Westpapuanews.Org

Berita tangan pertama dari Tanah Papua

Lawan OligarkiOligarki Lingkungan

Catatan WGII : Penyempurnaan RUU Konservasi SDA Hayati dan Ekosistemnya

Kampung Yare, Distrik Fofi, Boven Digoel, Papua Selatan / DRONE VIEW PUSAKA

JAKARTA, Westpapuanews.Org
Working Group ICCAs Indonesia [WGII] bersama Walhi menyelenggarakan Konferensi Pers di Jakarta pada Senin [13/2], untuk menyampaikan pandangan koalisi masyarakat sipil dan masyarakat adat terhadap legislasi Rancangan Undang-Undang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya [RUU KSDAHE].

Hadir pada konferensi pers itu antara lain
Cindy Julianty [Program Manager WGII],
Kasmita Widodo [Koordinator WGII], Yance Arizona, PhD [Akademisi Universitas Gajah Mada/UGM], Monica Ndoen [Staf Khusus Sekjend AMAN], Putu Ardana dari [Komunitas Adat Dalem Tamblingan], Nadya Demadevina [Reseach Coordinator HuMa] dan Ode Rakhman [Deputi Eksternal Walhi].

Dikutip dari Pusaka.or.id, Koordinator WGII Kasmita Widodo mengatakan, insiatif dari proses legislasi RUU sudah berjalan sejak tahun 2016, namun sempat dicabut dari Prolegnas, dan tahun 2022 dimasukkan kembali ke program legislasi nasional.

“Saat ini RUU ini sudah masuk pada tahapan Pembicaraan Tingkat I. Sudah dibentuk Panitia Kerja RUU, dan pemerintah juga sudah sampaikan DIM yang didalam pokoknya masih ‘kekeuh’ dengan penyelenggaraan konservasi versi UU No.5 Tahun 1990, yang di dalamnya mengisyaratkan paradigma konservasi menjadi lebih state-centered,” jelas Kasmita.

Catatan Penting tentang RUU KSDAHE

Pada konferensi pers itu Yance Arizona, PhD dari UGM menjelaskan, ada perubahan positif dalam substansi RUU KSDAHE usulan DPR RI. Namun dalam substansinya belum bisa sepenuhnya mengilustrasikan meaningfull participation baik didalam proses penyusunan maupun penyelenggaraan konservasi.

“Padahal RUU ini sangat penting untuk menggeser model konservasi lama dan mendorong konservasi yang lebih inklusif dan berbasis HAM,” jelas Yance.

Masyarakat Adat dan Lokal memiliki peranan yang sangat penting dalam pengelolaan kawasan konservasi di Indonesia. Berdasarkan data Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), ada sekitar 1,6 juta ha wilyah adat yang tumpang tindih dengan wilayah konservasi, laporan Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) menunjukan adanya tumpang tindih peta partisipatif seluas 4,5 juta ha diwilayah Konservasi.

Berdasarkan data HuMawin, dari 86 konflik kehutanan, sebanyak 27 konflik berada di Taman Nasional, dimana 13 kasus diantaranya merupakan kasus kriminalisasi dan kekerasan.

Staf Khusus Sekjend AMAN, Monica Ndoen mengatakan, masyarakat adat mengalami historis konflik yang panjang dengan kawasan konservasi, dan rentan mengalami kriminalisasi dalam praktik penyelenggaraan konservasi di Indonesia. RUU justru dapat menjadi solusi untuk mengurai konflik antara masyarakat adat dengan kawasan konservasi.

“Namun dengan semakin menguatnya pengakuan bersyarat bagi masyarakat adat, dan bukan menyederhanakan.

RUU ini bisa jadi menjadi batu hambatan baru dalam perjuangan pengakuan hak masyarakat adat di wilayah konservasi,” kata Monica.

Pengalaman demikian dirasakan sangat nyata. Putu Ardana dari Komunitas Adat Dalem Tamblingan menyampaikan pengalamannya menghadapi kerumitan dalam memperoleh pengakuan bagi hutan Adat Alas Mertajati.

“Kami sudah menjaga hutan, jauh sebelum wilayah kami ditetapkan sebagai Taman Wisata Alam. Penunjukan hutan kami sebagai Taman Wisata Alam jauh dari konsep konservasi yang kami yakini.

Sebab selama ini kami memperlakukan Alas Mertajati sebagai areal yang disucikan, belum lagi pengakuan melalui kebijakan daerah juga menemui jalan buntu. Pertanyaan mendasar kami, apakah negara sudah mempelajari konsep konservasi yang dilakukan masyarakat adat, dan menjadikannya rujukan? Menurut saya konsep konservasi masyarakat adat jauh lebih holistik dan canggih,” jelas Putu Ardana.

Nadya Demadevina, Reseach Coordinator HuMa menyampaikan dugaannya bahwa aspek formil dan materil RUU KSDAHE masih sarat dengan ego rumpun disiplin ilmu tertentu.

“RUU KSDAHE ini jelas jelas tidak melakukan pendekatan law making yang inter-disipliner sehingga, secara subtansi tidak merasa perlu untuk meng-adress persoalan sosial dan konflik misalnya,” katanya.

Menegaskan apa yang disampaikan Nadya, Ode Rakhman, Deputi Eksternal Walhi menambahkan, Rezim konservasi 90-an sudah harus ditinggalkan karena tidak sesuai lagi dengan kondisi saat ini. Penduduk Indonesia telah bertambah hampir 100 juta sejak tahun 1990 lalu dan penting untuk menyesuaikan paradigma konservasi yang menghormati dan mengakui hak asasi manusia dan menjawab tantangan krisis iklim hari ini.

Menurut Ode, masyarakat adat dan komunitas lokal tidak bisa lepas dari sumber-sumber penghidupannya dan secara sadar, mereka telah mempraktikkan ‘konservasi’ versi mereka dan harus diakui bahwa merekalah pelaku utama konservasi tersebut.

“Dokumentasi praktik konservasi a la masyarakat adat juga sudah banyak dilakukan. Misalnya oleh WGII, dan sekarang sudah mencapai angkat 460.000ha, dengan indikasi 4,5 juta hektar”, ungkap Ode Rakhman.

Dalam konteks Global, hasil kesepakatan Conference of the Parties (COP) ke -15 on Convention of Biological Biodiversity (CBD) mulai menunjukan harapan baru dalam penguatan praktik konservasi yang inklusif dan berbasis HAM.

Pertemuan anggota CBD ke 15 menghasilkan target- target yang sudah sangat baik dapat mengakomodir hak-hak masyarakat adat dan komunitas lokal termasuk didalamnya perempuan dan pemuda dalam penyelenggaraan konservasi diantaranya target 1,3,9,19 dan 23. Sebagai negara anggota CBD, pemerintah indonesia perlu merefleksikan intensi dan komitmen yang sama dalam kesepakatan internasional tersebut kedalam peraturan perundang-undangan dilevel nasional termasuk RUU KSDAHE.

Tuntutan dan Ajakan Koalisi Masyarakat Sipil

“Koalisi masyarakat sipil melalui WGII menuntut dan mengajak pemerintah dan perumus undang- undang untuk dapat memperbaiki aspek Formil dan Materil dari RUU KSDAHE yang secara komprehensif dituangkan didalam naskah Policy Brief Tujuh Catatan Penyempurnaan RUU KSDAHE Untuk Penguatan Peran dan Partisipasi Masyarakat dalam Penyelenggaraan Konservasi,” Cindy Julianty, program manager WGII menyampaikan konklusi. [W]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *