahwa dari setiap 10.000 orang yang telah membaca atau mendengar tentang “hal melenyapnya” negara, 9.990 orang tidak tahu sama sekali, atau tidak ingat lagi, bahwa Engels mengarahkan kesimpulan-kesimpulan dari dalil ini tidak semata terhadap kaum anarkis. Dan dari sepuluh yang tersisa itu, barangkali sembilan yang tidak tahu tentang arti “negara Rakyat bebas” atau tentang mengapa suatu serangan terhadap semboyan ini berarti serangan terhadap kaum oportunis. Beginilah sejarah ditulis! Beginilah ajaran revolusioner yang besar secara tak terasa dipalsukan dan disesuaikan dengan filistinisme yang tengah berkuasa! Kesimpulan yang diarahkan kepada kaum anarkis telah diulangi ribuan kali, divulgarkan, dipakukan ke dalam kepala orang banyak dalam bentuk yang sedangkal-dangkalnya dan telah menjelma menjadi prasangka; sementara itu kesimpulan yang diarahkan terhadap kaum oportunis telah dikaburkan dan “dilupakan”!

“Negara Rakyat bebas” adalah suatu program tuntutan dan suatu semboyan yang umum dan tersebar luas dari kaum Sosial-Demokrat Jerman dalam tahun-tahun 70-an. Semboyan ini tidak mempunyai isi politik sama sekali kecuali ia melukiskan pengertian tentang demokrasi dengan gaya filistin yang muluk-muluk. Sejauh ia digunakan untuk dengan jalan yang sah menurut undang-undang menunjukan suatu republik demokratis, Engels bersedia untuk “membenarkan” penggunaannya itu “untuk suatu waktu saja” dipandang dari sudut agitasional. Tetapi itu adalah semboyan oportunis, karena ia tidak saja menyatakan pembagusan demokrasi borjuis, tetapi juga kegagalan untuk memahami kritisisme sosialis terhadap negara pada umumnya. Kita menyetujui suatu republik demokratis sebagai bentuk terbaik dari negara untuk proletariat dibawah kapitalisme; tetapi kita tidak mempunyai hak untuk melupakan bahwa perbudakan upah menjadi nasib rakyat bahkan di dalam republik borjuis yang paling demokratis sekalipun. Lebih jauh, setiap negara adalah suatu “kekuatan penindas khusus” terhadap kelas tertindas. Maka dari itu, setiap negara tidak “bebas” dan bukan “negara Rakyat” . Marx dan Engels menjelaskan hal ini berkali-kali kepada kawan-kawan separtainya selama tahun-tahun 70-an.

Kelima, dalam karya Engels yang itu juga, yang darinya setiap orang teringat akan pengutaraan tentang hal melenyapnya negara, memuat juga suatu pengutaraan tentang arti penting dari revolusi dengan kekerasan. Analisa kesejarahan dari Engels mengenai peranannya menjadi suatu sanjung puji yang sebenarnya terhadap revolusi dengan kekerasan. “Tiada seorangpun teringat” akan hal itu; di dalam partai-partai sosialis modern bukan menjadi kebiasaan untuk berbicara atau bahkan berpikir tentang arti penting ide ini, dan ia tidak memainkan peranan apa-apa dalam propaganda serta agitasi sehari-hari mereka di kalangan massa. Namun, ia tak terpisahkan berpadu dengan “hal melenyapnya” negara menjadi satu keseluruhan yang selaras.

Inilah argumentasi Engels:

“…Bagaimanapun, kekuatan itu, kekerasan, juga memainkan peranan lain dalam sejarah” [kecuali peranan sebagai pelaku kejahatan] “dalam sejarah, yaitu peranan revolusioner, bahwa kekerasan, menurut kata-kata Marx, adalah bidan bagi setiap masyarakat lama yang telah mengandung masyarakat baru, bahwa kekerasan adalah alat yang digunakan oleh gerakan sosial untuk merintis jalan bagi dirinya dan menghancurkan bentuk-bentuk politik yang telah mati dan membatu –tentang ini tak sepatah kata pun dari Tuan Duhring. Hanya dengan menarik nafas berat panjang dan mengeluh ia mengakui kemungkinan bahwa untuk menggulingkan sistim ekonomi penghisapan barangkali akan diperlukan kekerasan– sayang sekali, lihatlah! Karena setiap penggunaan kekerasan katanya akan mendemoralisi orang yang menggunakannya. Dan ini diucapkan sekalipun ada kebangkitan moral dan spiritual yang tinggi yang terjadi sebagai akibat dari setiap revolusi yang menang! Dan ini diucapkan di Jerman, di mana suatu bentrokan dengan kekerasan –yang memang dapat dipaksakan kepada Rakyat– setidak-tidaknya akan mempunyai keunggulan yang menghilangkan jiwa membudak yang telah merasuk ke dalam kesadaran nasional akibat perasaan terhina karena dari Perang Tiga Puluh Tahun[15]. Dan cara berpikir pendeta, tak hidup-suram-loyo-dan tak berdaya, ini berani mendesakkan diri kepada partai yang paling revolusioner yang telah dikenal sejarah!” [Hal. 193, edisi bahasa Jerman ketiga, Jilid II akhir Bab IV].[16]

Bagaimanakah sanjung puji terhadap revolusi dengan kekerasan ini, yang oleh Engels dengan tegar disodorkan agar diperhatikan oleh kaum Sosialis-Demokrat Jerman antara tahun 1878 dan 1894, yaitu benar-benar sampai saat meninggalnya, dapat dikombinasikan dengan teori tentang “hal melenyapnya” negara untuk membentuk doktrin yang tunggal?

Biasanya dua hal itu dikombinasikan dengan perantara eklektisisme[17] , dengan memilih pandangan yang ini atau yang itu secara tak berprinsip atau dengan semaunya saja secara sofistik[18] [atau untuk menyenangkan hati kaum penguasa], dan dalam 99 kejadian dari 100, jika bahkan tidak lebih sering, maka pikiran tentang “hal melenyapnya” itulah yang ditampilkan di tempat yang terdepat. Dialektika digantikan oleh eklektisisme –inilah gejala yang paling biasa, paling tersebar luas yang terjumpai dalam kepustakaan Sosial-Demokratik resmi dalam hubungannya dengan Marxisme. Barang-tiruan semacam itu, tentu saja bukanlah barang baru, ia ditemui juga dalam sejarah filsafat Yunani klasik. Dalam memalsukan Marxisme secara oportunis, barang-tiruan eklektisisme untuk mengganti dialektika adalah cara yang termudah untuk mengelabui massa; ia memberikan pemuasan yang dalam angan-angan saja; tampaknya ia memperhitungan segala segi dari proses, segala kecenderungan perkembangan, segala pengaruh yang berbentrokan, dan seterusnya, sedang dalam kenyataannya ia tidak menjadikan pengertian yang integral dan revolusioner sedikitpun mengenai proses perkembangan sosial.

Kami telah mengatakan di atas, dan akan menunjukkan lebih sempurna lagi kemudian, bahwa ajaran Marx dan Engels mengenai hal tidak terelakkannya revolusi dengan kekerasan itu menunjuk pada negara borjuis. Yang tersebut belakangan itu tidak dapat dihapuskan oleh negara proletar [diktatur proletariat] melalui proses “melenyap” tetapi sebagai aturan umum hanya melalui revolusi dengan kekerasan. Sanjung puji yang dinyanyikan oleh Engels untuk menghormatinya dan yang sepenuhnya sejalan dengan pernyataan Marx berkali-kali [ingat akan bagian-bagian penutup dari Kemiskinan Filsafat[19] dan Manifesto Komunis[20], dengan maklumatnya yang bangga dan terus terang mengenai hal tidak terelakkannya revolusi dengan kekerasan; ingat akan apa yang ditulis oleh Marx hampir 30 tahun kemudian, dalam mengkritik Program Gotha[21] tahun 1875, ketika ia tanpa ampun menyiksa watak oportunis dari program itu] — sanjung sama sekali bukanlah suatu “dorongan” belaka, suatu deklamasi atau peletusan polemik semata-mata. Keperluan akan menjiwai massa secara sistematik dengan pandangan ini dan justru pandangan tentang revolusi kekerasan ini adalah landasan dari seluruh ajaran Marx dan Engels. Penghianatan terhadap ajaran mereka oleh aliran-aliran Sosial-Chauvinis dan Kautskyis yang sekarang berkuasa dinyatakan dengan kejelasan yang menyolok oleh hal bahwa kedua lairan tersebut semuanya mengabaikan propaganda dan agitasi semacam itu.

Penggantian negara borjuis oleh negara proletar tidaklah mungikin tanpa revolusi dengan kekerasan. Penghapusan negara proletar, yaitu, negara pada umumnya tidak lah mungkin kecuali melalui proses “melenyap”.

Elaborasi yang lebih detil dan kongkrit dari pandangan-pandangan ini telah dilakukan oleh Marx dan Engels ketika mereka mempelajari masing-masing situasi revolusioner terpisah, ketika mereka menganalisa pelajaran dari setiap pengalaman masing-masing revolusi. Sekarang kami akan membahas bagian ini, yang tak usah diragukan lagi adalah yang paling penting, dari ajaran mereka. — Bersambung ke Bab II

Catatan :

[13]. Soviet -dari bahasa Rusia, artinya Dewan: pertama kali muncul dalam revolusi 1905 sebagai organ-organ perjuangan ataupun sebagai komite pemogokan. Setelah Tsar ditumbangkan pada bulan Februari 1917, Pemerintahan Sementara memegang kekuasaan formal. Tetapi kekuasaan yang sesungguhnya terletak di tangan Soviet-soviet Wakil Buruh dan Prajurit yang lahir kembali, yaitu badan yang berisi delegasi yang dipilih, diciptakan oleh inisiatif massa, yang anggotamya dapat diganti sewaktu-waktu oleh pemilihnys. Jadi, pada saat itu terdapat dua kekuasaan sebab kaum Menshevik dan Sosialis Revolusioner yang mulanya memegang kendali atas soviet-soviet gagal merebut kekuasaan negara ke tangan soviet-soviet, malah menggunakan otoritasnya untuk mendukung dan memperkuat Pemerintahan Sementara. Pada bulan Juli 1917 hal ini memungkinkan terjadinya ‘konsolidasi’ pemerintah formal, sementara para pemimpin kaum Menshevik dan Sosialis Revolusioner membubarkan Soviet-soviet. Inilah periode yang dirujuk oleh Lenin dalam famplet ini. Segera setelah itu, situasi ini: kaum Bolshevik meraih suara mayoritas dalam posisi-posisi kunci di Soviet-soviet, lalu memimpin pemberontakan Oktober meraih kemenangan.

Tambahan mengenai soviet: Di bawah kondisi Rusia yang terbelakang, dan terjadinya isolasi terhadap revolusi Rusia, soviet-soviet kehilangan kekuasaannya pada masa pemerintahan reaksioner Stalin. Meskipun secara resminya kekuasaan berada di tangan soviet-soviet, tetapi semenjak tahun 1930 hal ini adalah omong kosong semata karena kekuasaan yang sesungguhnya telah direnggut oleh golongan elit birokrasi. Tahun 1936 Stalin mengumumkan konstitusi baru yang secara formal melikuidasi kekuatan soviet, menggantikan demokrasi soviet dengan demokrasi parlementer borjuis yang penuh tipu daya yang di dalam konstitusi tersebut penduduk diperbolehkan memilih satu-satunya partai yang secara rutin “memenangkan” 99 persen suara pemilih. Dengan demikian kita lihat bahwa meskipun masih disebut “Uni Soviet”, negeri itu, di bawah pemerintahan birokratik Stalinis, sama sekali berbeda dengan rezim demokrasi soviet yang terbentuk sebagai hasil Revolusi Oktober, di bawah pimpinan Lenin dan Trotsky. 

[14]. Lihat F. Engels, Herr Eugen Duhring’s Revolution in Science [Anti-Dühring ], edisi bahasa Inggris, Moskow, 1947, hlm. 416-17.

[15]. Perang Tiga Puluh Tahun [1618-1648] – sebuah perang yang dalam bentuknya merupakan perang agama, melibatkan hampir semua negara di Eropa, jadi merupakan perang Eropa yang pertama, yang disebabkan oleh menghebatnya pertentangan di antara berbagai blok negara Eropa dan mengambil bentuk perang antara kaum Protestan dan kaum Katolik. Perang itu dimulai dengan pemberontakan di Bohemia mewalan kelaliman kerajaan Hapsburg dan serangan reaksi katolik. Negara-negara yang waktu itu berperang menjadi dua kubu. Paus, Dinasti Hapsburg Sepanyol dan Dinasti Hapsburg Austria dan Pangeran-pangeran Katolik Jerman, yang berhimpun di sekitar gereja Katolik melawan negeri-negeri Protestan -Bohemia–Denmark, Swedia, Republik Belanda, dan sejumlah negara bagian Jerman yang telah menerima reformasi. Negeri-negeri protestan disokong oleh raja-raja Perancis, musuh-musuh dinasti Hapsburg. Jerman menjadi medan pertempuran yang utama dan sasaran perampokan militer serta tuntutan-tuntutan perampokan. Perang ini berakhir 1648 dengan penandatanganan Perjanjian Perdamaian Wetsphalia yang merampungkan pemulangan Jerman secara politik. 

[16]. Lihat F. Engels, Herr Eugen Duhring’s Revolution in Science [Anti-Dühring ], edisi bahasa Inggris, Moskow, 1947, hlm. 193. 

[17]. Ekletisisme -ketiadaan persatuan [kepaduan], keseluruhan, kekonsekuenan dalam keyakinan, dalam teori; perpaduan yang tak berprinsip dari pandangan-pandangan yang berbeda jenis yang tak dapat dipersatukan, yang berkontradiksi, misalnya ant materialisme dengan idealisme. Dalam seni -kombinasi dari berbagai gaya secara formal, secara mekanis. 

[18]. Sofisme -cara bepikir [penarikan kesimpulan] yang pintar tetapi menyesatkan; argumen yang mula-mula [formal] tampaknya benar tetapi mempunyai kelemahan yang tersembunyi; dalam arti sehari-hari – pura-pura dalam tetapi kosong. 

[19]. Lihat K. Marx, Poverty of Pholosophy [Kemiskinan Filsafat], edisi bahasa Inggris, Moskow.

[20]. Lihat K. Marx dan F. Engels, Manifesto of the Communist Party, dalam Selected Works, edisi Bahasa Inggris, Moskow, 1951, Volume I, halaman 32-61. Edisi bahasa Indonesia yang paling lengkap dari Manifesto Partai Komunis dicetak oleh penerbit Indonesia Progresif, Jakarta, 1973, atau dapat dicari di internet. 

[21]. Lihat K. Marx critique of the Gotha Program [Kritik Terhadap Program Gotha] [K. Marx dan F. Engels, Selected Works, edisi bahasa Inggris, volume II, Moskow 1949, hlm 13-45].

Program Gotha, –program parta buruh Sosialis Jerman yang diterima dalam konggres di Gotha pada tahun 1973, di mana dua partai sosialis Jerman yang hingga saat itu berdiri sendiri, yaitu kaum Eisenacher dan Lassalean bersatu. Program tersebut sepenuhnya oportunis, karena kaum Eisenacher memberi konsesi-konsesi kepada kaum Lassalean mengenai semua masalah penting dan telah menerima rumusan-rumusan Lassalean. Marx dan Engels melancarkan kritik yang menghancurluluhkan terhadap program tersebut.

One thought on “Negara dan Revolusi – Bab I – Bagian [b]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *