Westpapuanews.Org

Berita tangan pertama dari Tanah Papua

BACAAN PROGRESIF

Reformasi atau Revolusi – Bagian 6

ROSA LUXEMBURG

6. Perkembangan Ekonomi dan Sosialisme

Kemenangan terbesar gerakan proletarian yang sedang berkembang adalah ditemukannya landasan yang mendukung bagi perwujudan sosialisme pada kondisi ekonomi masyarakat kapitalis. Berkat penemuan ini, sosialisme berubah dari impian “ideal” oleh umat manusia selama ribuan tahun, menjadi sesuatu yang merupakan kebutuhan sejarah.

Bernstein menolak adanya syarat-syarat ekonomi bagi sosialisme pada masyarakat masa sekarang. Dalam hal ini, penalarannya telah mengalami suatu evolusi yang menarik. Pertama-tama, di Neue Zeit Bernstein membantah pesatnya proses konsentrasi yang terjadi dalam industri. Dia mendasarkan sikapnya atas sebuah perbandingan statistik tentang pekerjaan di Jerman tahun 1882 dan 1895. Untuk menggunakan angka-angka ini bagi tujuannya, Bernstein terpaksa harus bergerak dalam suatu model yang sama sekali bersifat ringkasan dan mekanis. Dalam hal yang paling mendukung sekalipun, Bernstein bahkan tidak bisa -dengan menunjukkan kegigihan perusahaan-perusahaan berskala menengah- sedikitpun melemahkan analisis marxian, karena analisis marxian tidak menganggap suatu tingkat konsentrasi industri yang pasti [yakni penundaan tertentu terhadap realisasi sosialisme] ataupun, sebagaimana telah kita tunjukkan, melenyapnya modal-modal kecil secara mutlak yang biasanya digambarkan sebagai melenyapnya borjuasi kecil, sebagai sebuah syarat untuk mewujudkan sosialisme.

Dalam kurun perkembangan terakhir ide-idenya, Bernstein melengkapi kita -dalam bukunya- dengan sebuah kumpulan bukti-bukti baru: statistik mengenai masyarakat-masyarakat pemegang saham. Statistik ini digunakan untuk membuktikan bahwa jumlah para pemegang saham meningkat secara konstan, dan akibatnya kelas kapitalis tidak bertambah kecil, melainkan tumbuh semakin besar. Mengagetkan bahwa Bernstein hanya memiliki sedikit sekali pengetahuan tentang materinya. Dan menakjubkan, betapa buruknya cara ia menggunakan data yang ada untuk kepentingannya sendiri.

Jika dia ingin menyanggah hukum marxian tentang perkembangan industri dengan mengacu pada masyarakat-masyarakat pemegang saham, maka seharusnya dia mengambil angka-angka yang sama sekali berbeda. Siapapun yang faham tentang sejarah masyarakat pemegang saham di Jerman mengetahui bahwa modal pondasi rata-rata masyarakat tersebut telah menurun nyaris secara konstan. Jadi, walaupun sebelum tahun 1871 kapital pondasi rata-rata mereka mencapai angka 10,8 juta mark, namun pada 1871 jumlahnya hanya sebesar 4,01 juta mark; 3,8 juta mark pada 1873; kurang dari satu juta sejak 1882 sampai 1887; 0,52 juta pada 1891; dan hanya 0,62 juta mark pada 1892. Setelah tahun ini, angka-angka berkisar di antara 1 juta mark, kemudian mencapai 1,78 juta pada 1895 dan 1,19 juta selama kurun paruh pertama tahun 1897. [Van de Borght: Handwoerterbuch der Staatsswissenschaften, 1.]

Itu adalah angka-angka yang mengagetkan. Dengan menggunakan angka-angka tersebut, Bernstein berharap untuk menunjukkan adanya suatu kecenderungan kontra-marxian bagi retransformasi bisnis-bisnis besar menjadi bisnis-bisnis kecil. Jawaban jelas terhadap upayanya itu adalah sebagai berikut. Jika anda hendak membuktikan apapun dengan sarana statistik anda, maka pertama-tama anda harus menunjukkan bahwa statistik itu mengacu pada cabang-cabang industri yang sama. Anda harus menunjukkan bahwa bisnis-bisnis kecil betul-betul menggantikan yang besar; bukan sebaliknya, bahwa bisnis-bisnis besar itu hanya muncul jika yang berlaku sebelumnya adalah bisnis-bisnis kecil atau bahkan industri kerajinan. Maka, bagaimanapun juga, anda tidak bisa merujuknya sebagai fakta yang benar. Proses perjalanan masyarakat-masyarakat pemegang saham yang luas menjadi bisnis-bisnis berskala menengah dan kecil, bisa dijelaskan hanya dengan mengacu pada fakta bahwa sistem masyarakat pemegang saham tersebut terus menerobos cabang-cabang produksi baru. Sebelumnya, hanya sejumlah kecil bisnis besar yang terorganisir sebagai masyarakat-masyarakat pemegang saham. Secara perlahan, organisasi pemegang saham telah memenangkan bisnis berskala menengah, dan bahkan bisnis berskala kecil. Sekarang ini, kita bisa mengamati adanya masyarakat-masyarakat pemegang saham dengan modal di bawah 1.000 mark.

Lantas, apa signifikansi ekonomi dari perluasan sistem masyarakat pemegang saham? Secara ekonomis, penyebaran masyarakat pemegang saham berarti sosialisasi produksi yang kian meningkat dalam bentuk kapitalis – sosialisasi bukan hanya produksi berskala besar, melainkan juga produksi berskala menengah dan kecil. Karena itu, perluasan pemegang saham tidaklah bertentangan dengan teori marxis; sebaliknya, justru menegaskan teori marxis secara empatik.

Apa sebenarnya makna dari fenomena ekonomi tentang masyarakat pemegang saham? Fenomena ini merepresentasikan, di satu sisi, penyatuan sejumlah keuntungan kecil menjadi suatu modal besar produksi. Di sisi lain, fenomena ini menunjukkan pemisahan produksi dari kepemilikan kapitalis. Yakni, ia menunjukkan bahwa sebuah kemenangan ganda dimenangkan terhadap corak produksi kapitalis – namun masih berdasarkan basis kapitalis.

Lantas, apa makna statistik yang disebutkan oleh Bernstein, yang menyatakan bahwa sejumlah pemegang saham, yang lebih besar daripada sebelumnya, kini berpartisipasi dalam bisnis-bisnis kapitalis? Memang statistik ini terus berusaha menunjukkan hal-hal sebagai berikut: di masa sekarang, sebuah bisnis kapitalis tidak bisa diidentikkan -sebagaimana sebelumnya- dengan seorang proprietor tunggal dari modal, melainkan dengan sejumlah kapitalis. Konsekuensinya, gagasan ekonomi tentang “kapitalis” tidak lagi menandakan seorang individu yang terisolasi. Kapitalis industri sekarang ini adalah sesosok pribadi kolektif yang terdiri dari ratusan dan bahkan ribuan individu. Kategori yang dimiliki kapitalis sendiri kini menjadi suatu kategori sosial. Ia telah menjadi “tersosialisasi“ – dalam kerangka masyarakat kapitalis.

Dalam hal itu, bagaimana kita akan menjelaskan keyakinan Bernstein bahwa fenomena masyarakat pemegang saham menunjukkan persebaran, dan bukannya konsentrasi modal? Mengapa dia melihat adanya perluasan kepemilikan kapitalis, padahal Marx justru melihat peniadaannya?

Itu adalah suatu kesalahan ekonomi yang sederhana. Dengan “kapitalis”, Bernsten tidak memaknainya sebagai suatu kategori produksi, melainkan hak atas kepemilikan. Baginya, “kapitalis” bukanlah sebuah satuan ekonomi, melainkan satuan fiskal. Dan “modal” bagi Bernstein bukanlah suatu faktor produksi, melainkan hanya kuantitas tertentu dari uang. Itulah mengapa dalam trust benang jahit Inggris-nya, dia tidak melihat adanya penggabungan 12.300 orang dengan uang menjadi sebuat unit kapitalis tunggal, melainkan 12.300 kapitalis yang berbeda. Itulah mengapa insinyur Schulze, yang mas kawin istrinya memberinya sejumlah besar bagian kepemilikan saham Mueller, adalah juga seorang kapitalis bagi Bernstein. Itulah mengapa bagi Bernstein, seluruh dunia nampak dipenuhi oleh para kapitalis.

Dalam hal ini juga, basis teoritis dari kesalahan ekonomi Bernstein adalah “popularisasi”nya tentang sosialisme. Karena inilah yang dia lakukan. Dengan mentransportasikan konsep kapitalisme dari relasi-relasi produktifnya menjadi relasi-relasi kepemilikan, dan dengan hanya membicarakan individu-individu, bukannya para pengusaha, maka dia memindahkan persoalan sosialisme dari ranah produksi ke ranah relasi-relasi kekayaan – yakni dari hubungan antara modal dan kerja, menjadi hubungan antara yang miskin dan yang kaya.

Dengan cara ini, dengan sukaria kita digiring dari Marx dan Engels, kepada penulis Pengabar Injil Sang Nelayan Miskin. Bagaimanapun juga, tentu ada perbedaannya. Weitling, dengan naluri proletarian yang penuh keyakinan, melihat -pada pertentangan antara yang miskin dan yang kaya- adanya pertentangan kelas dalam bentuknya yang paling primitif, dan ingin menjadikan pertentangan-pertentangan ini sebagai pendongkrak gerakan untuk mewujudkan sosialisme. Di sisi lain, Bernstein menempatkan realisasi sosialisme di dalam kemungkinan untuk membuat yang miskin menjadi kaya. Yaitu, dia menempatkannya pada peredaan pertentangan kelas, dan berarti menempatkannya pada borjuasi kecil.

Benar bahwa Bernstein memang tidak membatasi diri hanya pada statistik tentang pendapatan. Dia juga menyediakan statistik tentang bisnis ekonomi, terutama di negeri-negeri berikut: Jerman, Perancis, Inggris, Swiss, Austria dan Amerika Serikat. Akan tetapi, statistik-statistik ini bukanlah angka-angka komparatif dari periode-periode berbeda di masing-masing negeri, melainkan dari masing-masing periode di negeri-negeri yang berbeda. Karena itu, kita tidak disodori -dengan kekecualian, yakni Jerman di mana dia mengulangi kekontrasan lama antara 1895 dan 1882- sebuah perbandingan statistik dari bisnis-bisnis di suatu negeri tertentu pada masa-masa yang berbeda, melainkan angka-angka absolut untuk negeri-negeri yang berbeda: Inggris pada 1891, Perancis pada 1894, Amerika Serikat pada 1890, dan sebagainya.

Bernstein mencapai kesimpulan berikut ini: “Meskipun benar bahwa eksploitasi besar telah menjadi yang utama dalam industri sekarang ini, namun ia hanya merepresentasikan- termasuk bisnis-bisnis yang bergantung pada eksploitasi besar, bahkan di sebuah negeri yang telah maju seperti Prussia- separuh dari penduduknya yang terlibat dalam produksi.” Ini juga berlaku untuk Jerman, Inggris, Belgia, dan lain-lain.

Apa yang sebetulnya ia buktikan di sini? Dia tidaklah membuktikan eksistensi kecenderungan -atau memang kecenderungan- perkembangan ekonomi seperti itu, melainkan hanya hubungan absolut dari kekuatan-kekuatan bentuk bisnis yang berbeda. Atau dengan kata lain, hubungan-hubungan absolut dari berbagai kelas di masyarakat kita.

Lantas, jika seseorang ingin membuktikan -dengan cara ini- mustahilnya realisasi sosialisme, maka penalaran orang itu haruslah bersandar pada teori yang sesuai dengan hitungan kekuatan-kekuatan material dari elemen-elemen dalam perjuangan, yakni oleh faktor kekerasan. Dengan kata lain, Bernstein yang selalu bergemuruh menentang blanquisme justru terjerumus ke dalam kesalahan blanquis yang paling kasar. Namun demikian, ada perbedaannya. Bagi kaum blanquis, yang mewakili suatu kecenderungan sosialis dan revolusioner, kemungkinan bagi realisasi ekonomi sosialisme nampak cukup alami. Berdasarkan kemungkinan ini, mereka membangun peluang untuk sebuah revolusi dengan kekerasan – meskipun hanya dilakukan oleh suatu minoritas kecil. Sebaliknya, karena tidak memadainya secara jumlah suatu mayoritas sosialis, maka Bernstein pun menarik kesimpulan tentang mustahilnya realisasi ekonomi sosialisme. Bagaimanapun juga, sosial-demokrasi tidak berharap untuk mencapai tujuannya, baik sebagai hasil dari kemenangan kekerasan suatu minoritas, ataupun melalui keunggulan jumlah suatu mayoritas. Sosial-demokrasi memandang bahwa sosialisme muncul sebagai akibat dari kebutuhan ekonomi -dan pemahaman akan kebutuhan itu- yang menuju pada penggulingan kapitalisme oleh massa pekerja. Dan kebutuhan ini manifes sendiri, khususnya dalam anarki kapitalisme.

Bagaimana sikap Bernstein mengenai persoalan yang menentukan, yakni tentang anarki dalam ekonomi kapitalis? Dia hanya menolak krisis-krisis umum yang besar. Dia tidak menyangkal krisis parsial dan krisis nasional. Dengan kata lain, dia menolak untuk melihat sejumlah besar anarki kapitalisme; dia hanya melihat sebagian kecilnya. Dia adalah -menggunakan ilustrasi Marx- seperti perawan dungu yang memiliki seorang anak “yang masih sangat kecil.” Tetapi, malangnya ialah bahwa dalam persoalan-persoalan seperti anarki ekonomi, sedikit dan banyak adalah sama buruknya. Jika Bernstein mengakui eksistensi sebagian kecil dari anarki ini, maka kita bisa menunjukkan kepadanya bahwa, dengan mekanisme ekonomi pasar, yang sebagian kecil dari anarki ini akan diperluas sampai pada proporsi-proporsi yang belum pernah terjadi sebelumnya, sampai berujung pada keruntuhan. Akan tetapi, apabila Bernstein -sembari mempertahankan sistem produksi komoditas- berharap untuk secara perlahan mentransformasikan konsepnya tentang sebagian kecil dari anarki ini menjadi tatanan dan harmoni, maka kembali ia terjerumus ke dalam salah satu dari kesalahan-kesalahan fundamental ekonomi-politik borjuis, yang berdasarkan itu corak pertukaran tidak terikat pada corak produksi.

Bukan pada tempatnya di sini untuk menunjukkan secara panjang-lebar tentang kebingungan Bernstein yang mengagetkan mengenai prinsip-prinsip paling elementer dari ekonomi-politik. Tetapi ada satu poin -hal mana kita diarahkan oleh persoalan-persoalan fundamental mengenai anarki kapitalis- yang harus segera diklarifikasi.

Bernstein menyatakan bahwa hukum Marx tentang nilai-lebih hanyalah suatu abstraksi sederhana. Dalam ekonomi-politik, pernyataan semacam ini jelas adalah suatu penghinaan. Namun, apabila nilai-lebih memang hanya merupakan suatu abstraksi sederhana, apabila ia hanya khayalan pikiran saja, maka setiap warganegara yang normal, yang telah melakukan tugas militer dan membayar pajak tepat waktu, tentunya memiliki hak yang sama dengan Karl Marx untuk membuat model absurditasnya sendiri, untuk membuat hukumnya sendiri tentang nilai-lebih. “Marx memiliki hak yang sama untuk mengabaikan kualitas komoditas hingga tak lebih sekedar penjelmaan dari kuantitas kerja manusia, sebagaimana hak yang dimiliki ekonom-ekonom dari mazhab Boehm-Jevons untuk membuat suatu abstraksi tentang semua kualitas komoditas di luar kegunaannya.”

Yaitu, bahwa bagi Bernstein, konsep Marx tentang kerja sosial dan konsep Menger tentang kegunaan abstrak adalah cukup serupa – murni adalah abstraksi-abstraksi. Bernstein lupa bahwa abstraksi Marx itu bukanlah sebuah karangan. Ia adalah suatu pengungkapan [discovery]. Abstraksi itu tidak eksis di kepala Marx, melainkan dalam ekonomi pasar. Ia tidak memiliki eksistensi imajiner, melainkan eksistensi sosial yang nyata; begitu nyata sehingga bisa dipotong, ditempa, ditimbang dan diletakkan dalam bentuk uang. Kerja manusia yang abstrak, yang diungkap oleh Marx, dalam bentuknya yang telah maju tak lain adalah uang. Itulah memang yang merupakan salah satu dari temuan-temuan besar Marx. Sedangkan bagi semua ekonom-politik borjuis, sejak masa pertama kaum mercantilist sampai tahap terakhir Romawi dan Yunani Kuno, esensi uang tetap merupakan sebuah teka-teki mistis.

Konsep mazhab Boehm-Jevons tentang kegunaan abstrak, pada kenyataannya adalah suatu kesombongan pemikiran. Atau bila dinyatakan secara lebih tepat, konsep itu merupakan representasi dari kehampaan intelektual, sebuah absurditas privat, yang mana baik kapitalisme, ataupun masyarakat apapun, tak bisa dipersalahkan atas lahirnya konsep tersebut, selain dari ekonomi borjuis yang vulgar itu sendiri. Dengan mendekap erat gagasannya itu, Bernstein, Boehm dan Jevons serta seluruh kelompoknya yang subyektif itu bisa terus-menerus kebingungan selama duapuluh tahun atau lebih mengenai misteri uang, tanpa sampai pada suatu kesimpulan yang berbeda dengan yang dicapai oleh tukang sepatu, yakni bahwa uang juga adalah sesuatu “yang berguna”.

Bernstein telah kehilangan semua pemahaman tentang hukum nilai-lebih Marx. Siapapun yang memiliki sedikit saja pemahaman tentang ekonomi marxian bisa melihat bahwa tanpa adanya hukum nilai-lebih, doktrin Marx tak bisa dipahami. Atau lebih konkretnya, bagi siapapun yang tidak memahami sifat komoditas dan pertukarannya, keseluruhan ekonomi kapitalisme dengan semua rentetannya, pastilah tetap merupakan sebuah teka-teki.

Apa yang merupakan kunci, yang memungkinkan Marx membuka pintu rahasia dari fenomena kapitalis, dan memecahkan -seolah sambil bermain- permasalahan-permasalahan yang bahkan tidak pernah dicurigai oleh pemikiran-pemikiran terbesar dalam ekonomi borjuis klasik? Sesuatu itu adalah konsepsi Marx tentang ekonomi kapitalis sebagai sebuah fenomena historis, bukan hanya dalam makna hal-hal yang dengan paling baik diakui oleh para ekonom klasik -yakni ketika ia berkenaan dengan masa lalu kapitalisme yang bersifat feodal- melainkan juga sejauh ia berkenaan dengan masa depan sosialis dunia. Rahasia teori Marx tentang nilai, analisisnya tentang permasalahan uang, teorinya tentang modal, teorinya mengenai tingkat keuntungan, dan konsekuensinya juga tentang keseluruhan sistem ekonomi yang kini ada, didapati pada karakter peralihan dari ekonomi kapitalis, tak terhindarkannya keruntuhan ekonomi kapitalis yang menuju -dan ini hanyalah suatu aspek lain dari fenomena yang sama- kepada sosialisme. Itu semata-mata karena Marx melihat kapitalisme dari sudut pandang sosialis, yakni dari sudut pandang historis, maka dia menjadi mampu menguraikan seluk-beluk ekonomi kapitalis. Dan memang karena Marx mengambil sudut pandang sosialis sebagai batu pijakan bagi analisisnya tentang masyarakat borjuis, maka dia berada dalam posisi untuk memberikan basis ilmiah bagi gerakan sosialis.

Inilah ukuran bagi kita untuk mengevaluasi ucapan-ucapan Bernstein. Dia mengeluhkan “dualisme” yang ditemukan di sana-sini dalam karya monumental Marx, Kapital. “Karya tersebut diharapkan menjadi suatu kajian ilmiah, dan sekaligus membuktikan sebuah tesis yang telah secara lengkap dielaborasi lama sebelum penyuntingan buku itu. Buku itu didasarkan atas suatu skema yang telah mengandung hasil yang ingin diarahkan oleh Marx. Kembalinya ke Manifesto Komunis [yakni tujuan sosialis! – R.L.] membuktikan adanya sisa-sisa utopianisme dalam doktrin Marx.”

Akan tetapi, apa itu “dualisme” Marx, kalau bukan dualisme antara masa depan sosialis dan masa kini kapitalis? Ia adalah dualisme antara kapitalisme dan kerja, dualisme antara borjuasi dan proletariat. Ia adalah refleksi ilmiah tentang dualisme yang ada dalam masyarakat borjuis, dualisme pertentangan kelas yang menggeliat di dalam tatanan sosial kapitalisme.

Pemahaman Bernstein tentang dualisme teoritis dalam pemikiran Marx ini sebagai “bertahan hidupnya utopianisme” sungguh-sungguh adalah pengakuan yang naif bahwa dirinya menolak adanya pertentangan kelas dalam kapitalisme. Itu adalah pengakuannya, bahwa sosialisme baginya hanya sekedar “bertahan hidupnya utopianisme”. Apa yang merupakan “monisme” Bernstein -kesatuan Bernstein- selain dari kesatuan abadi rejim kapitalis, kesatuan dari mantan sosialis yang telah menanggalkan tujuannya, dan memutuskan untuk menemukan dalam masyarakat borjuis, satu dan selamanya, tujuan dari perkembangan manusia?

Bernstein tidak melihat dalam struktur kapitalisme adanya perkembangan yang menuju pada sosialisme. Namun, untuk melestarikan program sosialisnya, setidaknya dalam bentuknya, dia terpaksa mencari perlindungan dalam suatu konstruksi idealis yang ditempatkan di luar semua perkembangan ekonomi. Dia terpaksa mentransformasikan sosialisme itu sendiri dari suatu fase sejarah yang pasti dalam perkembangan sosial, menjadi suatu “prinsip” yang abstrak.

Itulah mengapa “prinsip koperasi” -sedikit tuangan sosialisme, yang dengan itu Bernstein berharap bisa mewarnai ekonomi kapitalis- muncul sebagai suatu konsesi yang dilakukan bukan demi masa depan masyarakat sosialis, melainkan demi masa lalu sosialis Bernstein sendiri. — Bersambung ke Bagian 7

One thought on “Reformasi atau Revolusi – Bagian 6

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *