Westpapuanews.Org

Berita tangan pertama dari Tanah Papua

BACAAN PROGRESIF

Peran Individu Dalam Sejarah — Bagian V

GEORGI PLEKHANOV

V

Kami tidak sepakat dengan harapan Pirenne ini. Masa depan tidak bisa menjadi milik pandangan yang kabur dan tidak pasti; dan begitulah pandangan Monod dan terutama Lamprecht. Tentu saja, kami menyambut dengan hangat sebuah aliran yang menyatakan bahwa tugas ilmu sejarah yang paling penting adalah mempelajari institusi-institusi sosial dan kondisi-kondisi ekonomi. Ilmu sejarah akan mengambil langkah maju yang besar bila aliran seperti ini menjadi terpancang kokoh. Akan tetapi, kesalahan pertama Pirenne adalah menganggapnya sebagai sebuah aliran yang baru. Aliran ini muncul dalam ilmu sejarah sejauh tahun 20an pada abad ke-19: Guizot, Mignet, Augustin Thierry dan lalu Tocqueville dan beberapa lainnya adalah penyokong besar dan konsisten aliran ini. Pandangan Monod dan Lamprecht hanyalah salinan kabur dari yang orisinal, yang walaupun tua tetapi luar biasa. Kedua, walaupun pandangan Guizot, Mignet, dan sejarawan Prancis lainnya sangatlah dalam untuk jaman mereka, banyak pandangan mereka yang masih belum terurai. Mereka tidak menyediakan solusi yang penuh dan seksama bagi masalah peran individu dalam sejarah. Ilmu sejarah harus menyediakan solusi itu bila para perwakilannya hendak menyingkirkan konsep yang berat sebelah dari subjek ini. Masa depan adalah milik mazhab yang dapat menghasilkan solusi terbaik bagi masalah ini.

Pandangan Guizot, Mignet, dan sejarawan lainnya yang merupakan bagian dari aliran ini adalah reaksi terhadap konsep sejarah yang mendominasi abad ke-18, dan pandangan mereka adalah anti-tesisnya. Pada abad ke-18, para ahli filsafat sejarah mereduksi semua hal ke aktivitas sadar individu. Benar, ada pengecualian bahkan pada saat itu: filosofi-historis Vico, Montesquieu dan Herder, misalnya, memiliki wawasan yang lebih luas. Tetapi kita tidak berbicara mengenai pengecualian; mayoritas besar pemikir abad ke-18 bersandar pada aktivitas sadar individu. Sehubungan dengan ini, sangat menarik untuk membaca ulang karya-karya sejarah Mably. Menurut Mably, Minos[18] menciptakan seluruh kehidupan sosial dan politik dan etik bangsa Crete, sementara Lycurgus[19] melakukan hal yang sama untuk Sparta. Bila bangsa Sparta “menolak” kekayaan material, ini sepenuhnya disebabkan oleh Lycurgus, yang “merasuki kedalaman sukma warganya, di mana dia menghancurkan benih ketamakan” (descendit pour ainsi dire jusque dans le fond du coeur des citoyens, etc.).[20] Dan bila, selanjutnya, bangsa Sparta berpaling dari jalan yang telah ditunjukkan oleh Lycurgus yang bijak, ini disebabkan oleh Lysander[21], yang membujuk mereka bahwa “jaman baru dan kondisi baru membutuhkan seorang genius baru dan kebijakan baru”.[22] Penelitian-penelitian yang ditulis dari sudut pandang seperti ini tidak ada kaitannya dengan sains, dan ditulis sebagai khotbah semata-mata demi “pedoman” moral yang terkandung di dalamnya. Melawan konsepsi seperti inilah para sejarawan Prancis periode Restorasi Bourbon[23] memberontak. Setelah peristiwa-peristiwa besar pada akhir abad ke-18 [Revolusi Prancis 1789], menjadi sepenuhnya mustahil untuk berpikir bahwa sejarah dibuat oleh tokoh-tokoh besar yang luhur dan bijaksana, yang, seturut kehendak mereka sendiri, mengilhami massa yang bodoh dan penurut dengan sentimen dan ide tertentu. Terlebih lagi, filsafat sejarah ini menyinggung kebanggaan plebeian [kerakyatan] para teoretikus borjuis. Mereka didorong oleh perasaan yang sama yang telah menemukan ekspresinya pada abad ke-18 selama kebangkitan drama borjuasi. Dalam memerangi konsepsi sejarah yang lama, Thierry menggunakan argumen yang sama yang dikedepankan oleh Beaumarchais dan yang lainnya dalam melawan nilai-nilai estetik yang lama.[24] Terakhir, badai yang baru saja dialami Prancis secara jelas mengungkapkan bahwa alur peristiwa sejarah tidak ditentukan semata-mata oleh tindakan sadar manusia; situasi ini sendiri saja cukup untuk mendorong kemunculan gagasan bahwa peristiwa-peristiwa ini disebabkan oleh pengaruh semacam keniscayaan yang tersembunyi, yang beroperasi secara liar seperti kekuatan Alam, secara buta tetapi sesuai dengan hukum-hukum dasar tertentu.

Sungguh luar biasa bagaimana sejarawan Prancis periode Restorasi menerapkan secara konsisten konsepsi sejarah sebagai proses yang diatur oleh hukum dalam karya-karya mereka mengenai Revolusi Prancis. Sepanjang kami ketahui, tak seorang pun yang mengetahuinya sampai hari ini. Misalnya, dalam karya Mignet dan Thiers. Chateaubriand menyebut mazhab sejarah baru ini fatalis. Dalam merumuskan tugas para peneliti sejarah, dia mengatakan: “Dalam sistem ini, sejarawan harus menceritakan kejahatan yang paling keji tanpa perasaan murka, dan berbicara mengenai kebajikan yang paling luhur tanpa perasaan cinta; dia harus, dengan mata yang dingin beku, melihat masyarakat hanya sebagai sesuatu yang tunduk pada hukum-hukum tertentu yang tak terelakkan, yang menyebabkan terjadinya setiap fenomena sebagaimana seharusnya.”[25] Tentu saja ini keliru. Mazhab sejarah yang baru ini sama sekali tidak menuntut sejarawan harus menjadi dingin. Augustin Thierry bahkan mengatakan dengan cukup terbuka bahwa gairah politik, yang menajamkan pikiran sang peneliti, dapat menjadi instrumen yang kuat dalam menemukan kebenaran.[26] Bahkan bila kita membaca sekilas saja karya-karya sejarah Guizot, Thierry atau Mignet, kita akan saksikan bagaimana mereka sangat bersimpati pada kaum borjuasi dalam perjuangannya melawan aristokrasi, dan pada usahanya untuk meredam tuntutan-tuntutan dari kaum proletar yang baru muncul. Yang tidak bisa disangkal adalah ini: mazhab sejarah yang baru ini muncul pada tahun 20an abad ke-19, yakni ketika kaum borjuasi sudah mengalahkan aristokrasi, walaupun yang belakangan ini masih berusaha memenangkan kembali privilese lama mereka. Rasa bangga akan kemenangan kelas mereka tercerminkan dalam semua esai para sejarawan mazhab baru ini. Dan karena kaum borjuasi tidak pernah dikenal ksatria, kita kadang-kadang dapat menemukan para perwakilan intelektualnya bersikap agak bengis terhadap pihak yang kalah. “Le plus fort absorbe le plus faible,”, kata Guizot, di salah satu pamflet polemiknya, “et il est de droit.” [Yang terkuat memangsa yang lebih lemah; dia berhak melakukan ini]. Dia juga bersikap sama bengisnya pada kelas pekerja. Kebengisan inilah, yang kadang-kadang mengambil bentuk sikap dingin yang tenang, yang menyesatkan Chateaubriand. Terlebih lagi, pada saat itu belumlah terlalu jelas bagaimana kemajuan sejarah itu diatur oleh hukum-hukum tertentu. Terakhir, mazhab sejarah yang baru ini mungkin tampak fatalis karena, dalam usahanya untuk mengadopsi sudut pandang ini, mazhab ini menaruh perhatian kecil pada sejarah orang-orang hebat.[27] Mereka yang dibesarkan dengan ide-ide historis abad ke-18 merasa kesulitan untuk menerima ini. Keberatan-keberatan terhadap cara pandang para sejarawan baru ini tumpah membanjiri dari berbagai sisi; kemudian muncullah polemik yang, seperti yang telah kita lihat, belum tuntas sampai hari ini.

Pada Januari 1826, dalam ulasannya di Le Globe mengenai jilid ke lima dan enam Histoire de la Révolution française karya Mignet, Sainte-Beuve menulis:”Pada satu momen tertentu, disebabkan oleh keputusan tiba-tiba kehendak manusia, seorang dapat memperkenalkan ke dalam alur peristiwa sebuah kekuatan yang baru, tidak terduga, dan dapat berubah, yang dapat mengubah alur tersebut, tetapi yang sendirinya tidak dapat diukur karena karakternya yang dapat berubah.”

Jangan mengira Sainte-Beuve percaya bahwa “keputusan tiba-tiba” kehendak manusia terjadi tanpa sebab-musabab. Tidak, ini akan terlalu naif. Dia hanya menyatakan bahwa kualitas mental dan moral seorang manusia yang memainkan peran yang kurang lebih penting dalam kehidupan publik – talentanya, pengetahuannya, keteguhan dan keragu-raguannya, keberanian dan kepengecutannya, dst. – mesti memiliki pengaruh yang kentara terhadap alur peristiwa dan hasilnya; namun kualitas-kualitas ini tidak dapat dijelaskan semata oleh hukum umum perkembangan bangsa; mereka selalu, dan sampai pada tingkatan yang cukup signifikan, berkembang di bawah pengaruh apa-yang-dapat-disebut kebetulan dalam kehidupan pribadi manusia. Kami akan mengutip beberapa contoh untuk menjelaskan gagasan ini, yang menurut saya cukup jelas.

Selama Peperangan Suksesi Austria[28], pasukan Prancis meraih sejumlah kemenangan brilian dan tampaknya Prancis ada di posisi untuk memaksa Austria menyerahkan wilayah yang cukup luas di lokasi yang hari ini dikenal dengan nama Belgia; tetapi Louis XV[29] tidak mengklaim wilayah ini karena, seperti yang dia katakan, dia bertempur sebagai seorang raja dan bukan sebagai seorang pedagang, walhasil Prancis tidak mendapatkan apa-apa dari Pakta Perdamaian Aix-la-Chapelle[30]. Bila saja Louis XV adalah seorang dengan kepribadian yang berbeda, atau ada raja lain yang menempati takhtanya, wilayah Prancis sudah tentu akan menjadi lebih luas dan, sebagai akibatnya, perkembangan ekonomi dan politiknya akan mengambil jalan yang berbeda.

Seperti yang kita ketahui, Prancis mengobarkan Perang Tujuh Tahun[31] dengan beraliansi dengan Austria; kabarnya, aliansi ini terbentuk berkat bantuan besar Madame de Pompadour, selir utama Louis XV, yang sangat tersanjung oleh sepucuk surat dari Maria-Theresa, Ratu Austria, yang memanggilnya “sepupu” atau “teman baik” (bien bonne amie). Maka dari itu, kita dapat mengatakan, bila saja Louis XV adalah seorang yang lebih berakhlak, atau kalau dia tidak mudah terpengaruh oleh selir-selirnya, maka Madame de Pompadour tidak akan memiliki pengaruh yang begitu besar terhadap jalannya peristiwa, yang akan mengambil jalan yang berbeda.

Terlebih lagi, Prancis kalah dalam Perang Tujuh Tahun; jenderal-jenderalnya menderita sejumlah kekalahan yang memalukan. Secara umum, tingkah laku mereka sangatlah aneh. Richelieu melakukan penjarahan, sementara Soubise dan Broglie terus-menerus saling menjegal. Misalnya, ketika Broglie sedang menyerang musuh di Villinghausen, Soubise mendengar suara meriam tetapi tidak menolong kawannya seperti yang sudah direncanakan, dan seperti yang seharusnya dia lakukan. Sebagai konsekuensinya, Broglie terpaksa mundur.[32] Soubise yang sangat tidak kompeten ini dilindungi oleh Madame de Pompadour. Kita dapat mengatakan sekali lagi, bila saja Louis XV bukan orang yang suka berpesta-pora, dan mampu menahan selir-selirnya ikut campur politik, alur peristiwa tidak akan begitu buruk bagi Prancis.

Para sejarawan Prancis mengatakan bahwa tidak ada gunanya sama sekali bagi Prancis untuk mengobarkan perang di benua Eropa; Prancis seharusnya memusatkan seluruh kekuatannya di laut untuk mempertahankan koloni-koloninya dari serangan Inggris. Prancis tidak bertindak seperti ini adalah karena Madame de Pompadour, yang ingin memuaskan “teman baiknya” Maria Theresa. Sebagai akibat dari Perang Tujuh Tahun, Prancis kehilangan koloni-koloni terbaiknya, yang jelas sangat mempengaruhi perkembangan relasi ekonominya. Dalam kasus ini, keangkuhan feminin tampak berperan sebagai “faktor” berpengaruh dalam perkembangan ekonomi.

Apakah kita butuh contoh-contoh lainnya? Kami akan mengutip satu lagi, mungkin yang paling mengejutkan. Selama Perang Tujuh Tahun ini, pada bulan Agustus 1761, pasukan Austria, setelah bergabung dengan pasukan Rusia di Silesia, mengepung Frederick [Prusia] di dekat Striegau. Frederick ada dalam posisi yang sulit, tetapi pasukan Austria-Rusia lambat dalam menyerang, dan, setelah dua puluh hari berpangku tangan, Jenderal Buturlin [Rusia] menarik mundur pasukannya dari Silesia, dan menyisakan hanya sebagian kecil pasukannya untuk menyokong Jenderal Laudon dari Austria. Laudon merebut Schweidnitz, namun kemenangan ini tidak penting. Tetapi, kalau saja Buturlin lebih berpendirian? Kalau saja pasukan Austria-Rusia menyerang Frederick sebelum dia memiliki waktu untuk mempertahankan dirinya? Mereka akan dapat mengalahkan Frederick, dan dia akan terpaksa memenuhi semua tuntutan dari pihak pemenang. Dan ini terjadi hanya beberapa bulan sebelum satu peristiwa lainnya, yaitu kematian Ratu Elizabeth dari Rusia, yang segera mengubah situasi yang memberikan keuntungan bagi Frederick.[33] Seorang bisa bertanya: apa yang akan terjadi bila saja Buturlin lebih berpendirian, atau bila orang seperti Suvorov menggantikan tempatnya?

Dalam memeriksa pandangan para sejarawan “fatalis” ini, Sainte-Beuve mengemukakan pertimbangan lainnya yang juga patut diperhatikan. Dalam ulasannya terhadap karya Mignet Histoire de la Révolution française yang kita sebut di atas, dia berpendapat bahwa alur dan hasil Revolusi Prancis ditentukan, tidak hanya oleh sebab-sebab umum yang menyebabkan Revolusi ini, dan tidak hanya oleh gairah-gairah yang menyusul Revolusi ini, tetapi juga oleh banyak fenomena-fenomena kecil yang luput dari perhatian para peneliti dan yang bahkan bukan bagian dari fenomena-fenomena sosial lazimnya. Dia menulis: “Sementara sebab-sebab (umum) ini dan gairah-gairah (yang dibangkitkan oleh sebab-sebab umum ini) beroperasi, kekuatan-kekuatan fisik dan psikologi Alam tidaklah berhenti: batu tetap mematuhi hukum gravitasi; darah tidak berhenti bersirkulasi di pembuluh darah. Tidakkah alur peristiwa akan berubah bila saja Mirabeau[34], katakanlah, tidak meninggal karena demam; bila Robespierre[35] mati karena kecelakaan tertimpa batu bata atau karena pendarahan otak; atau bila Bonaparte[36] mati tertembus peluru? Dan apakah Anda berani menyatakan bahwa hasil peristiwa [Revolusi Prancis] akan sama? Dengan cukup banyak kecelakaan seperti ini, hasil akhir Revolusi Prancis mungkin akan berkebalikan dari apa yang menurut pendapatmu adalah tak terelakkan. Saya berhak mengasumsikan terjadinya kecelakaan-kecelakaan seperti itu karena mereka tidak dicegah oleh sebab-sebab umum Revolusi maupun gairah-gairah yang dibangkitkan oleh sebab-sebab umum tersebut.” Kemudian dia mengutip sebuah observasi yang diketahui banyak orang, bahwa sejarah akan mengambil jalan yang sepenuhnya berbeda bila saja hidung Kleopatra sedikit lebih pesek; kesimpulannya, sementara dia mengakui ada lebih banyak yang bisa dikatakan untuk membela pandangan Mignet, dia sekali lagi menunjukkan letak kekeliruan Mignet. Mignet menganggap sebab-sebab umum sebagai satu-satunya faktor yang menentukan alur peristiwa, tetapi sesungguhnya ada banyak sebab lainnya yang minor, tersembunyi, dan elusif yang mempengaruhi alur peristiwa; logikanya yang kaku tampaknya menolak mengakui keberadaan sesuatu yang baginya acak dan tidak mematuhi hukum. — Bersambung ke Bagian VI

______________________

[18] Dalam mitologi Yunani, Minos adalah raja Crete [Ed.]

[19] Lycurgus (800-730 SM) adalah tokoh legendaris Sparta yang mengubah Sparta menjadi masyarakat militer. [Ed.]

[20] Oeuvres Complètes de l’abbé de Mably, London 1783 (Vol.IV), 3, 14-22, 24 et 192. [Plekhanov]

[21] Lysander [meninggal 395 SM], pemimpin militer dan politik bangsa Sparta, yang berhasil menaklukkan Athena dan menguasai Yunani. [Ed.]

[22] Ibid. hal.101. [Plekhanov]

[23] Restorasi Bourbon adalah masa restorasi monarki pada 1814-30, ketika Napoleon Bonaparte lengser dan monarki Bourbon kembali bertakhta di bawah Louis XVI (1814-24) dan lalu Charles X (1824-1830). Selama periode Restorasi ini, pemerintah memutar balik banyak pencapaian Revolusi Prancis untuk mengembalikan privilese rejim feodal. Kendati banyak pencapaian Revolusi Prancis diputar balik, tetapi kebanyakan pencapaian demokratisnya yang fundamental tetap berlaku. Monarki Bourbon akhirnya ditumbangkan oleh oposisi liberal pada Revolusi Juli 1830. [Ed.]

[24] Bandingkan surat pertamanya dalam Lettres sur l’histoire de France dengan l’Essai sur le genre dramatique sérieux pada jilid pertama dari Oeuvres complètes de Beaumarchais. [Plekhanov]

[25] Oeuvres complètes de Chateaubriand, Paris 1804, t. VII, hal. 58. Kami juga merekomendasikan halaman selanjutnya kepada para pembaca; seorang mungkin berpikir ini ditulis oleh Tn. N. Mikailevsky. [Plekhanov]

[26] Cf. “Considérations sur l’histoire de France”, Supplement to Récits des temps mérovingiens, Paris, 1840, hal. 72.[Plekhanov]

[27] Dalam tinjauannya terhadap Sejarah Revolusi Prancis edisi ketiga karya Mignet, Sainte-Beuve menjelaskan sikap Mignet terhadap orang hebat seperti berikut ini: “Ä la vue des vastes et profondes émotions populaires qu’il avait à décrire, au spectacle de l’impuissance et du néant où tombent les plus sublimes génies, les vertus les plus saintes, alors que less masses se soulèvent, il s’est pris de pitié pour les individus, n’a vu en eux pris isolement que faiblesse et ne leur a reconnu d’action efficace, que dans leur union avec la multitude.” [Ketika menyaksikan pemberontakan rakyat yang luas dan dalam yang harus dia gambarkan, dan ketika menyaksikan keimpotenan dan ketidakberdayaan yang dirasakan oleh para jenius terhebat dan orang-orang suci yang paling saleh saat rakyat bangkit, dia [Mignet] meratapi manusia sebagai individu, dan hanya bisa melihat kelemahan mereka saat mereka terisolasi, dan percaya bahwa individu hanya bisa bertindak secara efektif bila bersamaan dengan massa.] [Plekhanov]

[28] Peperangan Suksesi Austria (1740-1748) adalah perang yang melibatkan hampir semua kerajaan di Eropa kecuali Polandia-Lituania. Perang ini dipercik oleh dalih bahwa Maria Theresa dari Austria tidak diperbolehkan mengambil tampuk kerajaan Habsburg dari ayahnya, Charles VI, karena dia adalah perempuan, walaupun pada kenyataannya ini hanyalah alasan bagi Prusia dan Prancis untuk merebut Austria. Perang ini selesai dengan Austria kehilangan daerah Silesia kepada Prusia. [Ed.]

[29] Louis XV (1710-1774) adalah raja Prancis dari 1715, yakni semenjak berumur lima tahun, hingga tahun 1774. Di bawah kekuasaannya, Prancis mengalami kekalahan pada Perang Tujuh Tahun dan kehilangan koloninya di Amerika Utara. [Ed.]

[30] Pakta Perdamaian Aix-la-Chapelle adalah perdamaian yang diteken pada 18 Oktober 1748 untuk mengakhiri Peperangan Suksesi Austria. [Ed.]

[31] Perang Tujuh Tahun (1756-1763) melibatkan dua kubu: kubu pertama, Prusia, Inggris, dan Portugal; kubu lainnya Prancis, Austria, Rusia, Saxony, dan Swedia. Perang ini dipicu oleh usaha Austria untuk memenangkan kembali wilayah Silesia, dan juga persaingan Anglo-Prancis untuk memperebutkan wilayah jajahan di Kanada dan India. Prancis kalah, dan Inggris memenangkan jajahan Kanada dan India. [Ed.]

[32] Yang lain mengatakan bahwa ini adalah kesalahan Broglie yang tidak menunggu temannya, karena dia tidak ingin berbagi kejayaan kemenangan dengannya. Ini tidak mengubah apapun, karena ini tidak mengubah hasil akhir. [Plekhanov]

[33] Ratu Elizabeth memerintah Rusia dari 1741 sampai 1762. Setelah dia meninggal, Peter III naik takhta menggantikannya sebagai penguasa Rusia. Peter III menghormati Frederick II dan menolak melanjutkan perang melawan Prusia, dan ini memfasilitasi kemenangan Prusia dalam mempertahankan Silesia. [Ed.]

[34] Mirabeau (1749-1791) adalah jurnalis, diplomat, dan politisi Prancis. Selama Revolusi Prancis 1789, dia adalah seorang moderat dan anggota partai monarki konstitusional. Dia meninggal karena menderita penyakit jantung perikarditis. [Ed.]

[35] Maximilien Robespierre (1758-1794) adalah tokoh ternama dalam Revolusi Prancis 1789. Dia mewakili sayap kiri radikal Revolusi Prancis (Jacobin) yang tidak berkompromi dengan kaum aristokrasi. Dia akhirnya dieksekusi oleh reaksi Thermidor. [Ed.]

[36] Napoleon Bonaparte (1769-1821) adalah pemimpin militer dan Kaisar Prancis. Pada 9 November 1799, dia melakukan kudeta terhadap Republik Prancis yang lahir dari Revolusi Prancis 1789 dimana dia mengangkat dirinya sebagai Kaisar Prancis. [Ed.]

One thought on “Peran Individu Dalam Sejarah — Bagian V

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *