JAYAPURA, Westpapuanews.Org — Presiden Gereja Baptis West Papua Dr. Ambirek G. Socratez Yoman menolak dialog dalam bentuk apa pun dengan Indonesia sebelum ada kunjungan Komisi Tinggi HAM PBB ke Papua Barat.
“Saya menolak dialog bentuk apapun dengan Indonesia sebelum ada kunjungan Komisi Tinggi HAM PBB ke Papua Barat,” kata sosok Pendiri, Pengurus dan Anggota Dewan Gereja Papua Barat – West Papua Conference of Churches [WPCC].
Dia menyebutkan, perundingan dan dialog damai antara bangsa Indonesia dan bangsa Papua Barat harus terjadi hasil dari kunjungan Komisi Tinggi HAM PBB.
Tokoh Papua ini membeberkan, rakyat dan bangsa Papua Barat dari Sorong-Merauke sudah mengetahui bahwa pemerintah Indonesia telah menggunakan tangan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia [KOMNAS HAM RI] menjebak bangsa Papua Barat dengan diajaknya ULMWP, Majelis Rakyat Papua [MRP] dan WPCC.
“Jebakan ini terjadi [setelah] tiga kali melakukan pertemuan yaitu pada 15 Juni 2022, 18-19 Agustus 2022, dan 10-11 November 2022. Seluruh pertemuan tersebut berlangsung di kota Jenewa, Swiss,” bebernya.
Menurut Socratez Yoman, tujuan jebakan dan perangkap yang dipasang Indonesia melalui KOMNAS HAM RI yang menjebak ULMWP, MRP dan WPCC ialah untuk menghambat dan memblokir kunjungan Komisi Tinggi HAM PBB sesuai desakan 83 Negara anggota PBB.
“Jebakan berbahaya seperti ini tidak boleh terulang lagi. Rakyat dan bangsa Papua Barat harus belajar dari pengalaman yang paling buruk ini dan harus menolak dengan tegas tawaran dalam bentuk apapun dari pemerintah Indonesia, termasuk dialog sebelum Kunjungan Komisi Tinggi HAM PBB ke Papua Barat,” tegas tokoh Papua yang telah menulis banyak buku ini.
Socratez menegaskan, perundingan dan dialog damai antar pemerintah Indonesia dengan rakyat dan bangsa Papua Barat HARUS terjadi setelah kunjungan Komisi Tinggi HAM PBB ke Papua Barat.
“Kalau ada kelompok atau orang-orang yang berbicara atau mengadakan pertemuan dengan pihak Indonesia sebelum kunjungan Komisi Tinggi HAM PBB ke Papua Barat adalah perusak perjuangan rakyat dan bangsa Papua Barat dan mendukung serta memperkuat penguasa Indonesia yang menolak desakan 83 Negara untuk kunjungan Komisi Tinggi HAM PBB,” tegas rohaniwan Papua Anggota Konferensi Gereja-Gereja Pasifik [PCC] ini.
Menyikapi kondisi Papua terkini, Socratez yang merupakan Anggota Aliansi Baptis Dunia [BWA] menyampaikan delapan poin komitmen iman dan posisinya dalam upaya penyelamatan agenda perjuangan bangsa Papua Barat sebagai berikut:
Pertama, mendukung penuh kunjungan Komisi Tinggi HAM PBB ke Papua Barat sesuai desakan 83 Negara anggota PBB.
Kedua, mendukung untuk penyelesaian 4 akar konflik hasil penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia [LIPI] sekarang Badan Riset dan Inovasi Nasional [BRIN].
Ketiga, menolak dengan tegas siapapun dia orang atau kelompok yang mengadakan pertemuan dengan penguasa Indonesia di Papua Barat, di Indonesia dan di luar Negeri untuk berbicara perundingan atau dialog damai sebelum kunjungan Komisi Tinggi HAM PBB ke Papua Barat.
Keempat, Secara person, dirinya tidak mewakili siapa-siapa, tetap mendukung Pemerintahan Sementara yang dideklarasikan Hon. Benny Wenda 1 Desember 2020 di Oxford Inggris dan Green State Vision dan Paket Diplomasi yang sedang diperjuangkan oleh Presiden Sementara ULMWP Hon. Benny Wenda dengan tim diplomat.
Kelima, Mengapa pada posisi nomor empat? Karena, saya adalah satu-satunya dari dalam Negeri Papua Barat yang menyampaikan Ucapan Selamat Redeklarasi Pemerintahan Sementara pada 1 Desember 2020 di Oxford, Inggris. Ucapan Selamat saya sampaikan pada 2 Desember 2020 dari Kantor Badan Pelayan Pusat Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua [BPP-PGBWP] di Ita Wakhu Purom, Numbai, Tabi [Jayapura] Papua Barat.
Saya berdiri pada posisi ini, saya menjaga wibawa, kredibilitas, kapabilitas, komitmen dan konsistensi saya dalam memelihara, mengawal dan bersuara tentang penderitaan umat Tuhan di Tanah Papua Barat untuk meraih dan memulihkan kembali hari Kemerdekaan Nasional pada 1 Desember 1961 yang dianeksasi penguasa kolonial firaun modern Indonesia dengan kekuatan militer pada 19 Desember 1961 dan maklumat Trikora.
Keenam, dirinya adalah salah satu pemimpin Gereja, bukan satu-satunya sebagai pendukung dan penjaga setia ULMWP sejak didirikan pada 7 Desember 2014 di Vanuatu sebagai rumah bersama, perahu dan honai poliik resmi rakyat dan bangsa Papua Barat.
Ketujuh, mendukung, berkhotbah dan mendoakan awal terbentuknya Komite Nasional Papua Barat [KNPB] sebagai wadah gerakan politik milik rakyat dan bangsa Papua Barat dalam negeri yang didirikan pada 19 November 2008 di Aula STT Walterpost Sentani.
Kedelapan, untuk lebih jelasnya, komitmen iman doa, harapan, impian saya melalui: ITA WAKHU SPIRIT, sebagai berikut:
“Nama Besar itu milik rakyat dan bangsa Papua Barat bukan milik saya.
Saya anak dari kampung, tapi saya bukan anak kampungan. Saya anak dari honai bundar tanpa ventilasi [jendela], tapi saya sudah SEKOLAH.
Saya selalu melihat bangsaku sangat menderita miskin di atas sumber daya alam yang berlimpah-limpah yang mereka miliki. Bangsaku dimiskinkan dan dimusnahkan secara sistematis, terstruktur, terprogram, meluas, masif dan kolektif oleh para penguasa kolonial modern Firaun Indonesia.
Dalam kesadaran itu, hidup saya untuk mereka. Waktu saya untuk mereka. Iman saya untuk mereka. Ilmu saya untuk mereka. Tenaga saya untuk mereka. Semangat saya untuk mereka. Nafas saya untuk mereka. Posisi saya untuk mereka. Nama besar saya adalah milik mereka. Pengaruh saya milik mereka.
Semuanya itu milik mereka. Saya hanya salah satu alat kecil di tangan TUHAN untuk sampaikan kepada siapa saja yang berkehendak baik untuk menolong Penduduk Orang Asli Papua yang tertindas yang sedang berjuang untuk keadilan di atas Tanah leluhur mereka.
Karena merekalah yang membuat saya untuk bersuara. Merekalah yang membuat saya menjadi seorang pribadi manusia yang bernilai di depan publik. Merekalah membuat saya kuat. Merekalah membuat saya berani. Merekalah yang membuat saya berdiri teguh dan kokoh.
Saya selalu bersama mereka. Saya sahabat mereka yang berjuang untuk keadilan, kesamaan derajat, martabat kemanusiaan dan hak hidup mereka, terutama dalam proses perjuangan mereka untuk meraih kembali 1 Desember 1961 Hari Kemerdekaan Nasional Papua Barat yang dianeksasi dan diinvansi dengan kekuatan militer penguasa kolonial modern firaun Indonesia pada 19 Desember 1961 dengan maklumat Trikora’. [LiWone]
BACA JUGA :
■Jeffrey Bomanak : OPM Tolak Dialog Skala Nasional
■KOMNAS HAM RI Stop Mengawal Dialog Parsial
■Warning kepada KOMNAS HAM RI, OPM : Kalian siap hadapi konsekwensi militer!
■Jubir Militer TPNPB-OPM : Ketua KOMNAS HAM RI tidak pernah bertemu panglima OPM