Westpapuanews.Org

Berita tangan pertama dari Tanah Papua

BACAAN PROGRESIF

Reformasi atau Revolusi – Bagian 8

ROSA LUXEMBURG

8. Penaklukan Kekuasaan Politik

Kita telah mengetahui bahwa takdir demokrasi terkait erat dengan takdir gerakan buruh. Namun, apakah perkembangan demokrasi mengasumsikan revolusi proletarian [yakni, penaklukan kekuasaan politik oleh buruh] sebagai sesuatu yang berlebihan atau mustahil?

Bernstein menjawab pertanyaan itu dengan mempertimbangkan secara cermat sisi baik dan sisi buruk dari reformasi sosial dan revolusi sosial. Dia melakukan ini nyaris dengan cara yang sama seperti menimbang kayu manis dan lada di sebuah toko koperasi konsumen. Dia memandang kurun legislatif dari perkembangan sejarah sebagai tindakan “intelijensia”, sedangkan kurun revolusioner perkembangan sejarah dianggapnya sebagai tindakan “perasaan”. Aktivitas reformis, dia akui sebagai suatu metode yang lambat untuk kemajuan historis, dan revolusi sebagai metode kemajuan yang cepat. Pada legislasi, Bernstein melihat adanya suatu kekuatan metode; pada revolusi, dia melihat adanya kekuatan yang spontan.

Kita telah lama mengetahui bahwa sang reformis borjuasi-kecil ini mendapati sisi “baik” dan sisi “buruk” dalam segala hal. Dia menggerogoti semua hal sedikit demi sedikit. Akan tetapi, perjalanan sesungguhnya dari berbagai peristiwa sedikit sekali dipengaruhi oleh kombinasi seperti itu. Sedikit tumpukan “sisi baik” dari segala hal yang mungkin, yang telah dikumpulkan dengan hati-hati, segera runtuh pada rangsangan pertama sejarah. Secara historis, reformasi legislatif dan metode revolusioner berfungsi sesuai dengan pengaruh-pengaruh yang jauh lebih mendalam ketimbang sekedar pertimbangan tentang keunggulan-keunggulan atau kelemahan-kelemahan dari satu metode atau metode lainnya.

Dalam sejarah masyarakat borjuis, reformasi legislatif berfungsi untuk menguatkan secara progresif kelas yang sedang bangkit sampai kelas itu cukup kuat untuk merebut kekuasaan, menghapuskan sistem yuridis yang kini ada, dan membangun sendiri sistem yuridis yang baru. Bernstein, yang bergemuruh menentang penaklukan kekuasaan politik dan menganggapnya sebagai sebuah teori kekerasan blanquis, sayang sekali ternyata mencap sebagai kesalahan ala blanquis, sesuatu yang selama ini selalu menjadi poros dan tenaga penggerak sejarah manusia. Sejak pertamakali munculnya masyarakat-masyarakat berkelas yang mengalami perjuangan kelas sebagai kandungan esensial dari sejarahnya, penaklukan kekuasaan politik telah menjadi tujuan dari semua kelas yang sedang bangkit. Inilah titik mula dan akhir dari setiap periode sejarah. Hal ini bisa dilihat dalam perjuangan panjang petani Latin melawan para pemodal [financier] dan kaum bangsawan Romawi kuno; dalam perjuangan bangsawan Abad Pertengahan melawan para uskup; dan dalam perjuangan para pengrajin melawan kaum bangsawan di kota-kota Abad Pertengahan. Di masa moderen, kita melihatnya dalam perjuangan borjuasi melawan feodalisme.

Reformasi legislatif dan revolusi bukanlah metode-metode yang berbeda mengenai perkembangan sejarah yang bisa dipilih sesuka hati dari pentas sejarah, seperti orang memilih sosis panas atau dingin. Reformasi legislatif dan revolusi adalah faktor-faktor yang berbeda dalam perkembangan masyarakat berkelas. Keduanya saling mengkondisikan dan melengkapi satu sama lain, dan sekaligus bersifat eksklusif laksana kutub Utara dan kutub Selatan, borjuasi dan proletariat.

Setiap konstitusi legal adalah produk dari sebuah revolusi. Dalam sejarah kelas-kelas, revolusi adalah tindakan kreasi politik, sedangkan legislasi adalah ekspresi politik dari kehidupan suatu masyarakat yang telah mewujud. Kerja untuk reformasi tidak mengandung kekuatan tersendiri yang terlepas dari revolusi. Dalam kurun tiap periode sejarah, kerja untuk reformasi dilaksanakan hanya berdasarkan arah yang diberikan kepadanya oleh dorongan revolusi terakhir, dan terus berlanjut selama dorongan itu terus membuat dirinya dirasakan. Atau, lebih konkretnya, dalam masing-masing periode sejarah, kerja untuk reformasi dilaksanakan hanya berdasarkan kerangka bentuk sosial yang diciptakan oleh revolusi terakhir. Di sinilah inti dari permasalahan tersebut.

Adalah berkebalikan dengan sejarah, kalau kita merepresentasikan kerja untuk reformasi sebagai sebuah revolusi yang dilakukan dalam jangka panjang, dan revolusi sebagai rangkaian reformasi yang dipadatkan. Transformasi sosial dan reformasi legislatif tidaklah berbeda menurut lamanya, melainkan menurut kandungannya. Rahasia dari perkembangan sejarah melalui penggunaan kekuasaan politik memang terletak pada transformasi dari modifikasi kuantitatif yang sederhana menjadi sebuah kualitas baru; atau lebih konkretnya, dalam perjalanan suatu periode sejarah, dari satu bentuk masyarakat tertentu menjadi suatu bentuk masyarakat lainnya.

Itulah mengapa orang-orang yang menyatakan diri mendukung metode reformasi legislatif, yakni berada dalam posisi yang berbeda dan bertentangan dengan penaklukan kekuasaan politik serta revolusi sosial, tidak betul-betul memilih sebuah jalan yang lebih damai, lebih tenang dan lebih lambat untuk tujuan yang sama, melainkan untuk sebuah tujuan yang berbeda. Bukannya mengambil sikap yang berpihak pada pembangunan sebuah masyarakat baru, mereka malah mengambil sikap yang mendukung modifikasi-modifikasi dangkal terhadap masyarakat lama. Jika kita menganut konsepsi-konsepsi politik revisionisme, maka kita akan sampai pada kesimpulan yang sama yang dicapai apabila kita menganut teori-teori ekonomi revisionisme. Program kita pun menjadi bukan lagi mewujudkan sosialisme, melainkan reformasi kapitalisme; bukan penghapusan sistem kerja upahan, melainkan pengurangan eksploitasi, yakni penghapusan penyalahgunaan kapitalisme, dan bukan penghapusan kapitalisme itu sendiri.

Apakah peran resiprokal dari reformasi legislatif dan revolusi hanya berlaku bagi perjuangan kelas di masa lalu? Mungkinkah sekarang ini -sebagai akibat dari perkembangan sistem yuridis borjuis- fungsi masyarakat yang bergerak dari satu fase sejarah ke fase lainnya merupakan bagian dari reformasi legislatif, dan penaklukan kekuasaan politik oleh proletariat betul-betul telah menjadi “sebuah frasa kosong”, seperti yang dinyatakan Bernstein?

Justru kebalikannyalah yang benar. Apa yang membedakan masyarakat borjuis dengan masyarakat-masyarakat berkelas lainnya – yakni masyarakat kuno dan tatanan sosial Abad Pertengahan? Tepatnya adalah fakta bahwa dominasi kelas tidak terletak pada “hak-hak yang diperoleh”, melainkan pada relasi-relasi ekonomi yang sesungguhnya – fakta bahwa kerja upahan bukanlah suatu relasi yuridis, melainkan murni relasi ekonomi. Dalam sistem yuridis kita, tidak ada sebuah rumusan perundangan yang tunggal untuk dominasi kelas di masa sekarang. Beberapa jejak yang masih tersisa dari rumusan tentang dominasi kelas seperti itu, adalah [seperti yang berkenaan dengan para hamba] sisa-sisa masyarakat feodal yang masih bertahan.

Bagaimana perbudakan-upah bisa dihapuskan dengan “cara legislatif”, kalau perbudakan itu tidak diekspresikan dalam hukum? Bernstein, yang hendak menghapuskan kapitalisme dengan cara reformasi legislatif, mendapati dirinya berada dalam situasi yang sama seperti polisi Uspensky Rusia yang mengatakan: “Segera saja kutangkap penjahat itu dengan mencengkeramnya! Tapi apa yang kudapati? Si jahanam itu tak punya kerah untuk dicengkeram!“ Dan persis seperti itulah kesulitan Bernstein.

“Semua masyarakat terdahulu senantiasa berbasiskan pertentangan antara suatu kelas penindas dan suatu kelas tertindas” [Manifesto Komunis]. Akan tetapi, pada fase-fase terdahulu dari masyarakat moderen, pertentangan ini diekspresikan dalam relasi-relasi yuridis tertentu yang khas, dan bisa -terutama karena hal itu- berkesesuaian dengan suatu lingkup tertentu, sebuah tempat bagi relasi-relasi baru dalam kerangka relasi-relasi yang lama. “Di tengah-tengah perbudakan, budak menaikkan dirinya ke jajaran anggota komunitas kota” [Manifesto Komunis]. Bagaimana itu mungkin terjadi? Hal tersebut menjadi mungkin dengan adanya penghapusan secara progresif semua privilese feodal di daerah-daerah sekitar kota: kerja paksa, hak atas pakaian khusus, pajak atas harta warisan, klaim tuan tanah atas ternak yang paling bagus, pungutan pribadi, kawin paksa, hak atas suksesi kepemimpinan dan lain-lain, yang kesemua itu menimbulkan perbudakan.

Dengan cara yang sama, borjuasi-kecil Abad Pertengahan berhasil menaikkan dirinya -padahal ia masih berada di bawah kekuasaan absolutisme feodal- ke jajaran borjuasi [Manifesto Komunis]. Dengan cara apa? Yakni, melalui penghapusan parsial secara formal -atau pemutusan sepenuhnya- ikatan-ikatan korporatif; melalui transformasi administrasi fiskal dan tentara secara progresif.

Konsekuensinya, apabila kita membahas persoalan ini dari sudut pandang abstrak, bukan dari sudut pandang historis, kita bisa membayangkan [dalam pandangan tentang relasi-relasi kelas terdahulu] berjalannya hukum, menurut metode reformis, dari masyarakat feodal ke masyarakat borjuis. Namun, apa yang kita lihat dalam realitanya? Pada kenyataannya, kita melihat bahwa reformasi perundangan bukan saja tidak menghindari perebutan kekuasaan politik oleh borjuasi, melainkan -sebaliknya- telah menyiapkan dan mengarahkan perebutan kekuasaan itu. Sebuah transformasi sosial-politik formal sangat dibutuhkan bagi penghapusan perbudakan, maupun penghapusan total feodalisme.

Akan tetapi, situasinya sekarang sama sekali berbeda. Sekarang ini hukum mewajibkan proletariat untuk menyerahkan diri kepada kekuasaan kapitalisme. Kemiskinan, tidak adanya alat produksi, kini memaksa proletariat untuk menyerahkan diri kepada kekuasaan kapitalisme. Dan tidak ada hukum di dunia ini yang bisa memberikan alat produksi kepada proletariat selama hukum itu masih berada dalam kerangka masyarakat borjuis. Karena bukan hukum, melainkan perkembangan ekonomilah yang telah mencabut alat produksi dari kepemilikan produsen.

Dan tidak ada eksploitasi dalam sistem kerja upahan yang didasarkan atas hukum. Tingkat upah tidak ditetapkan oleh legislasi, melainkan oleh faktor-faktor ekonomi. Fenomena eksploitasi kapitalis tidak bertumpu pada kecenderungan hukum, melainkan murni pada fakta ekonomi bahwa tenaga kerja, dalam eksploitasi ini, memainkan peran sebuah barang dagangan yang memiliki -di antara sifat-sifat lainnya- kualitas yang bisa disepakati dari nilai produksi, lebih dari nilai yang ia konsumsi dalam bentuk sarana subsisten buruh. Singkatnya, relasi-relasi fundamental dari dominasi kelas kapitalis tidak bisa ditransformasikan dengan cara reformasi legislatif yang berbasiskan masyarakat kapitalis, karena relasi-relasi ini belum diintrodusir oleh hukum-hukum borjuis, dan relasi-relasi tersebut juga belum menerima bentuk hukum seperti itu. Jelas Bernstein tidak menyadari hal ini, karena dia berbicara tentang “reformasi sosialis”. Di sisi lain, nampaknya Bernstein hendak mengungkapkan pengakuan implisit tentang hal ini ketika ia menuliskan di halaman 10 dari bukunya: “motif ekonomi berlaku secara bebas sekarang ini, sedangkan sebelumnya, motif ekonomi tersebut dibungkus dengan segala macam relasi dominasi, dengan segala macam ideologi.”

Inilah salah satu dari keistimewaan-keistimewaan tatanan kapitalis, yang mana di dalamnya semua elemen masyarakat masa depan, dalam perkembangannya, pertama-tama mengasumsikan suatu bentuk yang bukan mendekati sosialisme, melainkan sebaliknya, suatu bentuk yang bergerak makin dan makin menjauh dari sosialisme. Produksi menjalankan suatu karakter sosial yang secara progresif kian meningkat. Tetapi, dalam bentuk apa karakter sosial dari produksi kapitalis itu diekspresikan? Ia diekspresikan dalam bentuk perusahaan besar, dalam bentuk pembagian kepemilikan saham, kartel, hal mana antagonisme-antagonisme kapitalis, penindasan tenaga kerja, dipertajam sampai ke titik ekstrem.

Dalam soal tentara, perkembangan kapitalis menyebabkan perluasan wajib militer, sampai pada pengurangan masa pengabdian, sehingga tentunya sampai pada suatu pendekatan material, yakni sebuah milisi rakyat. Akan tetapi, kesemua ini terjadi dalam bentuk militerisme moderen, di mana dominasi terhadap rakyat oleh negara militeris, dan karakter kelas dari negara, termanifestasi sendiri secara paling jelas.

Di bidang hubungan politik, perkembangan demokrasi menimbulkan -dalam ukuran bahwa ia menemukan tanah subur untuk tumbuh- partisipasi dari semua strata popular dalam kehidupan politik dan, konsekuensinya, menimbulkan semacam “negara rakyat”. Namun, partisipasi ini mengambil bentuk berupa parlementarisme borjuis, di mana pertentangan kelas dan dominasi kelas tidak dihilangkan, melainkan sebaliknya, justru ditampilkan secara terbuka. Justru karena perkembangan kapitalis bergerak melalui kontradiksi-kontradiksi ini, maka perlu bagi kita untuk mengekstrasi inti masyarakat sosialis dari rangka kapitalisnya. Justru karena alasan inilah, maka proletariat harus merebut kekuasaan politik dan menghapuskan sistem kapitalis secara tuntas.

Tentu saja, Bernstein menarik kesimpulan-kesimpulan yang lain. Jika perkembangan demokrasi mengarah pada penajaman, dan bukan memperkecil antagonisme kapitalis, maka, “Sosial-demokrasi”, jawab Bernstein kepada kita, “agar tidak membuat tugasnya menjadi lebih sulit, haruslah berusaha dengan segala cara untuk menghentikan reformasi sosial dan perluasan institusi-institusi demokratik,” [hal. 71]. Sesungguhnya, itu akan menjadi hal yang benar untuk dilakukan jika sosial-demokrasi mendapati -sesuai seleranya, ala borjuis-kecil-tugas untuk mengambil bagi dirinya sendiri, semua sisi baik dari sejarah dan menolak sisi buruknya, meski itu sia-sia. Bagaimanapun juga, dalam hal itu, sosial-demokrasi hendaknya sekaligus juga “berusaha menghentikan” kapitalisme secara umum, karena tak ragu lagi bahwa kapitalisme adalah penjahat yang meletakkan semua rintangan ini di tengah jalan menuju sosialisme. Akan tetapi, kapitalisme, selain melengkapi rintangan-rintangan itu, juga menyediakan satu-satunya kemungkinan untuk mewujudkan program sosialis. Hal yang sama bisa pula dikatakan tentang demokrasi.

Kalau demokrasi telah menjadi berlebihan atau menjengkelkan bagi borjuasi, maka -sebaliknya- ia diperlukan dan mutlak harus ada bagi kelas pekerja. Demokrasi perlu bagi kelas pekerja, karena ia menciptakan bentuk-bentuk politik [administrasi yang otonom, hak-hak elektoral, dan lain-lain] yang -bagi proletariat- akan berfungsi sebagai tumpuan dalam tugasnya untuk mentransformasikan masyarakat borjuis. Demokrasi sangat dibutuhkan kelas pekerja, karena hanya melalui pelaksanaan hak-hak demokratiknya dalam perjuangan untuk demokrasilah, proletariat bisa menjadi sadar akan kepentingan-kepentingan kelas serta tugas sejarahnya.

Singkatnya, demokrasi sangat dibutuhkan bukan karena ia menyebabkan penaklukan kekuasaan politik oleh proletariat menjadi sesuatu yang berlebihan, melainkan karena demokrasi justru membuat penaklukan kekuasaan itu menjadi perlu dan mungkin untuk dilakukan. Ketika Engels, dalam kata pengantar pada tulisannya Perjuangan Kelas di Perancis, merevisi gerakan buruh moderen dan mendesak dilakukannya perjuangan hukum untuk menghadapi rintangan-rintangan, dia tidak sedang berpikir tentang -ini muncul di setiap baris dalam kata pengantar itu- persoalan penaklukan kekuasaan politik tertentu, melainkan perjuangan sehari-hari yang kontemporer. Engels tidak berpikir tentang sikap yang harus diambil oleh proletariat terhadap negara kapitalis di saat perebutan kekuasaan, melainkan sikap proletariat ketika berada dalam belenggu negara kapitalis. Engels ketika itu memberikan arahan kepada proletariat yang tengah tertindas, bukan kepada proletariat yang sedang mengalami kemenangan.

Di sisi lain, kalimat Marx yang terkenal tentang persoalan agraria di Inggris [Bernstein sangat bertumpu pada pernyataan ini] yang menyatakan: “Barangkali kita akan berhasil dengan mudah, dengan cara membeli tanah milik tuan-tuan tanah,” tidaklah mengacu pada sikap proletariat sebelum, melainkan setelah kemenangannya. Karena, jelas persoalan tentang membeli properti dari kelas lama yang dominan baru mungkin untuk dipertimbangkan apabila buruh berada di tampuk kekuasaan. Kemungkinan yang dipertimbangkan oleh Marx adalah dalam hal pelaksanaan kediktatoran proletariat secara damai, dan bukan mengganti kediktatoran itu dengan reformasi sosial. Tak ada keraguan pada Marx dan Engels tentang perlunya proletariat menaklukkan kekuasaan politik. Maka, biarlah Bernstein menganggap kandang parlementarisme borjuis sebagai organ, yang dengan itu kita hendak mewujudkan transformasi sosial sejarah yang paling menakjubkan, yakni perjalanan dari masyarakat kapitalis menuju sosialisme.

Bernstein mengintrodusir teorinya dengan memperingatkan proletariat tentang bahayanya pencapaian kekuasaan yang terlalu dini. Yakni, menurut Bernstein, proletariat harus membiarkan masyarakat borjuis dalam kondisinya yang sekarang, dan borjuasi dengan sendirinya akan menderita kekalahan yang menakutkan. Andaikan nanti proletariat mencapai kekuasaan, maka berdasarkan teori Bernstein itu, proletariat bisa menarik kesimpulan “praktis”, yakni: tidur saja. Teori Bernstein itu melemahkan proletariat pada saat-saat perjuangan yang paling menentukan, hingga menjadi tidak aktif, menjadi pengkhianatan pasif dari sebabnya sendiri.

Program kita hanya akan menjadi secarik kertas tak berharga, jika tak mampu membekali kita dengan segala kemungkinan pada setiap saat perjuangan, dan jika tidak membekali kita dengan aplikasinya, bukan dengan non-aplikasinya. Kalau program kita mengandung rumusan perkembangan sejarah masyarakat dari kapitalisme menuju sosialisme, maka ia harus juga merumuskan -dalam semua hal fundamentalnya yang khas- semua fase peralihan dari perkembangan ini. Dan konsekuensinya, program tersebut hendaknya juga bisa menunjukkan kepada proletariat, apa yang seharusnya merupakan tindakan yang cocok pada setiap momentum dalam perjalanan menuju sosialisme. Tak akan ada lagi waktu bagi proletariat ketika ia terpaksa memilih: mengabaikan programnya, atau diabaikan oleh program itu.

Secara praktis, hal ini termanifestasi dalam kenyataan bahwa tidak mungkin terjadi keadaan di mana proletariat -yang ditempatkan pada tampuk kekuasaan berkat adanya kekuatan dari beberapa peristiwa- tidak berada dalam kondisi, atau secara moral tidak merasa wajib untuk mengambil langkah-langkah tertentu, yakni langkah-langkah peralihan dalam arah menuju sosialisme. Dibalik keyakinan bahwa program sosialis bisa gagal sepenuhnya pada satu titik dari kediktatoran proletariat, tersembunyi keyakinan lain bahwa program sosialis secara umum, dan pada saat kapanpun, tidak bisa diwujudkan.

Dan bagaimana jika langkah-langkah peralihan itu prematur? Pertanyaan ini menyembunyikan sejumlah besar ide keliru tentang perjalanan sesungguhnya dari transformasi sosial.

Pertama, perebutan kekuasaan politik oleh proletariat, yakni oleh sebuah kelas popular yang besar, tidaklah dihasilkan secara artifisial. Ia mengasumsikan [dengan kekecualian, misalnya dalam kasus Komune Paris, yakni ketika proletariat tidak mencapai kekuasaan setelah melakukan suatu perjuangan sadar untuk mencapai tujuannya, namun jatuh ke tangannya sendiri seperti sesuatu yang baik, yang diabaikan oleh orang lain] adanya suatu tingkat tertentu kematangan relasi-relasi ekonomi dan politik. Di sini kita memiliki perbedaan yang esensial antara kudeta menurut konsepsi Blanqui -yang dijalankan oleh suatu “minoritas aktif” dan meledak seperti letusan pistol yang selalu tak tepat pada waktunya- dengan penaklukan kekuasaan politik oleh massa rakyat yang besar dan sadar, yang hanya bisa terjadi sebagai akibat dari membusuknya masyarakat borjuis, dan karenanya melahirkan sendiri legitimasi ekonomi dan politik bagi kemunculannya yang tepat waktu.

Karena itu, kendati kalau dilihat dari sudut efek politik, penaklukan kekuasaan politik oleh kelas pekerja tidak mungkin “terlalu dini” mewujud sendiri, namun dari sudut pelestarian kekuasaan [lama / status quo – penerj.], adalah revolusi yang prematur, yakni pemikiran yang membuat Bernstein selalu terjaga, mengancam kita laksana pedang Damocles. Dalam menghadapi ancaman ini, baik doa maupun permohonan, ketakutan ataupun kesengsaraan, tidaklah banyak membantu. Dan berikut ini ada dua alasan yang sangat sederhana.

Pertama, adalah mustahil untuk membayangkan bahwa suatu transformasi sehebat apapun seiring perjalanan dari masyarakat kapitalis menuju masyarakat sosialis, bisa diwujudkan dalam satu Undang-Undang yang membahagiakan. Menganggap itu sebagai hal yang mungkin, kembali ini berarti meniru corak dari konsepsi-konsepsi yang jelas bersifat blanquis. Transformasi sosialis mengasumsikan sebuah perjuangan yang panjang dan keras, yang dalam kurun itu cukup mungkin bahwa proletariat akan terpukul mundur lebih dari satu kali, sehingga untuk pertamakalinya -dari sudut pandang hasil akhir perjuangan- proletariat bisa disebut mencapai tampuk kekuasaan “terlalu dini”.

Kedua, akan mustahil untuk menghindari penaklukan kekuasaan negara “yang prematur” oleh proletariat, karena memang serangan-serangan “prematur” dari proletariat ini menimbulkan suatu faktor -dan sesungguhnya adalah faktor yang sangat penting- yang menciptakan syarat-syarat politik bagi kemenangan akhir. Dalam kurun krisis politik yang menyertai perebutan kekuasaan, dalam kurun perjuangan yang panjang dan keras, proletariat akan memperoleh tingkat kematangan politik yang memungkinkannya untuk pada waktunya mendapatkan sebuah kemenangan revolusi yang pasti. Jadi, serangan-serangan proletariat yang “prematur” terhadap kekuasaan negara ini, dalam dirinya sendiri merupakan faktor historis penting yang membantu memprovokasi dan menentukan titik kemenangan yang pasti. Dilihat dari sudut pandang ini, ide tentang suatu penaklukan kekuasaan politik yang “prematur” oleh kelas pekerja, nampak menjadi sebuah absurditas polemis yang berasal dari konsepsi mekanis tentang perkembangan masyarakat, dan memposisikan kemenangan perjuangan kelas sebagai sebuah poin yang ditetapkan di luar -dan lepas dari- perjuangan kelas.

Karena proletariat tidak berada dalam posisi untuk merebut kekuasaan dengan cara selain “cara yang prematur”; karena proletariat mutlak harus merebut kekuasaan satu kali atau beberapa kali “lebih dini” sebelum ia bisa mempertahankan diri dalam kekuasaan selamanya, maka keberatan terhadap penaklukan kekuasaan yang “prematur”, pada dasarnya tak lain adalah sebuah oposisi umum terhadap aspirasi proletariat untuk memiliki kekuasaan negara. Karena banyak jalan menuju Roma, maka begitu pula kita secara logis sampai pada kesimpulan bahwa usulan revisionis untuk mengabaikan tujuan akhir gerakan sosialis, sesungguhnya adalah suatu rekomendasi untuk meninggalkan gerakan sosialis itu sendiri.

Glosarium nama dan istilah :

Auer, Ignaz (1846-1907): Seorang sosial-demokrat Bavaria; sekretaris sosial-demokrasi Jerman sejak tahun 1875; reformis.

Bebel, August (1840-1913): Salah satu pendiri dan pemimpin Partai Sosial-Demokratik Jerman dan Internasionale Kedua; bersama Wilhelm Liebknecht ia dihukum penjara selama dua tahun dengan tuduhan pengkhianatan pada 1872; penulis buku Perempuan dan Sosialisme; tokoh dari kecenderungan-kecenderungan revisionis.

Ernstein, Eduard (1850-1932): Seorang sosial-demokrat Jerman; sahabat dan pelanjut tradisi tulisan Engels; mengembangkan teori revisionis sosialisme evolusioner; menjadi pemimpin sayap oportunis ekstrem sosial-demokrasi.

Blanqui, Louis Auguste (1805-1932): Seorang sosialis revolusioner Perancis, yang namanya diasosiasikan dengan teori insureksi (pemberontakan) bersenjata oleh sekelompok kecil orang-orang yang terpilih dan terlatih, bertentangan dengan konsep marxis tentang insureksi massa; berpartisipasi dalam Revolusi Perancis tahun 1830; mengorganisir sebuah insureksi yang gagal pada 1839; dibebaskan berkat adanya Revolusi tahun 1848; dipenjarakan kembali selama masa kekalahan Revolusi 1848; dipenjarakan menjelang terbentuknya Komune Paris. Terganggu kesehatannya akibat kehidupan penjara selama tigapuluh lima tahun, dia kemudian diampuni pada 1879, dan pada tahun itu juga ia dipilih sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat oleh para buruh di Bordeaux, namun dinyatakan tak memenuhi syarat oleh pemerintah.

Brentano, Lujo (1844-1931): Ekonom Jerman, salah satu dari “para profesor sosialis” yang membela “perdamaian kelas”; berpendapat bahwa kontradiksi-kontradiksi kapitalisme bisa diatasi tanpa perjuangan kelas, yakni melalui serikat-serikat buruh yang reformis, yang akan memungkinkan kapitalis dan buruh untuk merekonsiliasikan perbedaan-perbedaan mereka.

Fourier, Francois Marie Charles (1772-1837): Seorang sosialis utopis Perancis dan kritikus kapitalisme.

Goethe, Johann Wolfgang von (1749-1832): Penyair dan dramawan; sastrawan terbesar Jerman; menulis Faust.

Heine, Wolfgang (1861 – ?): Seorang sosial-demokrat Jerman; salah satu pendukung Bernstein yang paling giat dalam perjuangan revisionis; patriot sosial selama masa perang.

Kant, Immanuel (1724-1804): Filsuf idealis Jerman.

Kartel: Kesepakatan sukarela di antara perusahaan-perusahaan manufaktur yang memproduksi jenis produk yang sama untuk membatasi persaingan sesama mereka dengan membagi pasar, menetapkan harga, dan lain-lain.

Kautsky, Karl (1854-1938): Seorang sosial-demokrat Jerman; teoritisi terkemuka dari Internasionale Kedua; selama masa perang adalah seorang penganut paham perdamaian; penentang yang gigih terhadap bolsyewisme dan pemerintahan Soviet.

Lange, Friedrich Albert (1828-1875): Filsuf neo-kantian Jerman dan reformis sosial.

Lassalle, Ferdinand (1825-1864): Seorang sosialis Jerman; pendiri Serikat Umum Pekerja Jerman pada 1863, yang kemudian berfusi dengan para pengikut Marx untuk membentuk Partai Sosial-Demokratik.

Liebknecht, Wilhelm (1826-1900): Berpartisipasi dalam Revolusi Jerman tahun 1848; pergi ke pengasingan di Inggris, di mana ia menjadi murid dari Marx dan Engels; kembali ke Jerman setelah amnesti tahun 1860 dan membangun partai marxis yang bersatu dengan partai lassallean untuk membentuk SPD; dipenjarakan dengan tuduhan pengkhianatan berat pada 1872; memperjuangkan ortodoksi marxis untuk menentang upaya-upaya revisionis di dalam SPD.

Menger, Carl (1840-1921): Seorang ekonom-politik Australia.

Neupauer, Dr. Joseph Ritter von: Seorang ekonom borjuis Jerman yang pandangan-pandangannya direkomendasikan oleh Bernstein.

Pereira, Isaac (1806-1880): Seorang ekonom Perancis; apolog borjuis.

Potter-Webb, Beatrice (1858-1943): Seorang sosialis fabian; istri dari Sydney Webb; bersama suaminya menulis banyak buku.

Proudhon, Pierre Joseph (1809-1865): Seorang sosialis utopis Perancis yang meramalkan munculnya suatu masyarakat yang berdasarkan pertukaran fair di antara para produsen independen, dan menganggap negara kurang penting dibandingkan bengkel-bengkel kerja yang ia yakin akan menggantikan negara; penulis buku Filsafat Kemiskinan, yang kemudian dijawab oleh Marx dengan karyanya Kemiskinan Filsafat.

Rodbertus, Karl Johann (1805-1875): Seorang ekonom Jerman yang memegang pandangan-pandangan sosialis, tetapi bukan yang revolusioner; Engels membahas pandangan-pandangan Rodbertus tersebut dalam pengantar pada karya Marx Kemiskinan Filsafat.

Say, Jean-Baptiste (1767-1832): Seorang ekonom borjuis; tokoh yang mempopulerkan Adam Smith; hukum Say adalah tesis bahwa setiap tindakan produksi pasti menciptakan kemampuan beli yang diperlukan untuk membeli produk itu.

Schippel, Max (1859-1928): Seorang revisionis sayap kanan dalam sosial-demokrasi Jerman; membela kebijakan-kebijakan Jerman yang imperialis, ekspansionis dan agresif.

Schmidt, Konrad (1863-1932): Seorang ekonom dan sosial-demokrat Jerman yang melakukan yang berhubungan surat-menyurat dengan Engels; kemudian menjadi revisionis.

Sisyphus: Raja Corinth (dalam mitologi) yang -di negeri antah-berantah- dijatuhi hukuman untuk menggelindingkan sebuah batu besar ke puncak bukit, dan batu itupun terus menggelinding mundur setiap kali ia berusaha menggerakkannya, hingga tugasnya pun tak pernah berakhir.

Tengah: Partai Katolik Roma Jerman yang duduk di tengah-tengah dalam Dewan Reichstag; bermanuver di antara pemerintah dan sayap kiri.

Undang-Undang anti-sosialis: Disebut juga Undang-Undang perkecualian sosialis; Undang-Undang yang diprakarsai oleh Bismarck; berlaku di Jerman sejak 1878 sampai 1890; melarang organisasi-organisasi dan publikasi-publikasi untuk terlibat dalam propaganda sosialis. Kaum sosial-demokrat hanya diijinkan untuk beraktivitas parlementer.

Uspensky, Gleb Ivanovich (1840-1902): Seorang novelis Rusia yang banyak menulis tentang kehidupan petani.

Vollmar, Georg Heinrich von (1850-1922): Pemimpin sosial-demokrasi Bavaria; pada tahun 1891, beberapa tahun sebelum Bernstein, ia mendesakkan pandangan-pandangan reformis, yang dengan begitu ia menjadi pelopor reformisme Jerman.

Webb, Sydney (1859-1947): Teoritisi utama Inggris tentang sosialisme gradualis; seorang pendiri Masyarakat Fabian; bersama istrinya (Beatrice) ia menulis banyak buku tentang koperasi dan trade-unionisme; menjadi menteri dalam pemerintahan Partai Buruh; diangkat menjadi Lord Passfield; dia dan istrinya menjadi apolog atas stalinisme dalam tahun 1930-an.

Weitling, Wilhelm (1808-1871): Penulis proletarian Jerman yang pertama; seorang kolaborator Blanqui; seorang sosialis utopis egalitarian.

Wolff, Julius (1862-?): Seorang ekonom borjuis.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *