Bentrok 16 Maret Abepura Pecah Setelah Negosiasi Membuahkan Hasil

Anggota Polisi berpangkat kecil tewas dijadikan tumbal oleh atasan mereka.@FrontPeperaPB

MASIH Ingatkah anda akan sebuah peristiwa kelabu yang terjadi 16 tahun lalu pada hari Kamis, 16 Maret 2006 di depan Kampus Universitas Cenderawasih Abepura, Papua? Peristiwa berdarah yang populer dengan istilah Bentrok 16 Maret Abepura (B16MA) itu mengakibatkan tewasnya 5 Aparat Keamanan negara ini (4 Angota Polisi dan 1 Anggota Intelud TNI AU), belasan Polisi dan puluhan Mahasiswa Papua cedera, operasi pengejaran terhadap para demonstran oleh Polisi disertai perusakan beberapa Asrama Mahasiswa di Abepura, pembakaran ijazah dan buku-buku teks milik para mahasiswa di Asrama Nayak, dan berbuntut pada peradilan 23 Aktivis Front Persatuan Perjuangan Rakyat Papua Barat (Front Pepera PB) dan Parlemen Jalanan (Parjal) di Pengadilan Negeri Jayapura.

Yang menarik, ternyata peristiwa berdarah tersebut pecah setelah, tidak seperti pemberitaan berbagai media massa lokal dan nasional bahwa negosiasi mentok, terjadi kompromi antara Koordinator Aksi pimpinan Arnold Omba (namanya kemudian masuk DPO versi Polda Papua) dan beberapa petinggi Polisi, diantaranya AKP Yan Pieter Reba (Kasat Intelkam Polresta Jayapura).

Kompromi tersebut adalah buah dari negosiasi yang rumit dan penuh ketegangan, bahwa Massa Aksi akan membuka satu dari dua ruas jalan yang diblokir dan Polisi bersedia membebaskan dua Aktivis Front Pepera PB (salah satunya adalah Selfius Bobii, Sekjen Front Pepera PB) yang sebelumnya ditangkap karena membagi-bagikan copy-an Press Release kepada demonstran.

Massa Aksi pun menyetujui hasil kompromi itu dan dengan tenang menunggu kehadiran dua aktivis Front Pepera PB yang berada dalam tangan Polisi.

Hal menarik lainnya, berdasarkan pengakuan beberapa demonstran, beberapa Intelijen Polisi dan TNI (salah satunya adalah Intelud TNI AU yang tewas dihakimi massa setelah tertangkap basah sebagai provokator) terus memprovokasi massa dan membangkitkan emosi Polisi dengan cara berbaur di tengah-tengah massa dan lebih dulu melempari barikade Polisi dengan batu dan botol.

Tetapi, mengapa petinggi Polisi mengeluarkan perintah pembubaran massa secara paksa dan tidak bermartabat, padahal telah terjadi sebuah kesepakatan bersama yang lebih bermartabat? Mengapa para petinggi Polisi yang bernegosiasi dengan Koordinator Aksi dan mencapai kata sepakat, tidak memberitahukan hasilnya kepada bawahan mereka?

Mengapa bawahan mereka yang hanya berjumlah 300-an orang dipaksa menyerang massa yang jumlahnya sekitar 1000-an orang sehingga bawahan mereka menjadi sasaran empuk amukan massa? Apakah para petinggi Polisi mempunyai agenda terselubung sehingga bawahan mereka dijadikan tumbal untuk mewujudkan agenda tersebut?

Mengapa Polisi tidak menjadikan hasil negosiasi maupun provokasi Intelijen sebagai bahan olah TKP pada hari Kamis, 23 Maret 2006? Mengapa para Aktivis Front Pepera PB dan Parjal yang ditahan harus menjalani berbagai bentuk penyiksaan bebas dan dipaksa mengakui segala sesuatu yang tidak pernah mereka lakukan?

Mengapa pengakuan yang mereka berikan sebagai satu-satunya cara untuk bebas dari penyisaan brutal dalam tahanan Polisi ternyata dijadikan Materi Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang selanjutnya menjadi perangkap bagi mereka di Pengadilan?

Mengapa 1000-an orang (Papua dan Non Papua) terlibat demonstrasi tersebut tetapi hanya 23 dari mereka yang dijatuhi hukuman penjara? Mengapa Intelud TNI AU tewas dihakimi Aktivis Non Papua tetapi Aktivis Papua yang dituduh sebagai pembunuh?

Inilah beberapa hal pokok yang selama 16 tahun setelah B16MA, sekalipun masih mengundang tanda tanya dan jawaban berupa tafsiran yang beragam, telah menjadi buah pembicaraan berbagai kalangan di Papua.

Hal-hal pokok ini juga ternyata menjadi buah bibir beberapa anggota Polisi yang saat itu lolos dari kepungan massa, istri dan keluarga mereka yang tewas maupun para anggota Polisi yang dengan seksama mengikuti tindak-tanduk atasan mereka sejak B16MA sampai saat ini.

Berdasarkan berbagai tafsiran yang diberikan, sebagian besar kalangan menilai bentrok tersebut sebagai skenario petinggi Polisi untuk beberapa kepentingan, diantaranya, pertama, membubarkan Front Pepera PB dan Parjal yang saat itu gencar mengkampanyekan penutupan PT Freeport-Rio Tinto di Tembagapura, sebuah Korporasi Asing (simbol Imperialisme AS) yang kehadirannya terbukti membawa petaka bagi Rakyat Papua.

Kedua, mematikan perlawanan Rakyat Papua terhadap kejahatan Imperialisme AS di Papua secara khusus maupun Indonesia pada umumnya dan menciptakan efek jera bagi Aktivis Papua dengan hukuman yang berat.

Ketiga, menciptakan stigma negatif terhadap Rakyat Papua sekaligus mematikan perlawanan mereka terhadap Imperialisme AS dan Rezim Indonesia sebagai kaki tangan AS. Keempat, memperoleh kenaikan pangkat dan job-job strategis sebagai hadiah pembubaran Front Pepera PB dan Parjal dan lebih dari itu, memperoleh proyek pengamanan operasional PT Freeport-Rio Tinto.

Keempat penilaian diatas bisa dibenarkan berdasarkan fakta bahwa, pertama, Aktivitas Front Pepera PB dan Parjal di Papua saat ini boleh dikatakan telah lumpuh total karena sebagian besar Aktivisnya menjadi sasaran pengejaran Polisi : 5 orang masuk DPO (Hans Gebze, Arnold Omba, Jefry Pagawak, Henny Lani dan Maman Sudarman – Maman Sudarman adalah Aktivis Parjal asal Bugis, Sulawesi Selatan).

Aktivitas perlawanan terhadap PT Freeport-Rio Tinto juga menjadi lumpuh karena pengejaran Polisi pasca B16MA terbukti menghasilkan trauma yang cukup mendalam di kalangan Rakyat Papua, terutama mereka yang berdomisili di Jayapura dan sekitarnya. Trauma juga disebabkan oleh beratnya penyiksaan terhadap 75 tahanan yang menjalani berbagai bentuk penyiksaan bebas di tahanan Polsekta Abepura, Brimob Papua Kotaraja, Polresta Jayapura dan Polda Papua maupun vonis Pengadilan yang dijatuhkan terhadap 23 terdakwa (diantaranya Sekjen Front Pepera PB Selpius Bobii).

Kedua, sejak B16MA, muncul stigma negatif terhadap Rakyat Papua. Publik di Indonesia, karena tertipu dengan pemberitaan media massa, akhirnya menganggap Rakyat Papua sebagai manusia bermental biadab, kanibal dan tidak mampu menyelesaikan persolan melalui negosiasi damai. Stereotipe ini sempat berkembang dalam diskusi di Mailling List pasca B16MA.

Padahal, fakta sesungguhnya di lapangan membuktikan bahwa negosiasi telah membuahkan hasil dan, dengan demikian, pembubaran massa secara paksa tidak perlu dilakukan.

Fakta lainnya menunjukkan bahwa warga Papua dan Non Papua sama-sama terlibat dalam aksi itu, dan beberapa saksi mata menyebutkan, Intelud TNI AU dihakimi oleh massa Non Papua setelah sebelumnya dikejar oleh massa Papua. Disini kita jumpai sebuah stereotipe yang bertujuan untuk, pertama, menyematkan stigma biadab, kanibal dan suka main otot kepada rakyat Papua, kedua, mengelompokkan kaum tertindas berdasarkan Ras sehingga melemahkan perlawanan mereka terhadap musuh bersama : Imperialisme AS dan berbagai bentuk ketidakadilan lainnya.

Ketiga, Para petinggi Polisi yang terlibat dalam pembubaran massa maupun operasi pengejaran demonstran pasca B16MA saat itu sebagian besar memperoleh kenaikkan pangkat dan berhasil menempati beberapa job strategis sebagai bagian dari tahapan pengembangan karier mereka dalam Kepolisian.

Sebut saja Jabatan Kapolsekta Abepura, Kapolresta Jayapura, Kepala Sekolah Kepolisian Negara (SPN) Jayapura maupun beberapa posisi penting di jajaran Polda Papua.

Melalui posisi tersebut para petinggi Polisi yang mengelola B16MA bisa meniti karir hingga melejit dengan pesat.Bahkan, salah satu Perwira Menengah di jajaran Polda Papua yang dikenal publik sebagi sosok yang rajin muncul di media massa dan paling ‘bernafsu’ dalam mengejar para demonstran saat itu mendapat promosi untuk menjabat Kapolda Papua. Bukti Keempat adalah jatuhnya proyek pengamanan operasional PT Freeport-Rio Tinto ke tangan Polisi. Kalau sebelumnya pengamanan terhadap salah satu mata rantai Imperialisme AS itu menjadi tanggungjawab Tentara Nasional Indonesia, maka setelah B16MA, tugas tersebut beralih ke pihak Kepolisian. Dengan lain perkataan, B16MA, tanpa disadari, telah melahirkan proyek pengamanan tersebut.

Operasi pengamanan itu dikenal dengan Operasi Amole I 2006 oleh Brimob Kelapa 2 Jakarta (Satgas Amole I berjumlah 600 personel). Setelah mengamankan kepentingan AS tersebut selama 6 bulan, Operasi Amole I digantikan dengan Operasi Amole II tanggal 26 Desember 2006 oleh Polda Papua dan Kodam XVII/Trikora (Satgas Amole II terdiri dari 362 personil Brimob; 174 Polisi umum dan 200 pasukan TNI).

Berdasarkan keempat bukti diatas, terlihat dengan jelas bahwa Para Petinggi Kepolisian Republik Indonesia, terutama di jajaran Polda Papua lebih berpihak pada kepentingan Asing, terutama Imperialisme AS, ketimbang pada kepentingan Rakyat dan bawahan mereka. Rakyat dan bawahan mereka dengan mudah dijadikan tumbal untuk berbagai agenda terselubung yang, dalam kasus B16MA, telah diulas diatas.

Kalau begitu, predikat pengayom, pelayan dan pelindung masyarakat yang selama ini disandang Polisi patut dipertanyakan karena fakta di lapangan, terutama di Papua, membuktikan ketidakberpihakan mereka terhadap Rakyat dan bawahan mereka. Kasus B16MA adalah salah satu bukti nyata bahwa Polisi adalah pengayom, pelayan dan pelindung Imperialisme AS, secara khusus PT Freeport-Rio Tinto yang sedang bercokol di Tembagapura, Bumi Amungsa, Papua.■

2 Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *