Westpapuanews.Org

Berita tangan pertama dari Tanah Papua

BACAAN PROGRESIF

Revolusi Sosialis dan Hak Sebuah Bangsa untuk Menentukan Nasib Sendiri — Bagian 2

VLADIMIR LENIN

5. Marxisme dan Proudhonisme Mengenai Persoalan Kebangsaan

Berkebalikan dengan kaum demokrat borjuis-kecil, Marx menganggap semua tuntutan demokratik, tanpa terkecuali, bukanlah sebagai sebuah hal yang aboslut, namun merupakan ekspresi sejarah dari perjuangan massa rakyat, yang dipimpin oleh kaum borjuasi, dalam melawan feodalisme. Tidak ada satu tuntutan demokratik pun yang tidak dapat menjadi, atau belum menjadi, di bawah kondisi-kondisi tertentu, sebuah instrumen kaum borjuasi untuk menipu kaum buruh. Untuk hanya memilih satu tuntutan demokrasi politik, yaitu, hak sebuah bangsa untuk menentukan nasib sendiri, dan mempertentangkannya dengan tuntutan-tuntutan demokrasi politik lainnya, adalah secara fundamental keliru dalam teori. Dalam praktek, kaum proletariat akan mampu mempertahankan kemandiriannya hanya jika dia mensubordinasikan perjuangannya untuk semua tuntutan demokratik, termasuk juga tuntutan untuk sebuah republik, kepada perjuangan revolusionernya untuk menggulingkan borjuasi.

Di sisi yang lain, berkebalikan dari kelompok Proudhon, yang “menolak” persoalan kebangsaan “atas nama revolusi sosial”, Marx, yang memikirkan terutama kepentingan perjuangan klas buruh di negeri-negeri maju, memajukan prinsip pokok internasionalisme dan sosialisme, yakni bahwa tidak ada bangsa yang dapat bebas jika ia menindas bangsa lain. Justru dari sudut pandang kepentingan gerakan revolusioner dari kaum buruh Jerman Marx pada tahun 1898 menuntut supaya demokrasi yang menang-jaya di Jerman harus memproklamirkan dan memberikan kemerdekaan kepada bangsa-bangsa yang ditindas oleh Jerman. Justru dari sudut pandang perjuangan revolusioner kaum buruh Inggris Marx pada tahun 1869 menuntut pemisahan Irlandia dari Inggris, dan menambahkan: “…meskipun setelah pemisahan mungkin akan muncul federasi.” Hanya dengan memajukan tuntutan tersebut maka Marx benar-benar mendidik kaum buruh Inggris dalam semangat internasionalisme. Hanya dengan cara itu dia mampu mempertentangkan solusi revolusioner dari sebuah masalah historis tertentu dengan kaum oportunis dan reformisme borjuis, yang bahkan hingga sekarang, setengah abad kemudian, telah gagal untuk mencapai “reforma” Irlandia. Hanya dengan cara ini Marx dapat – tidak seperti para apologis kapital yang berteriak-teriak mengenai hak bangsa-bangsa kecil untuk memisahkan diri sebagai sesuatu yang utopis dan mustahil, dan mengenai sifat progresif dari konsentrasi ekonomi dan juga politik – mendorong sifat progresif dari konsentrasi tersebut dengan cara yang non-imperialis, untuk mendorong persatuan dari bangsa-bangsa, bukan dengan pemaksaan, namun atas dasar persatuan bebas kaum proletariat dari semua negeri. Hanya dengan cara ini Marx mampu, juga dalam hal solusi untuk persoalan kebangsaan, mempertentangkan aksi revolusioner massa dengan pengakuan verbal dan yang seringkali munafik atas kesetaraan dan hak sebuah bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri. Perang Imperialis tahun 1914-16 dan kandang Augean[4]  kemunafikan dari kaum oportunis dan para Kautskyian yang dibongkarnya telah menegaskan kebenaran kebijakan Marx, yang harus menjadi model untuk semua negeri-negeri maju; karena mereka semua saat ini menindas bangsa-bangsa lain.

6. Tiga Tipe Negeri Dalam Hubungannya dengan Hak Sebuah Bangsa Untuk Menentukan Nasib Sendiri

Dalam hal ini, negeri-negeri harus dibagi menjadi tiga tipe utama:

Pertama, negeri-negeri kapitalis maju Eropa Barat dan Amerika Serikat. Di negeri-negeri ini gerakan borjuis nasional yang progresif telah berakhir lama sekali. Setiap bangsa “besar” tersebut menindas bangsa lain di dalam negeri-negeri jajahan dan di dalam negeri mereka sendiri. Tugas proletariat di negeri-negeri berkuasa tersebut adalah sama dengan proletariat di Inggris pada abad kesembilan belas dalam hubungannya dengan Irlandia.

Kedua, Eropa Timur: Austria, Balkan dan terutama Rusia. Di sini adalah abad keduapuluh yang secara khusus mengembangkan gerakan nasional borjuis-demokratik dan mengintensifkan perjuangan nasional. Tugas proletariat di negeri-negeri tersebut – berkaitan dengan pemenuhan reformasi borjuis-demokratik mereka, juga berkaitan dengan membantu revolusi sosialis di negeri-negeri lainnya – tidak dapat tercapai kecuali kalau mereka mendukung hak sebuah bangsa untuk menentukan nasib sendiri. Berkaitan dengan hal tersebut tugas paling sulit namun paling penting adalah untuk menggabungkan perjuangan klas dari kaum buruh bangsa-bangsa yang menindas dengan perjuangan klas dari kaum buruh bangsa-bangsa yang tertindas.

Ketiga, negeri-negeri semi-kolonial seperti Cina, Persia, Turki dan semua negeri-negeri jajahan, yang total populasinya berjumlah hingga satu miliar. Di negeri-negeri tersebut, gerakan borjuis-demokratik entah baru saja mulai atau jauh sekali dari selesai. Kaum sosialis bukan saja harus menuntut kemerdekaan tanpa syarat dan segera untuk negeri-negeri jajahan tanpa kompensasi – dan tuntutan ini dalam ekspresi politiknya berarti, tidak kurang dan tidak lebih, pengakuan atas hak penentuan nasib sendiri – tetapi juga harus memberikan dukungan tegas kepada elemen-elemen yang lebih revolusioner dalam gerakan borjuis-demokratik untuk pembebasan nasional di negeri-negeri tersebut dan membantu pemberontakan mereka – jika perlu, perang revolusioner mereka – melawan kekuatan-kekuatan imperialis yang menindas mereka.

7. Sosial-Sovinisme dan Hak Sebuah Bangsa Untuk Menentukan Nasib Sendiri

Epos Imperialis dan perang tahun 1914-1916 [Perang Dunia Pertama] terutama sekali telah membawa ke depan tugas melawan sovinisme dan nasionalisme di negeri-negeri maju. Mengenai masalah hak sebuah bangsa untuk menentukan nasib sendiri, ada dua macam pendapat di antara kaum sosial-sovinis, yaitu kaum oportunis dan kaum Kautskyian, yang memberikan hiasan pada perang imperialis yang reaksioner ini dengan menyatakannya sebagai perang untuk “membela tanah air”.

Di satu sisi, ada para pelayan borjuasi yang membela aneksasi dengan alasan bahwa konsentrasi politik dan imperialisme adalah sesuatu yang progresif dan yang menolak hak penentuan nasib sendiri dengan alasan bahwa hal itu adalah utopis, ilusi, borjuis kecil, dsb. Di antara mereka adalah Cunow[5], Parvus[6]  dan  para oportunis ekstrim di Jerman, sebagian dari kaum Fabian[7]  dan para pemimpin serikat buruh di Inggris, dan kaum oportunis, Semkovsky, Liebman, Yurkevich, dan yang lainnya di Rusia.

Di sisi yang lain, ada kaum Kautskyian, termasuk Vandervelde[8], Renaudel[9] dan banyak kaum pasifis di Inggris, Perancis, dsb. Mereka mendukung persatuan dengan orang-orang yang disebut sebelumnya, dan dalam praktek tingkah laku mereka adalah sama, dimana mereka mendukung hak penentuan nasib sendiri dengan cara yang sepenuhnya verbal dan munafik. Mereka menganggap tuntutan untuk kebebasan pemisahan politik sebagai sesuatu yang “berlebihan” [“zu viel verlangt” – Kautsky dalam Neue Zeit, 21 Mei 1915]; mereka tidak mendukung perlunya taktik-taktik revolusioner, terutama sekali untuk kaum Sosialis di negeri-negeri yang menindas, tetapi, sebaliknya, mereka mengabaikan kewajiban revolusioner mereka, mereka membenarkan oportunisme mereka, mereka mempermudah penipuan terhadap rakyat, mereka justru menghindari masalah perbatasan sebuah negeri yang dengan paksa mengekang bangsa-bangsa jajahan, dsb.

Kedua kelompok ini adalah kaum oportunis yang melacurkan Marxisme dan telah kehilangan semua kapasitas untuk memahami makna teoritis dan urgensi praktis dari taktik-taktik Marx, dimana dia telah memberikan sebuah contoh terkait dengan Irlandia.

Masalah aneksasi telah menjadi sebuah masalah yang terutama mendesak karena perang. Namun apa itu aneksasi! Jelas, untuk melakukan protes terhadap aneksasi menyiratkan entah pengakuan atas hak sebuah bangsa untuk menentukan nasib sendiri, atau bahwa protes tersebut berdasarkan frase pasifis yang membela status quo dan menentang semua kekerasan termasuk kekerasan revolusioner. Frase semacam ini sangatlah keliru, dan tidak sesuai dengan Marxisme.

8. Tugas-tugas Kongkrit Proletariat ke Depan

Revolusi sosialis dapat saja mulai dalam waktu yang sangat dekat. Pada momen tersebut kaum proletariat akan dihadapkan dengan tugas mendesak untuk merebut kekuasaan, mengambil alih bank-bank dan melakukan langkah-langkah diktaktorial lainnya. Dalam situasi semacam itu, kaum borjuasi, dan terutama sekali para intelektual seperti kaum Fabian dan kaum Kautskyian, akan berusaha untuk menghambat dan mengganggu revolusi, untuk membatasinya pada tujuan-tujuan demokratik yang sempit. Sementara semua tuntutan yang murni demokratik dapat saja – pada saat proletariat telah mulai menyerbu benteng-benteng kekuasaan borjuasi – dalam makna tertentu menjadi hambatan bagi revolusi, meskipun demikian, keharusan untuk mewartakan dan memberikan kebebasan kepada semua bangsa-bangsa tertindas [yaitu hak mereka untuk menentukan nasib sendiri] akan sama mendesaknya dalam revolusi sosialis seperti juga mendesak bagi kemenangan revolusi borjuis-demokratik, contohnya di Jerman 1848 atau di Rusia pada 1905.

Namun, lima tahun, sepuluh tahun atau bahkan lebih lama lagi bisa belalu sebelum revolusi sosialis dimulai. Dalam hal itu, tugas kita adalah untuk mendidik massa dalam semangat revolusioner agar membuat mustahil bagi kaum sovinis dan oportunis Sosialis untuk berada dalam partai buruh dan mencapai kemenangan serupa seperti tahun 1914-1916. Menjadi tugas kaum Sosialis untuk menjelaskan kepada massa bahwa kaum Sosialis Inggris yang gagal menuntut kebebasan untuk memisahkan diri bagi negeri-negeri jajahan dan bagi Irlandia; bahwa kaum Sosialis Jerman yang gagal menuntut kebebasan untuk memisahkan diri bagi negeri-negeri jajahan, bagi rakyat Alsatian[10], bagi Denmark dan bagi Polandia, dan yang gagal untuk menjalankan propaganda revolusioner langsung serta aksi massa revolusioner ke dalam medan perjuangan melawan penindasan nasional, yang gagal untuk menggunakan kasus-kasus seperti insiden Zabern untuk melancarkan propaganda bawah tanah yang luas di antara kaum proletariat dari bangsa yang menindas, untuk mengorganisir demonstrasi jalanan dan aksi massa revolusioner; bahwa kaum Sosialis Rusia yang gagal untuk menuntut kebebasan untuk memisahkan diri bagi Finlandia, Polandia, Ukraina, dsb, dsb – bertingkah laku seperti kaum sovinis, seperti antek-antek dari kaum borjuasi imperialis dan monarki imperialis yang berlumuran darah dan lumpur. — Bersambung ke Bagian 3

_________________________

[4] Kandang Augean merujuk pada mitos Herkules, dimana Herkules ditugasi untuk membersihkan Kandang Augean yang penuh dengan kotoran ternak, yang selama 30 tahun tidak pernah dibersihkan.

[5] Heinrich Cunow (1862-1936) adalah seorang politisi dari Partai Sosial Demokrat Jerman dn editor koran teori Partai Sosial Demokrat Jerman, Die Neue Zeit, dari 1917 hingga 1923. Dia mendukung Perang Dunia Pertama dan pecah dari Marxisme.

[6] Alexander Parvus (1867-1924) adalah politisi Partai Sosial Demokrat Jerman, yang juga aktif dalam gerakan revolusioner Rusia. Pada Revolusi 1905, dia terlibat dan ditangkap oleh polisi Rusia bersama dengan Trotsky dan kaum revolusioner Rusia lainnya. Sebagai bagian dari sosial demokrasi Jerman, dia mendukung Perang Dunia Pertama.

[7] Fabian Society adalah sebuah gerakan sosialis intelektual di Inggris yang tujuannya adalah mendorong prinsip sosial demokrasi melalui cara-cara reformis dan bukan cara-cara revolusi. Kelompok ini dibentuk pada tahun 1884. Sekarang kelompok ini adalah “think tank” untuk gerakan New Labournya Tony Blair, sebuah gerakan sayap kanan di Partai Buruh Inggris.

[8] Emile Vandervelde (1866-1938) adalah seorang politisi dari Belgia dan presiden Partai Buruh Belgia dari 1928-1938. Dia juga mengetuai Internasional Kedua dari 1900-1918, dimana dia mendukung Perang Dunia Pertama.

[9] Pierre Renaudel (1871-1935) adalah politisi sosialis dari Prancis, dan menjadi pemimpin nasional dari SFIO, yakni seksi Prancis dari Internasional Kedua, yang hari ini adalah Partai Sosialis Prancis. Dia adalah seorang reformis yang mendukung Perang Dunia Pertama.

[10] Rakyat Alsatian adalah dari daerah Alsace, yakni wilayah Prancis yang berbatasan dengan Jerman. Dari 1871-1918 daerah ini ada di bawah jajahan Jerman.

One thought on “Revolusi Sosialis dan Hak Sebuah Bangsa untuk Menentukan Nasib Sendiri — Bagian 2

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *