BACAAN PROGRESIF

Reformasi atau Revolusi – Bagian 7

ROSA LUXEMBURG

7. Koperasi, Serikat, Demokrasi

Sosialisme Bernstein menawarkan kepada buruh prospek tentang pembagian kekayaan masyarakat. Kaum miskin akan menjadi kaya. Bagaimana sosialisme seperti ini akan diwujudkan? Artikelnya di Neue Zeit, dengan judul ”Permasalahan-permasalahan Sosialisme”, hanya mengandung kiasan yang samar-samar terhadap pertanyaan ini. Namun demikian, informasi yang memadai bisa ditemukan dalam bukunya.

Sosialisme Bernstein hendak diwujudkan dengan bantuan dua instrumen ini: serikat buruh [atau, seperti dicirikan sendiri oleh Bernstein: demokrasi ekonomi] dan koperasi. Instrumen pertama akan menekan keuntungan industri; sedangkan instrumen kedua akan menghapuskan keuntungan komersial.

Koperasi, khususnya koperasi di bidang industri, menimbulkan suatu bentuk perkawinan silang di seputar kapitalisme. Koperasi-koperasi itu bisa digambarkan sebagai unit-unit kecil dari produksi yang tersosialisasi dalam pertukaran kapitalis.

Akan tetapi, dalam ekonomi kapitalis, pertukaran mendominasi produksi [yakni, produksi sangat tergantung pada kemungkinan-kemungkinan pasar]. Akibat dari persaingan, dominasi sepenuhnya terhadap proses produksi oleh kepentingan-kepentingan modal -yakni eksploitasi yang tak berbelas kasihan- menjadi suatu syarat bagi keberlangsungan hidup setiap bisnis. Dominasi modal terhadap proses produksi mengekspresikan diri dengan cara-cara berikut. Kerja diintensifkan. Hari kerja diperpanjang atau diperpendek, sesuai dengan situasi pasar. Dan, karena terikat pada persyaratan-persyaratan pasar, maka buruh bisa dipekerjakan, atau dilempar ke jalanan. Dengan kata lain, penggunaan didasarkan atas semua metode yang memungkinkan sebuah bisnis untuk berdiri melawan para pesaingnya di pasar. Dengan demikian, para buruh yang membentuk sebuah koperasi di bidang produksi dihadapkan pada kebutuhan untuk mengatur diri mereka sendiri, yang bertentangan dengan absolutisme yang teramat sangat. Mereka diharuskan mengadopsi untuk diri mereka sendiri peran pengusaha kapitalis. Sebuah kontradiksi yang menjelaskan lazimnya kegagalan koperasi produksi, yang bisa menjadi bisnis kapitalis murni, ataupun -jika kepentingan buruh terus menonjol- akan berakhir dengan bubar sendiri.

Bernstein sendiri telah membuat catatan tentang fakta-fakta ini. Namun jelas, bahwa dia sendiri belum memahaminya, karena -bersama dengan Nyonya Potter-Webb- dia menjelaskan kegagalan koperasi produksi di Inggris yang disebabkan oleh kurangnya “disiplin” mereka. Tetapi, apa yang begitu datar dan dangkal disebut “disiplin” di sini tak lain adalah rejim absolutis alami dari kapitalisme, yang gamblangnya, buruh tidak mungkin berhasil menggunakannya melawan diri mereka sendiri.

Koperasi-koperasi produsen bisa bertahan hidup dalam ekonomi kapitalis hanya jika mereka berusaha menghapuskan -dengan jalan memutar- kontradiksi-kontradiksi kapitalis antara corak produksi dan corak pertukaran. Dan koperasi-koperasi tersebut hanya bisa melakukan ini dengan melepaskan diri secara artifisial dari pengaruh hukum-hukum persaingan bebas. Kemudian, mereka akan berhasil melepaskan diri dari hukum persaingan bebas hanya jika terlebih dahulu menjamin bagi dirinya sendiri suatu lingkaran konstan konsumen-konsumen, yakni ketika koperasi tersebut bisa menjamin adanya pasar yang konstan bagi dirinya sendiri.

Maka koperasi konsumenlah yang bisa menawarkan layanan ini kepada saudaranya di bidang produksi. Di sinilah -dan bukan pada pembedaan Oppenheimer antara koperasi yang memproduksi dan koperasi yang menjual- terletak rahasia yang dicari oleh Bernstein: penjelasan bagi kegagalan yang tak berubah dari koperasi produsen yang berfungsi secara independen, dan keberlangsungan hidupnya ketika koperasi-koperasi tersebut didukung oleh organisasi-organisasi konsumen.

Jika benar bahwa kemungkinan-kemungkinan eksistensi koperasi produsen dalam kapitalisme berkait erat dengan kemungkinan-kemungkinan eksistensi koperasi konsumen, maka lingkup koperasi produksi terbatas -paling banter- pada pasar lokal yang kecil serta pada proses manufaktur barang-barang yang melayani kebutuhan mendesak, khususnya produk-produk makanan. Koperasi konsumen -dan dengan begitu, berarti juga koperasi produsen- dikeluarkan dari cabang-cabang produksi modal yang paling penting [tekstil, pertambangan, industri logam dan minyak, konstruksi mesin, serta pembuatan lokomotif dan kapal]. Untuk alasan ini sendiri [yakni dengan sementara melupakan karakter blasterannya], koperasi di bidang produksi tidak bisa secara serius dianggap sebagai instrumen dari suatu transformasi sosial umum. Pendirian koperasi-koperasi berskala luas mengasumsikan, pertama-tama, peniadaan pasar dunia, dipecahkannya ekonomi dunia sekarang ini menjadi lingkup-lingkup lokal yang kecil dari produksi dan pertukaran. Kapitalisme di masa kita sekarang, yang telah sangat maju dan tersebar luas, diharapkan untuk mundur kembali ke ekonomi perdagangan [merchant] Abad Pertengahan.

Dalam kerangka masyarakat masa kini, koperasi produsen terbatas hanya pada peran pelengkap bagi koperasi konsumen. Karena itu, koperasi konsumen nampaknya harus menjadi permulaan dari perubahan sosial yang diusulkan. Namun cara reformasi masyarakat yang diharapkan dengan sarana koperasi ini tak lagi ofensif terhadap produksi kapitalis. Yakni, koperasi tak lagi merupakan serangan terhadap basis-basis utama dari ekonomi kapitalis. Sebagai gantinya, koperasi menjadi suatu bentuk perjuangan melawan modal komersial, khususnya modal komersial yang berskala kecil dan menengah. Ia menjadi sebuah serangan yang ditujukan kepada ranting dari pohon kapitalis.

Menurut Bernstein, serikat buruh pun merupakan sarana untuk menyerang kapitalisme di bidang produksi. Kita telah menunjukkan bahwa serikat buruh tidak bisa memberikan kepada buruh, pengaruh yang menentukan terhadap produksi. Serikat buruh tidak bisa menentukan, baik dimensi-dimensi produksi, maupun kemajuan teknis produksi.

Sejauh itulah yang bisa dikatakan mengenai sisi yang murni ekonomis dari “perjuangan tingkat upah melawan tingkat keuntungan,” sebagaimana yang dilabelkan oleh Bernstein terhadap aktivitas perjuangan serikat buruh. Aktivitas itu tidak terjadi pada birunya langit. Ia terjadi dalam kerangka yang telah didefinisikan secara cermat dari hukum upah. Hukum upah tidaklah hancur, melainkan diterapkan oleh aktivitas serikat buruh.

Menurut Bernstein, serikat buruhlah yang memimpin -dalam perjuangan umum bagi emansipasi kelas pekerja- serangan riil terhadap tingkat keuntungan industri. Menurut Bernstein pula, serikat buruh memiliki tugas untuk mentransformasikan tingkat keuntungan industri menjadi “tingkat upah”. Faktanya ialah bahwa serikat buruh adalah yang paling lemah kemampuannya untuk melakukan serangan ekonomi terhadap keuntungan. Serikat buruh tak lebih sekedar pertahanan yang terorganisir dari tenaga kerja menghadapi serangan keuntungan. Serikat buruh mengekspresikan perlawanan yang ditunjukkan oleh kelas pekerja terhadap penindasan ekonomi kapitalis.

Di satu sisi, serikat buruh memiliki fungsi untuk mempengaruhi situasi di pasar tenaga kerja. Tetapi pengaruh ini sekarang secara konstan diatasi oleh proletarisasi lapisan-lapisan menengah masyarakat, sebuah proses yang secara kontinyu membawa barang dagangan baru dalam pasar tenaga kerja. Fungsi kedua dari serikat buruh adalah untuk memperbaiki kondisi buruh. Yakni, mereka berupaya untuk meningkatkan bagian dari kekayaan sosial yang mengalir ke kelas pekerja. Namun demikian, bagian ini sekarang terkurangi dengan adanya takdir proses alami pertumbuhan produktivitas kerja. Seseorang tak perlu menjadi marxis untuk mengetahui hal ini. Sudah memadai bagi kita bila membaca tulisan Rodbertus, Penjelasan tentang Persoalan Sosial.

Dengan kata lain, kondisi-kondisi obyektif masyarakat kapitalis mentransformasikan kedua fungsi ekonomi serikat buruh itu menjadi semacam kerja sang Sisyphus yang, walaupun begitu, sangat dibutuhkan. Karena, berkat aktivitas serikat buruhnya, buruh berhasil memperoleh tingkat upah yang berkesesuaian dengan situasi pasar tenaga kerja. Sebagai akibat dari aktivitas serikat buruh, hukum kapitalis tentang upah menjadi diterapkan, dan efek kecenderungan-menurun dari perkembangan ekonomi pun dilumpuhkan, atau lebih tepatnya diredakan.

Bagaimanapun juga, transformasi serikat buruh menjadi sebuah instrumen untuk pengurangan keuntungan secara progresif, yang sesuai dengan upah, mengasumsikan syarat-syarat sosial sebagai berikut: pertama, berhentinya proletarisasi strata menengah masyarakat kita; kedua, berhentinya pertumbuhan produktivitas kerja. Dalam kedua hal itu, kita mendapati suatu bayangan proses kembali ke kondisi-kondisi pra-kapitalis.

Koperasi dan serikat buruh sama sekali tidak mampu mentransformasikan corak produksi kapitalis. Hal ini betul-betul dipahami oleh Bernstein, meskipun dengan cara yang tumpang-tindih. Karena dia mengacu pada koperasi dan serikat buruh sebagai sarana untuk mengurangi keuntungan para kapitalis, yang dengan begitu berarti memperkaya buruh. Dalam hal ini, berarti Bernstein menanggalkan perjuangan melawan corak produksi kapitalis, dan berupaya untuk mengarahkan gerakan sosialis kepada perjuangan melawan “distribusi modal”. Kembali dan kembali, Bernstein merujuk sosialisme sebagai sebuah upaya menuju pada suatu corak distribusi “yang adil, lebih adil dan tetap lebih adil”. [Vorwaerts, 26 Maret 1899].

Tidak bisa disangkal bahwa penyebab langsung yang mengarahkan massa rakyat kepada gerakan sosialis memang adalah sifat distribusi kapitalisme yang “tidak adil”. Ketika sosial-demokrasi berjuang demi sosialisasi keseluruhan ekonomi, maka ia berarti juga sekaligus mencita-citakan suatu distribusi kekayaan sosial yang “adil”. Tetapi, karena dibimbing oleh observasi Marx bahwa corak produksi pada suatu zaman tertentu adalah konsekuensi alami dari corak produksi zaman itu, maka sosial-demokrasi tidak berjuang melawan distribusi dalam kerangka produksi kapitalis. Sosial-demokrasi berjuang untuk menghapuskan produksi kapitalis itu sendiri. Singkatnya, sosial-demokrasi ingin membangun corak produksi sosialis dengan menghapuskan corak produksi kapitalis. Sebaliknya, metode Bernstein mengajukan konsep untuk memerangi corak distribusi kapitalis dengan harapan untuk secara perlahan -melalui cara ini- membangun corak produksi sosialis.

Dalam hal tersebut, apa basis bagi program Bernstein tentang reformasi masyarakat? Apakah programnya itu mendapatkan dukungan dalam kecenderungan-kecenderungan yang pasti dari produksi kapitalis? Tidak. Pertama, karena Bernstein menolak kecenderungan-kecenderungan semacam itu. Kedua, karena transformasi sosialis dalam hal produksi, baginya adalah akibat, dan bukan sebab dari distribusi. Dia tidak bisa menyediakan suatu basis material bagi programnya, karena dirinya telah merobohkan tujuan-tujuan dan sarana gerakan untuk sosialisme, dan dengan demikian berarti telah merobohkan pula syarat-syarat ekonominya. Akibatnya, dia terpaksa membangun sendiri sebuah basis idealis.

“Mengapa kita harus merepresentasikan sosialisme sebagai konsekuensi dari keharusan ekonomi?” keluh Bernstein. “Mengapa kita merendahkan pemahaman manusia, perasaan manusia akan keadilan, serta kehendak manusia?” [Vorwaerts, 26 Maret 1899]. Konsep Bernstein tentang distribusi yang paling adil hendak dicapai dengan kemauan baik dari kehendak bebas manusia; kehendak manusia berlaku bukan disebabkan oleh kebutuhan ekonomi, -karena kehendak ini hanyalah suatu instrumen- melainkan disebabkan oleh pemahaman menyeluruh manusia tentang keadilan, disebabkan oleh ide manusia tentang keadilan.

Kalau begitu, berarti kita cukup berbahagia untuk kembali kepada prinsip keadilan, kepada kuda perang di masa lalu, di mana para reformis di muka bumi ini telah terguncang-guncang selama berabad-abad dikarenakan kurangnya alat transportasi historis yang lebih meyakinkan. Kita kembali kepada Rosinante yang kurang baik, yang mana Don Quixotes dalam sejarahnya telah berpacu menuju kepada reformasi besar di muka bumi, selalu pulang ke rumah dengan mata tertutup.

Dianggap sebagai basis bagi sosialisme, hubungan antara yang kaya dan yang miskin, prinsip kerjasama sebagai kandungan sosialisme, “distribusi yang paling adil” sebagai tujuannya, dan ide tentang keadilan sebagai satu-satunya legitimasi historis – dengan begitu kuatnya, lebih bijak serta lebih berapi-api Weitling membela sosialisme semacam itu limapuluh tahun yang lalu. Namun, si jenius tukang jahit ini tidak mengerti tentang sosialisme ilmiah. Jika di masa sekarang, konsepsi yang telah disobek-sobek hingga hancur berkeping-keping oleh Marx dan Engels setengah abad yang lalu, ditambal-sulam dan disajikan kepada proletariat sebagai dunia terakhir dari pengetahuan sosial, maka konsepsi itu sekedar merupakan seni seorang tukang jahit, namun tak ada yang jenius dari konsepsi tersebut.

Serikat buruh dan koperasi adalah penopang ekonomi bagi teori revisionisme. Syarat politik utamanya adalah tumbuhnya demokrasi. Manifestasi-manifestasi reaksi politik yang ada sekarang ini, bagi Bernstein hanyalah “pemindahan”. Bernstein menganggap hal tersebut hanya bersifat kebetulan, sementara, dan menyarankan agar manifestasi-manifestasi itu tidak dipertimbangkan dalam elaborasi tentang arahan umum gerakan buruh.

Bagi Bernstein, demokrasi merupakan suatu tahap yang tak terelakkan dalam perkembangan masyarakat. Baginya, sebagaimana juga menurut para teoritisi Borjuis tentang liberalisme, demokrasi adalah hukum fundamental yang utama dari perkembangan sejarah yang realisasinya diabdi oleh semua kekuatan dari kehidupan politik. Bagaimanapun juga, tesis Bernstein itu sama sekali keliru. Disajikan dalam kekuatan yang absolut ini, tesis tersebut nampak sebagai sebuah vulgarisasi borjuis-kecil tentang hasil-hasil dari suatu fase perkembangan borjuis yang amat singkat selama duapuluh lima atau tigapuluh tahun yang lalu. Kita akan mencapai kesimpulan-kesimpulan yang sama sekali berbeda apabila kita meneliti dengan sedikit lebih cermat dan sekaligus membahas sejarah politik umum dari kapitalisme.

Demokrasi telah didapati dalam formasi-formasi sosial yang paling berbeda: dalam kelompok-kelompok komunis primitif, dalam negara-negara budak di zaman kuno serta dalam komune-komune Abad Pertengahan. Dan secara serupa, absolutisme dan monarki konstitusional akan didapati dalam tatanan-tatanan ekonomi yang paling bervariasi. Ketika kapitalisme dimulai dengan produksi komoditas-komoditas yang pertamakali, ia mengambil jalan sebuah konstitusi demokratik dalam komune-komune kotapraja di Abad Pertengahan. Kemudian, ketika berkembang menjadi manufacturing, kapitalismepun menemukan bentuk politiknya yang sesuai dalam monarki absolut. Akhirnya, sebagai ekonomi industri yang maju, kapitalisme memunculkan republik demokratik di Perancis tahun 1793, monarki absolut Napoleon I, monarki kaum bangsawan dalam periode Restorasi [1815-1830], monarki konstitusional borjuis di masa Louis-Philippe, kemudian kembali republik demokratik, lalu kembali monardi di masa Napoleon III, dan akhirnya -untuk yang ketiga kalinya- kembali sebuah republik. Di Jerman, satu-satunya institusi demokratik sejati -universal suffrage- bukanlah suatu pencapaian yang dimenangkan oleh liberalisme borjuis. Universal suffrage di Jerman ketika itu merupakan suatu instrumen untuk peleburan negara-negara bagian yang kecil. Hanya dalam makna inilah demokrasi memiliki arti penting bagi perkembangan borjuasi Jerman, yang kalaupun tidak, maka akan cukup puas dengan monarki konstitusional yang semi-feodal. Di Rusia, kapitalisme tumbuh subur dalam waktu lama di bawah rejim absolutisme timur tanpa borjuasi mampu memanifestasikan keinginan yang paling kecil sekalipun di dunia untuk mengintrodusir demokrasi. Di Austria, universal suffrage, terutama adalah garis pengaman yang dilemparkan kepada monarki yang tengah tenggelam dan membusuk. Di Belgia, pencapaian universal suffrage oleh gerakan buruh, tak diragukan lagi adalah akibat lemahnya militerisme lokal, dan konsekuensi dari situasi geografis dan politik khusus di negeri itu. Akan tetapi, kini kita memiliki “sedikit demokrasi” yang telah dimenangkan bukan oleh borjuasi, melainkan dari melawan borjuasi.

Kemenangan demokrasi yang tak terputus, yang bagi revisionisme maupun liberalisme borjuis nampak sebagai suatu hukum fundamental utama dari sejarah manusia, dan terutama sejarah moderen, melalui penelitian yang lebih cermat terlihat hanya seperti sesosok hantu. Tidak ada hubungan absolut dan umum yang bisa dibangun di antara perkembangan kapitalis dan demokrasi. Bentuk politik dari suatu negeri tertentu selalu adalah hasil dari perpaduan semua faktor politik yang ada, baik dalam maupun luar negeri. Ia mengakui dalam batasnya, semua variasi mulai dari monarki absolut sampai republik demokratik.

Karena itu, kita haruslah mengabaikan semua harapan untuk menegakkan demokrasi sebagai sebuah hukum umum perkembangan sejarah, bahkan dalam kerangka masyarakat moderen sekalipun. Menilik pada fase masyarakat borjuis sekarang ini, kita pun bisa mengamati faktor-faktor politik yang bukannya menegaskan realisasi dari skema Bernstein, melainkan justru menuju pada pengabaian oleh masyarakat borjuis terhadap pencapaian-pencapaian demokratik yang telah dimenangkan hingga kini.

Institusi-institusi demokratik -dan ini yang memiliki signifikansi paling besar- telah sama sekali habis fungsinya sebagai bantuan dalam perkembangan masyarakat borjuis. Sejauh diperlukan untuk peleburan negara-negara bagian yang kecil serta pembentukan negara-negara moderen besar [Jerman, Italia], maka institusi-institusi tersebut tak lagi begitu dibutuhkan pada masa sekarang. Sementara itu, perkembangan ekonomi telah mengakibatkan suatu cicatrization organik internal.

Hal yang sama dapat dikatakan mengenai transformasi keseluruhan mesin negara yang politis dan yang administratif dari mekanisme feodal atau semi-feodal menjadi mekanisme-mekanisme kapitalis. Meskipun transformasi ini secara historis tidak bisa dipisahkan dari perkembangan demokrasi, namun sekarang ini ia telah direalisasikan sampai ke suatu lingkup bahwa “ramuan-ramuan” yang murni demokratis dari masyarakat -seperti universal suffrage dan bentuk negara republikan- bisa jadi akan terhapuskan tanpa membuat administrasi, keuangan negara, ataupun organisasi militer, merasa perlu untuk kembali kepada bentuk-bentuk yang pernah mereka miliki sebelum Revolusi Maret.

Jika liberalisme seperti demikian itu kini mutlak tak berguna bagi masyarakat borjuis, maka di sisi lain, ia telah menjadi kesukaran langsung bagi kapitalisme dari sudut pandang lain. Dua faktor kini sepenuhnya mendominasi kehidupan politik negara-negara kontemporer: politik dunia dan gerakan buruh. Masing-masing hanyalah aspek yang berbeda dari fase perkembangan kapitalis sekarang ini.

Sebagai akibat dari perkembangan ekonomi dunia dan penajaman serta generalisasi persaingan di pasar dunia, maka militerisme dan kebijakan armada-armada laut yang besar telah menjadi -sebagai instrumen-instrumen politik dunia- suatu faktor yang menentukan dalam kehidupan interior dan eksterior dari negara-negara besar. Jika benar bahwa politik dunia dan militerisme merepresentasikan suatu kecenderungan yang meningkat dalam fase kapitalisme sekarang ini, maka demokrasi borjuis secara logis pasti bergerak dalam garis yang menurun.

Di Jerman, era peralatan-perang besar yang dimulai tahun 1883, dan kebijakan politik dunia yang ditandai dengan perebuitan Kiao-Cheou, segera ditebus dengan korban-korban sebagai berikut: membusuknya liberalisme, melempem-nya Partai Tengah yang beralih dari oposisi ke pemerintahan. Pemilu baru-baru ini untuk Reichstag pada 1907 yang memamerkan kebijakan kolonial Jerman, sekaligus juga adalah penguburan historis liberalisme Jerman.

Apabila politik luar negeri memaksa borjuasi masuk ke dalam rangkulan tangan-tangan reaksi, maka demikian pula politik dalam negeri – syukurlah ada kebangkitan kelas pekerja. Bernstein menunjukkan bahwa dirinya mengakui hal ini ketika ia membuat “legenda” sosial-demokratik yang “ingin menelan segala sesuatu” -dengan kata lain, upaya-upaya sosialis dari kelas pekerja- yang menyebabkan desersi-nya borjuasi liberal. Dia menasehati proletariat untuk mengingkari tujuan sosialisnya, sehingga kaum liberal yang ketakutan setengah mati bisa muncul keluar dari lubang-tikus reaksi. Dengan menjadikan peniadaan gerakan buruh sosialis sebagai suatu syarat yang esensial bagi pelestarian demokrasi borjuis, Bernstein membuktikan secara mengejutkan bahwa demokrasi ini sepenuhnya bertentangan dengan inner tendency dari perkembangan masyarakat sekarang ini. Sekaligus dia membuktikan bahwa gerakan sosialis itu sendiri adalah hasil langsung dari kecenderungan ini.

Namun demikian, Bernstein sekaligus pula membuktikan satu hal lainnya. Dengan menjadikan celaan terhadap tujuan sosialis suatu syarat esensial bagi bangkitnya kembali demokrasi borjuis, maka ia menunjukkan betapa tidak tepatnya klaim bahwa demokrasi borjuis adalah sebuah syarat yang sangat dibutuhkan bagi gerakan sosialis dan kemenangan sosialisme. Penalaran Bernstein kelelahan sendiri dalam sebuah lingkaran jahat. Kesimpulannya menelan premis-nya sendiri.

Solusinya cukup sederhana. Dalam sudut pandang fakta itu, yakni bahwa liberalisme borjuis telah melepaskan diri dari ketakutannya akan hantu bangkitnya gerakan buruh serta tujuan akhirnya, maka kita simpulkan bahwa gerakan buruh sosialis sekarang ini adalah satu-satunya dukungan bagi sesuatu yang bukan merupakan tujuan gerakan sosialis – demokrasi. Kita haruslah menyimpulkan bahwa demokrasi tidak bisa mendapatkan dukungan dari yang selain itu. Kita haruslah menyimpulkan bahwa gerakan sosialis tidak terkait dengan demokrasi borjuis, melainkan sebaliknya, justru takdir demokrasi berkait erat dengan gerakan sosialis. Dari hal ini, kita harus menyimpulkan bahwa demokrasi tidaklah mendapatkan peluang hidup yang lebih besar apabila kelas pekerja menanggalkan perjuangan untuk emansipasinya, namun sebaliknya, demokrasi justru mendapatkan peluang bertahan hidup yang lebih besar seiring gerakan sosialis menjadi cukup kuat untuk berjuang melawan konsekuensi-konsekuensi reaksioner dari politik dunia serta pengkhianatan borjuis terhadap demokrasi. Barangsiapa yang hendak menguatkan demokrasi, maka seharusnya pula dia ingin menguatkan -dan bukannya melemahkan- gerakan sosialis. Dan barangsiapa yang menanggalkan perjuangan untuk sosialisme, berarti juga melepaskan baik gerakan buruh, maupun demokrasi. — Bersambung ke Bagian 8

One thought on “Reformasi atau Revolusi – Bagian 7

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *