Westpapuanews.Org

Berita tangan pertama dari Tanah Papua

Deforestasi di Indonesia

Satya Bumi : Pemerintah Tak Perlu Berlebihan Sikapi Kebijakan EU Deforestation

Deforestasi di Indonesia / SATYA BUMI

JAKARTA, Westpapuanews.Org — Satya Bumi meminta pemerintah agar tidak berlebihan dalam mengambil langkah merespons kebijakan European Union Deforestation Regulation [EUDR].

Deputi Direktur Satya Bumi Andi Muttaqien berharap pemerintah tidak ‘ikut-ikutan’ Malaysia– yang menyikapi undang-undang baru Uni Eropa soal pencegahan deforestasi itu dengan mengancam akan menghentikan ekspor ke Uni Eropa, karena menganggap aturan anyar tersebut mempersulit ekspor.

Pemerintah semestinya melihat kebijakan ini dari sisi positifnya terhadap upaya pengembangan sawit yang berkelanjutan. “Bukan malah mengecap kebijakan EUDR diskriminatif terhadap komoditas sawit kita. Apalagi sebenarnya, kebijakan tersebut berlaku untuk banyak komoditas, bukan hanya sawit,” tutur Andi.

Pada 6 Desember 2022 lalu, Uni Eropa menyepakati UU anti-deforestasi. Dengan adanya kebijakan tersebut, perusahaan yang ingin masuk ke pasar Eropa nantinya wajib membuat pernyataan uji tuntas yang menunjukkan bahwa rantai pasok mereka tidak berkontribusi pada perusakan hutan dan deforestasi. Kebijakan ini berlaku untuk sejumlah komoditas seperti, ternak sapi, cokelat, kopi, kedelai, kayu, hingga kelapa sawit dan produk turunannya.

Malaysia, sebagai salah satu produsen sawit terbesar di dunia merespons kebijakan tersebut dengan membuka kemungkinan menghentikan ekspor CPO ke Uni Eropa. Menteri Komoditas Malaysia, Fadillah Yusof menyatakan sedang mengatur strategi melawan undang-undang anti-deforestasi Uni Eropa.

“Pilihannya adalah kita menghentikan ekspor ke Eropa, hanya fokus pada negara lain, jika mereka mempersulit kita untuk ekspor,” ujar dia, Kamis, 12 Januari lalu.

Wakil Perdana Menteri Malaysia itu juga menyatakan bakal menggandeng Negara-negara Penghasil Minyak Sawit atau Council of Palm Oil Producing Countries [CPOPC], termasuk Indonesia untuk mencari solusi. Beberapa hari sebelum Yusof menyampaikan pernyataannya itu, PM Malaysia, Dato’ Seri Anwar bin Ibrahim sudah bertemu dengan Presiden Joko Widodo di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, pada Senin, 9 Januari 2023.

Usai pertemuan, Presiden Jokowi menyampaikan bahwa pemerintah Indonesia dan Malaysia telah menyepakati penguatan kerja sama dalam meningkatkan pasar minyak kelapa sawit melalui CPOPC.

“Kami bersepakat memperkuat kerja sama melalui CPOPC untuk meningkatkan pasar minyak kelapa sawit dan memerangi diskriminasi terhadap kelapa sawit,” ujar Presiden Jokowi lewat keterangannya kala itu.

Presiden memang tidak menjelaskan maksud pernyataan ‘memerangi diskriminasi terhadap kelapa sawit’ dan tak lugas menyebut aturan Uni Eropa dalam keterangannya. Tapi diduga kuat, kebijakan itulah yang dimaksud. Sampai saat ini, kita masih menunggu langkah yang akan diambil pemerintah merespons kebijakan Uni Eropa. “Kami benar-benar berharap pemerintah Indonesia tidak ‘membebek’ Malaysia,” ujar Andi.

Kata Andi, ada tiga alasan pemerintah tidak seharusnya menganggap kebijakan EUDR ini diskriminatif. Pertama, harus dipahami bahwa berdasarkan regulasi EU ini, produk yang dihitung uji deforestasi adalah pasca 2020. Sehingga sebenarnya tidak ada alasan bagi Indonesia untuk tidak setuju akan aturan ini. Apalagi masih terdapat dua tahun masa peralihan untuk implementasi regulasi.

Kedua, keharusan uji tuntas bebas deforestasi yang disyaratkan regulasi EU sejalan dengan semangat perbaikan tata kelola kelapa sawit Indonesia. Aturan baru Uni Eropa tersebut semestinya menjadi momentum bagi pemerintah untuk meningkatkan kualitas produk minyak sawit di dalam negeri dengan menetapkan standar keberlanjutan yang berlaku dan diakui secara internasional, salah satu poinnya adalah  memastikan CPO tidak dihasilkan dari bekas lahan yang membabat hutan. “Ini dapat menjadi momentum bagi Indonesia berbenah dalam memperbaiki komoditas-komoditas yang selama ini masih mengancam hutan,” tuturnya.

Ketiga, perlu diingat bahwa standar keberlanjutan juga sudah mulai berlaku di berbagai negara, termasuk India dan Cina–yang menjadi dua besar negara tujuan ekspor CPO Indonesia. Cina sudah mulai menerapkan sustainable palm oil melalui Proposal Kebijakan Rantai Nilai Hijau 2020 dan Pedoman Konsumsi Minyak Kelapa Sawit 2022. Kemudian India, melalui Koalisi Minyak Sawit Berkelanjutan 2018 untuk India [India-SPOC].

Oleh karenanya, kepatuhan akan standar hak asasi manusia dan lingkungan yang salah satunya adalah perlindungan terhadap tutupan hutan pasti akan terus diterapkan bagi komoditas CPO yang diekspor ke negara tujuan mana pun.

“Ancaman menyetop ekspor, tidak akan menyelesaikan masalah dan justru mengindikasikan ketidakberesan tata kelola di Indonesia,” ujar Andi.

Hal yang harus dilakukan pemerintah adalah melakukan perbaikan tata kelola sawit dan memperkuat kapasitas petani sawit swadaya agar bisa memiliki akses ke pasar internasional. Temuan SPKS menyebut, kondisi saat ini 78 persen petani swadaya harus menjual hasil kebun mereka ke tengkulak dengan harga murah karena tandan buah segar atau TBS-nya dibeli pabrik. Jika pemerintah menyetop ekspor ke Uni Eropa, maka sama saja dengan menutup peluang ekspansi petani swadaya ke pasar ekspor. Ini juga sekaligus menjadi momen menguji seberapa jauh sebenarnya inisiatif-inisiatif perbaikan tata kelola melalui moratorium kelapa sawit, sertifikasi ISPO, serta Rencana Aksi Nasional Kelapa Sawit Berkelanjutan.

“Akhir kata, jika pemerintah benar-benar berkomitmen menghentikan deforestasi untuk lahan kelapa sawit, semestinya aturan EUDR itu bukanlah ancaman,” tuturnya. [W]

Sumber asli disini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *