Oleh : Selpius Bobii
Wakil Presiden (Wapres) Ma’ruf Amin menegaskan pemerintah telah mempunyai strategi khususnya untuk menyelesaikan konflik di wilayah Papua. Strategi itu kata Wapres yakni, melalui pendekatan pembangunan kesejahteraan dan penyelesaian masalah keamanan. “Ya saya memang dua hal ini terus dilakukan oleh pemerintah, pembangunan kesejahteraan, dan juga penyelesaian masalah keamanan itu dua hal ini. Nah supaya bagaimana pembangunan berjalan dan keamanan tidak menjadi gangguan,” kata Wapres usai menghadiri acara di Fakfak, Papua Barat, Jumat (14/7/2023). (Baca di sini).
Masalah di Papua bukan persoalan kesejahteraan dan bukan juga masalah keamanan, tetapi ini persoalan konflik Ideologi Politik antara Ideologi Pancasila dan Ideologi Mambruk.
Sesungguhnya para tokoh Papua dalam Kongres Papua I pada 19 Oktober 1961 sudah menyatakan “Kebangsaan Papua” dan “Kemerdekaan Bangsa Papua”. Kemudian atas restu Ratu Belanda yaitu Ratu Yuliana, Kemerdekaan Bangsa Papua itu diumumkan dan dirayakan secara resmi pada 1 Desember 1961 ditandai dengan pengibaran Bendera Bintang Fajar diiringi Lagu Kebangsaan Hai Tanahku Papua.
Namun, pada 19 Desember 1961, presiden Soekarno mengumumkan Maklumat Tiga Komando Rakyat (TRIKORA) yaitu: 1) Bubarkan negara Papua buatan Belanda; 2) Kibarkan bendera merah putih di Irian Barat; 3) Bersiaplah untuk memobilisasi umum. (Lihat Video disini).
Dalam TRIKORA itu, Presiden RI, Soekarno sudah mengakui adanya Negara Papua, juga dalam pidato aslinya presiden RI mengakui adanya bendera Papua berkibar, sehingga Negara Papua itu harus digagalkan.
Untuk mewujudkan TRIKORA itu presiden Soekarno membentuk Komando Mandala Pembebasan Irian Barat. Dan mulai awal tahun 1962 sudah mulai melakukan Operasi Militer menghadapi Belanda di West New Guinea (Irian Barat). (Baca disini).
Pada waktu itu, Negara Indonesia memanfaatkan Perang Dingin antara Blok Barat (Amerika Serikat) dan Blok Timur (Unisoviet). Negara Indonesia membangun kerjasama di bidang pertahanan keamanan dengan Unisoviet. Hal ini pertanda buruk bagi Amerika Serikat karena itu akan mengganggu kepentingan ekonomi politik dan keamanan di kawasan Asia Pasifik, sehingga Presiden Kennedy menekan Ratu Belanda untuk menerima sebuah proposal yang dibuat oleh profesor Bunker (Mantan Duta Besar AS di PBB). Proposal itu ditandatangani pada 15 Agustus 1962 yang sering disebut Perjanjian New York. (Baca disini).
Kemudian Perjanjian New York itu disalahgunakan oleh Negara Indonesia dengan memilih 1025 orang yaitu 400 orang asli Papua, sementara 625 orang adalah orang amber yang ada di Papua; dan mereka dipaksa untuk memilih bergabung dengan Negara Indonesia, sehingga Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) itu dimenangkan oleh Negara Indonesia. Dari keseluruhan proses yaitu persiapan dan puncak PEPERA itu terbukti CACAT DEMOKRASI, HUKUM dan MORAL. (Lihat daftar nama peserta Pepera disini).
Jadi akar masalah yang melahirkan masalah di atas masalah di Tanah Papua bukan persoalan kesejahteraan, dan bukan juga masalah gangguan keamanan, tetapi ini menyangkut Hak Kesulungan Bangsa Papua, yaitu Kedaulatan Kemerdekaan Bangsa Papua yang telah dibubarkan dan dianeksasi ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) atas bantuan Amerika Serikat.
Masalah “Distorsi Sejarah Papua” yaitu Aneksasi Bangsa Papua ke dalam NKRI adalah masalah paling utama dan terutama yang harus dibicarakan dan diselesaikan melalui perundingan. Karena masalah Distorsi Sejarah inilah yang melahirkan masalah di atas masalah di Tanah Papua.
Sepanjang masalah Distorsi Sejarah Papua ini tidak dibicarakan dan diselesaikan antara bangsa Indonesia dan Papua melalui Dialog atau Perundingan yang difasilitasi oleh pihak ketiga yang netral, maka konflik terus akan terjadi di Tanah Papua.
Jika Negara Indonesia adalah Negara Demokrasi, maka sesungguhnya semua permasalahan di Papua itu dibahas tuntas dalam Forum Dialog yang setara antara dua bangsa yang dimediasi oleh pihak ketiga yang netral. Jika Negara Indonesia adalah Negara Hukum, maka sesungguhnya Negara Indonesia sudah mengakhiri penjajahan terhadap bangsa Papua dan mengakui kemerdekaan kedaulatan bangsa Papua, sebagaimana amanat Pembukaan UUD 1945 pragraf kedua yang berbunyi: “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan. (Baca disini).
Kaca mata yang selama ini dipakai oleh Negara Indonesia untuk melihat berbagai persoalan di Tanah Papua selalu berbanding terbalik. Negara Indonesia sesungguhnya sudah mengetahui bahwa akar masalahnya adalah “Distorsi Sejarah Papua”. Maka itu di dalam UU OTSUS Papua ada pasal yang mengatur tentang Pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang hingga kini belum dibentuk. (Baca disini).
Pernyataan Wakil Presiden RI yang mengatakan bahwa penyelesaian masalah Papua melalui dua pendekatan yaitu “pembangunan Kesejahteraan dan Keamanan” adalah suatu pendekatan yang sangat keliru dan fatal. Masalah gangguan keamanan di Tanah Papua itu terjadi bukan karena menuntut kesejahteraan dari Negara Indonesia, tetapi perlawanan rakyat pribumi Papua dan perang gerilya yang semakin masif yang sudah dan sedang dilakukan oleh TPN OPM adalah dalam rangka memulihkan kembali kemerdekaan kedaulatan bangsa Papua yang telah dianeksasi oleh NKRI atas bantuan Amerika Serikat.
Pembangunan kesejahteraan di Tanah Papua adalah kewajiban Pemerintah Indonesia dan itu hak warga untuk mendapatkan itu; Sementara Perjuangan Orang Asli Papua Untuk Memulihkan Kembali Kemerdekaan Kedaulatan Papua adalah Hak Dasar dan Hak Mutlak bangsa Papua, yang juga dijamin oleh Konstitusi NKRI dan Hukum Internasional.
Karena itu, Negara Indonesia jangan menyepelekan persoalan di Tanah Papua. Masalah Papua bukan soal makan minum, masalah Papua bukan sekedar pembangunan kesejahteraan yang bias pendatang. Masalah Papua yang utama dan terutama adalah “Distorsi Sejarah Papua” yaitu “Aneksasi Bangsa Papua ke dalam NKRI secara sepihak tanpa melibatkan bangsa Papua”.
Masalah Distorsi Sejarah Papua bukan masalah antara Indonesia dan Papua, tetapi itu masalah Internasional, karena dalam proses aneksasi bangsa Papua ke dalam NKRI itu, masyarakat Internasional juga terlibat, yaitu Belanda, Amerika Serikat, PBB dan Vatikan Roma (yang memfasilitasi Belanda, Indonesia dan Amerika Serikat untuk melahirkan Perjanjian Roma). (Baca disini).
Dengan demikian, untuk menyelesaikan konflik Ideologi Politik yang berkepanjangan di Tanah Papua itu, maka para pihak yang memainkan Status Politik Bangsa Papua itu harus dilibatkan dalam Forum Dialog atau Perundingan Jakarta versus Papua yang setara yang dimediasi oleh pihak ketiga yang netral dan dilakukan di tempat yang netral.■
Pingback: Kunjungan Wakil Presiden RI di Papua bawa berkat atau malapetaka? – Westpapuanews.Org