Westpapuanews.Org

Berita tangan pertama dari Tanah Papua

Lawan OligarkiOligarki Tanah

Keadilan Bumi dan Masyarakat Adat

Dialog Kebudayaan pada acara Masyarakat Adat Papua bercerita tentang tanah, hutan dan kehidupan, diselenggarakan oleh Pusaka di Salihara Art Gallery, Jakarta [20/09/2023] / PUSAKA

JAKARTA, Westpapuanews.Org
Peristiwa Rempang, Batam, yang penuh kekerasan dan berdarah-darah, kembali mempertontonkan pengabaian dan kelalaian negara untuk melindungi hak masyarakat, sebaliknya negara cenderung membela kepentingan pembangunan kawasan industri Rempang Eco City, yang diduga dikendalikan dan dimiliki pemodal besar dari dalam dan luar negeri. Masyarakat adat di Pulau Rempang membela hak-haknya dan menolak proyek investasi yang akan menggunakan tanah adat mereka, karena merampas dan menghilangkan mata pencaharian, dan sebagainya.

Pejabat Menteri Investasi dan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Asing [BKPM] Bahlil Lahadalia mengatakan proyek Rempang sudah mempunyai kajian Amdal [Analisis Mengenai Dampak Lingkungan]. Bahlil menyinggung adanya pihak di luar negeri yang terlibat di balik konflik Rempang. “Setiap Kepri mau maju, ada investasi besar, selalu ada menghalangi,” kata Bahlil.

Kita sering mendengarkan dan membaca pernyataan pejabat negara dan korporasi, maupun kajian-kajian yang mengabaikan dan mendiskreditkan sikap dan suara kritis masyarakat adat, keberadaan dan hak-hak mereka, pengetahuan dan cara hidup, dengan sebutan miring seperti penghalang, penghambat pembangunan, penghambat kemajuan, dan sebagainya.

Beberapa waktu lalu, Suku Afsya di Distrik Konda, Sorong Selatan, Provinsi Papua Barat Daya, menolak perusahaan perkebunan kelapa sawit berskala luas beroperasi di wilayah adat mereka. Alasannya, tanah dan hutan yang mereka miliki sangat terbatas, hanya cukup untuk menghidupkan generasi mereka pada masa mendatang. Selain itu, mereka khawatir kehilangan identitas sosial budaya, hutan larangan dan keramat, dusun pangan tempat mata pencaharian dan sumber makanan, dan sebagainya.

Pengetahuan dan cara hidup masyarakat adat, hukum dan kebiasaan pengelolaan dan perlindungan  hutan dan tanah, larangan dan pemali adat tertentu, sering diberikan cap ‘udik’ terbelakang, lalu masyarakat adat dipindahkan paksa, hutan sumber hidup masyarakat digusur dan tradisi adat dilarang dengan berbagai alasan sosial ekonomi, politik dan hukum, yang melibatkan  negara, institusi sosial keagamaan dan pihak luar komunitas. Padahal kebiasaan pengetahuan dan sistem sosial yang dijalankan masyarakat adat berhubungan dengan bagaimana menjaga dan menjalankan sistem nilai, norma dan budaya, corak ekonomi, yang diwariskan sejak lama, merupakan keyakinan dan kebanggaan. Berbeda dengan pandangan pengambil kebijakan, teknokratis, oligarki dan penguasa modal, tanah dan hutan adat sebagai komoditi untuk akumulasi keuntungan kapital dan memajukan peradaban sosial.

Kini situasi runyam dengan adanya ketidakadilan meluas, penundukan  dan eksploitasi hak-hak masyarakat terus berulang terjadi dalam berbagai bentuk, krisis ekologi dan kejadian darurat iklim yang berdampak serius terhadap keberlanjutan hidup manusia dan lingkungan di bumi. Dalam situasi tersebut, justeru pengetahuan adat dipromosikan sebagai solusi pengurangan resiko bencana iklim. Panel antar pemerintah tentang perubahan iklim [Intergovermental Panel on Climate Change, IPCC], yang meneliti adaptasi dan mitigasi perubahan iklim, dalam Laporan Penilaian Keempat [2007] menerima sistem pengetahuan masyarakat adat diakui sebagai komponen penting dalam strategi mitigasi bencana dan pengurangan risiko di abad kedua puluh satu.

Yulia Sugandi Phd, antropolog dan peneliti, dalam Dialog Kebudayaan acara masyarakat adat Papua bercerita tentang tanah, hutan dan kehidupan, yang diselenggarakan Pusaka di Salihara Art Gallery, Jakarta [20/09/2023], menjelaskan dan mengajak kepada publik dan pengambil kebijakan untuk merubah tatanan pola berpikir melihat masyarakat adat, bukan sebagai penghambat kemajuan, masyarakat adat bukan penghambat pembangunan, tetapi melihat dari sisi yang sebaliknya, melihat potensinya.

Selanjutnya, Yulia Sugandi Phd, antropolog dan peneliti, penulis buku Analisis Konflik dan Rekomendasi Kebijakan Mengenai Papua [2008] ; The Notion of Collective Dignity Among Hubula in Palim Valley, Papua [2014], menguraikan laporan dari IPES [International Panel of Experts for Sustainable] – Food System, suatu platform antara pemeritah yang independent dan isinya memuat ilmuwan independent yang melihat kesehatan bumi, bahwa kejadian krisis ekologis yang akut, akar masalahnya karena tidak adanya sustainability alliant value, tidak adanya nilai-nilai yang seimbang.

“Ketidakseimbangan nilai yang dipunyai masyarakat adat, dengan inilai-nilai yang dibawa, yang diusung pembangunan, sama sekali tidak sejalan, tidak seimbang, ini akar krisis ekologis se dunia,” jelas Yulia.

Masalah hutan Papua bukan masalah Papua saja, melainkan masalah masyarakat dunia dan keadilan bagi semua. Sekarang bukan keadilan sosial dan keadilan lingkungan saja, istilahnya planetary justice, keadilan bumi, dan itu sudah dipakai semua orang. Yulia memaparkan bahwa keadilan bumi, ada tiga unsur keadilan, yakni pertama, Keadilan Lintas Batas, melampaui batas administrasi; kedua, Keadilan Lintas Generasi, menyangkut bagaimana masa depan anak-anak, bukan berbicara masalah apa yang ingin kita dapatkan dalam hidup kita sekarang. Mengenai keadilan generasi, semua masyarakat adat mempunyai pengetahuan ini, keadilan tujuh generasi, bukan satu atau dua generasi. Masalah hutan bukan hanya generasi kita saja, tetapi juga generasi sesudah kita meninggal. Ketiga, Keadilan untuk Non Manusia, karena masyarakat adat kalau kita katakan pembangunan memakai SDG [Sustainable Development Goals], keberlanjutan, padahal yang lebih tinggi dari pada sustainability, keberlanjutan itu adalah budaya regenerative.

“Budaya regenerative adalah radikal empati, empati yang sangat radikal, bahwa yang kita rasakan manusia, itu keadilan non manusia, pohon sakit kita sakit, kalau keadilan restoratif, restorative justice, misalnya restorasi gambut, itu mengenai apa yang bisa kita perbaiki, itu masih terpisah dari alam, tetapi masyarakat adat berbicara masalah budaya regenaratif, radikal empaty, bukan hanya melihat saya bisa menggunakan apa saja lingkungannya, tetapi saya adalah bagian yang tidak dapat terpisahkan, jadi relasinya lain, kita bicara relasi identitas bukan relasi properti,” jelas Yulia.

Masyarakat adat adalah potensi, bukan penghalang, maka dalam konteks global apa yang disebut etnoekologi dan etnobotani telah dipraktikkan masyarakat adat, seperti larangan pemanfaatan dan penebangan tanaman pohon. Yulia mencontohkan pola hidup dan pengetahuan masyarakat adat di Lembah Baliem, Papua, ada Silo, ada Pawi, Pilibit Ekama, merupakan sistem pengetahuan, larangan dan pemetaan secara ekologis, yang dinamakan dengan ecological intelegen merupakan potensi sangat besar mengatasi krisis ekologis.

Berbeda dengan budaya regenerative, kebijakan pembangunan dijalankan dengan logika yang linear, ekstraktif, eksploitasi, yang memanfaatkan sumber daya hanya untuk kepentingan sendiri, berbeda dengan masyarakat adat pemanfaatan sumber daya alam melakukan praktik resiprositas, hubungan timbal balik, bukan hanya apa yang bisa di dapatkan tetapi apa yang bisa saya berikan, semua ada seimbang.

“Kalau kita bicara mengenai sustainability, bicara masalah keseimbangan hidup kita semua, bukan keseimbangan hidup pribadi lagi, saya mengajak untuk melihat kembali bahwa kita melihat ini [kehidupan masyarakat adat] sebagai potensi yang tersia-siakan, mari kita belajar dan hasil belajar ini yang disebut refleksi ekologi, belajar keadilan bumi,” ungkap Yulia.

Sumber asli : PUSAKA

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *