Westpapuanews.Org

Berita tangan pertama dari Tanah Papua

BACAAN PROGRESIF

Membangun Kekuatan Rakyat – Bagian 1

SAMORA MACHEL

I. Kekuasaan Kaum Penghisap adalah untuk Menindas Rakyat. Kekuasaan Kita adalah Kekuasaan Rakyat.

Berbagai macam hubungan sosial antar manusia tercipta dalam sejarah perkembangan masyarakat.

Pada masa awal perkembangan umat manusia, ketika terjadi peralihan dari kera menjadi manusia, makhluk pra manusia hidup dalam kelompok-kelompok yang berpindah-pindah yang dikuasai oleh perjuangan untuk bertahan hidup. Seluruh hasil dari semua usaha langsung dikonsumsi dan sering tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar. Mahluk pra-manusia ini memakan akar-akar tumbuhan, buah-buahan liar dan hewan yang mati.

Nenek moyang umat manusia hidup dalam kondisi seperti ini selama ribuan tahun. Pada suatu waktu tertentu mereka mulai menggunakan tulang atau galah untuk menggali akar-akar tumbuhan dan memburu hewan. Mereka mulai menggunakan alat-alat untuk menghasilkan makanan, maka produksi, walaupun masih sangat primitif mulai terjadi dan kera pun berubah menjadi manusia.

Produksi-lah yang membuat manusia berbeda dengan binatang dan membebaskan pikirannya, membuka jalan bagi kemajuan.

Dengan dimulainya produksi, yang bermula dengan berburu dan mengumpulkan makanan kemudian pertanian dan mengurus ternak, umat manusia mulai berkembang maju. Pembagian kerja muncul dan juga mengembangkan alat-alat dan teknik-teknik produksi. Karena itu upaya produktif umat manusia memampukan manusia untuk menghasilkan lebih daripada yang dibutuhkannya untuk bertahan hidup. Produksi menciptakan kelebihan [surplus].

Kenyataan kelebihan produksi menyediakan landasan material, syarat obyektif, untuk munculnya kekuatan masyarakat yang berupaya mengambil-alih nilai dari mereka yang memproduksinya.

Karena itu masyarakat terbagi dalam kelas-kelas berlawanan dengan kepentingan yang berbeda : ada yang mengambil-alih hasil dari produksi tenaga kerja orang lain, sementara yang lainnya menolaknya. Karena itu hubungan kerja sama antar umat manusia berubah menjadi hubungan pertikaian antara kelas penghisap dengan kelas yang dihisap.

Proses ini terjadi dalam waktu ribuan tahun dan timbulnya kepentingan kepentingan yang berlawanan, munculnya kelas kelas yang bertentangan itu tidak terjadi dalam tempo satu malam. Tetapi yang paling mendasar adalah prosesnya.

Begitu kepentingan-kepentingan yang khas dan bertentangan itu muncul dalam masyarakat manusia, masalah “kekuasaan”, persoalan siapa yang harus mengambil keputusan, kriteria yang akan digunakan dalam pengambilan keputusan dan untuk kepentingan siapa, menjadi masalah mendasar dalam masyarakat.

Suatu kelompok tertentu dapat memaksakan kepentingannya dan membuat tujuannya menang jika kelompok tersebut memegang kendali atas masyarakat, dengan kata lain jika kelompok tersebut menguasai masyarakat yang bersangkutan.

Menguasai suatu masyarakat berarti menatanya untuk melayani kepentingan kelompok yang berkuasa, memaksakan keinginan kelompok ini kepada semua kelompok-kelompok lain, terlepas dari apakah mereka setuju atau tidak setuju. Dalam perjalanan waktu, kelompok yang menguasai membuat kelompok-kelompok lain menganggap bahwa kekuasaannya adalah yang paling baik, paling bijaksana, paling adil, dan kekuasaannya melayani kepentingan semua orang.

Hal ini berlanjut sampai suatu saat kekuatan-kekuatan baru dalam masyarakat menjadi sadar bahwa kepentingan mereka dirugikan oleh kelompok yang berkuasa dan mereka pun bersatu, berjuang, menjatuhkan kekuasaan sebelumnya dan menegakkan kekuasaan mereka sendiri, merombak susunan masyarakat untuk memenuhi kepentingan mereka.

Sejarah peradaban manusia hingga sekarang ini adalah sejarah berbagai macam kelas penghisap, pemilik budak, kaum feodal, dan kelas borjuis yang sukses menguasai masyarakat dan mengorganisirnya secara politik, ekonomi, ideologi, budaya, adminstratif, dan hukum untuk kepentingan mereka sendiri.

Semua ini terjadi karena massa rakyat yang tereksploitasi tidak memiliki cukup kesadaran kelas yang bisa mempersatukan mereka dan tidak punya ideologi yang bisa memberi mereka pemahaman yang menyeluruh tentang kepentingan mereka dan memberi mereka strategi dan taktik-taktik yang tepat untuk perjuangan memenangkan dan menjalankan kekuasaan.

Dalam sejarah, di Paris pada tahun 1870, setelah beberapa kali upaya menemui kegagalan, massa yang terhisap untuk pertama kalinya mengambil-alih dan menjalankan kekuasasn rakyat. Komune Paris ini beberapa bulan kemudian dihancurkan oleh persekutuan kaum reaksioner Prancis dan Jerman di mana sekitar 30.000 kaum buruh dibantai.

Akhirnya, pada tahun 1917, dengan pimpinan Lenin, massa terekspoitasi merebut kekuasaan dari Tsar Rusia dan menciptakan Uni Soviet, yang menjadi negara pertama di dunia di mana rakyat-lah yang memegang kekuasaan. Setelah kemenangan kekuatan demokratis dalam perang anti fasis, kekuasaan rakyat menyebar ke negara-negara lain seperti Republik Rakyat Cina, Republik Demokratik Korea, dan Republik Demokratik Vietnam di Asia. Kekuasaan rakyat di Eropa dibangun di beberapa negeri seperti Republik Sosialis Cekoslovakia, Republik Sosialis Bulgaria, dan sebagainya. Di Amerika Latin, negara rakyat pertama di benua Amerika dibangun dengan terjadinya kemenangan kekuatan rakyat di Kuba pada tahun 1959.

Kekuasaan rakyat telah menjadi suatu kenyataan bagi lebih kurang sepertiga umat manusia. Wilayah di mana kelas pekerja merebut kekuasaan ini dikenal sebagai “Kubu Sosialis”, yang saat ini terdiri dari empat belas negara.

Di negara kita, pemilik budak, kaum feodal, raja-raja dan penguasa lainnya menguasai masyarakat sampai terjadinya penaklukan oleh kaum penjajah. Kemudian borjuis kolonial menempatkan dirinya dalam kekuasaan dan memaksakan kehendaknya kepada semua lapisan masyarakat sampai tiba saatnya kekuatan perjuangan kita mampu menggulingkannya.

Kekuasaan yang berganti-ganti dari berbagai macam kelas penguasa yang minoritas, kediktatoran atas rakyat, selalu dijalankan dengan cara yang tersembunyi, sehingga massa rakyat tidak mengerti posisi mereka yang sebenarnya dan tidak menyadari bahwa mereka menjadi sasaran penindasan.

Sebelum kekuasaan kolonial, para kepala suku di negeri kita yang memegang kekuasaan mengaku bahwa kekuasaan mereka itu adalah kehendak nenek moyang kita.

Di sebagian kerajaan, rakyat tidak boleh memandang atau melihat wajah sang raja; di sebagian kerajaan yang lain rakyat tidak boleh berbicara langsung dengan raja, hanya suaranya yang bisa didengar.

Bahkan saat ini, di beberapa tempat yang kekuasaan para regulo[2] masih relatif utuh, keadaan seperti itu masih sangat umum di mana kenyataan pahit penindasan penguasa feodal disembunyikan dengan mitos dan takhayul.

Kaum kolonialis mengembangkan takhayul sebagai alat untuk menyembunyikan dominasi mereka dan mencegah massa rakyat untuk menyadari buruknya keadaan kehidupan mereka dan mencegah permberontakan massa. Maka banyak agama yang disebarkan kepada kita yang memecah-belah rakyat dan dengan demikian melemahkannya. Pada saat yang bersamaan setiap agama mengajarkan rakyat untuk bersikap pasrah.

Di negeri kita para misionaris mengajarkan bahwa tidak mematuhi pemerintah atau orang Portugis adalah perbuatan dosa dan mengajarkan agar kita berterima kasih kepada kolonialisme Portugis yang memperkenalkan kita pada iman yang benar. Pada abad yang lalu gereja membenarkan perdagangan budak, dengan mengatakan bahwa tindakan itu baik karena memungkinkan para budak untuk dibaptis.

Uskup agung Lourenco Marques saat ini, Custodio Alvim Pereira, sering mengatakan secara terbuka bahwa rakyat Mocambique tidak perlu menuntut kemerdekaan sebab hal ini hanya akan menguntungkan komunisme dan agama Islam, dengan kata lain: memperjuangkan kemerdekaan, adalah dosa melawan Tuhan.

Dalam sebuah ceramah pada bulan Juni 1961 di hadapan para calon pastor siswa seminari Keuskupan Agung Lourenco Marques, ketika itu masih menjabat asisten Uskup, ia menegaskan beberapa prinsip berikut:

[1]. Kemerdekaan itu tidak cocok dengan kebaikan manusia. Kemerdekaan mungkin berguna untuk kondisi geografis dan budaya tertentu, tetapi kondisi seperti itu belum ada di Mocambique.

[2]. Karena kondisi seperti itu tidak ada, membentuk atau terlibat dalam gerakan pro kemerdekaan adalah perbuatan melawan kodrat alam.

[3]. Kalau pun kondisi seperti itu ada, negeri induk punya hak untuk menentang kemerdekaan, karena kebebasan dan hak rakyat telah dihargai dan [negeri induk] telah mengupayakan jaminan kesejahteraan serta kemajuan kewarganegaraan dan keagamaan bagi semua orang.

[4]. Setiap gerakan yang menggunakan cara-cara kekerasan itu melawan hukum alam, karena jika kemerdekaan adalah sesuatu yang baik maka harus dicapai dengan cara-cara damai.

[5]. Ketika suatu gerakan berupa gerakan teroris, dengan kesadaran yang baik Pastor harus tidak sekedar menahan diri untuk ambil bagian tetapi harus menentangnya. Ini adalah konsekuensi logis dari misi mereka.

[6]. Walaupun gerakan itu adalah gerakan damai, seorang Pastor harus menahan diri untuk mengambil bagian di dalamnya agar bisa memberikan petunjuk spiritual kepada semua orang. Petinggi gareja bisa mewajibkan ini seperti yang berlaku di Lourenco Marques.

[7]. Orang pribumi Afrika harus berterirna kasih kepada penjajah atas semua kebaikan yang mereka berikan.

[8]. Kaum terdidik harus secara terbuka melawan ilusi tentang kemerdekaan di kalangan orang yang kurang terdidik.

[9]. Kemerdekaan Afrika saat ini hampir selalu lahir dari revolusi dan komunisme. Doktrin Vatikan sangat jelas menolak ateisme dan komunisme: revolusi terbesar adalah yang diwartakan Kitab Suci.

[10]. Slogan “Afrika untuk bangsa Afrika” adalah suatu keanehan filsafat dan tantangan terhadap peradaban Kristiani, karena kejadian-kejadian belakangan menunjukkan bahwa komunisme dan Islam berkeinginan memberlakukan peradaban mereka pada Afrika.

Kepala Gereja di Mocambique mengakhiri pidatonya dengan menegaskan: “Cintailah negerimu, Mocambique yang berintegrasi dengan Portugal, sama seperti penduduk asli Algarve mencintai provinsinya tanpa melupakan tanah airnya … gerakan gerakan pembebasan Afrika itu melawan Gereja.”

Ringkasnya, menurut pimpinan tertinggi gereja ini, kita harus berterima kasih atas penghisapan kolonial, kerja paksa, penjualan manusia kepada pertambangan-pertambangan, perampasan tanah-tanah kita, dan sistem tanam paksa. Kita harus berterima kasih atas pemaksaan yang ditimbulkan oleh palmatoria[3] dan cambuk serta pembuangan ke Sao Tome. Kita harus bersyukur atas penghinaan rasisme dan pemerkosaan perempuan, anak-anak yatim yang terlunta-lunta [filbos do mateo] dan karena telah dijadikan anak-anak suruhan [moleques]. Kita harus bersyukur atas kebodohan, kurangnya sekolah, dan banyaknya takhayul, atas langkanya Rumah Sakit, dan rendahnya kesejahteraan sosial. Karena itu semua kita harus bersyukur. Menentang semua itu adalah perbuatan dosa. Mengangkat senjata melawan mereka yang mernbantai kita di Mueda, Xinavane, Lourenco Marques, Wiriyamu, adalah tindakan dosa. Semuanya melawan gereja.

Kita sudah mendengar banyak khotbah dari para Uskup dan Pastor Katolik, dari Ulama Islam, dan semua gereja Protestan, dan sampai baru-baru ini mereka semua mengatakan kepada kita bahwa kita harus menahan diri, kita harus menerima dan bersyukur.

Namun demikian harus dicatat, bahwa dengan meningkatnya tindakan kriminal yang dilakukan oleh musuh dalam tiga tahun terakhir, mulai banyak suara dari lingkungan gereja yang mengutuk perang koloni dan pembantaian-pembantaiannya. Tetapi suara-suara ini masih terbatas. Kita tidak dapat menganggapnya sebagai pendapat resmi, umum, atau tegas dari pihak gereja di Mocambique menentang penjajahan.

Selain takhayul, golongan borjuis kolonial menggunakan alasan lain untuk menyembunyikan dan membenarkan kekuasaan diktaktorialnya.

Mereka mengatakan bahwa kita adalah ras yang rendah dan terbelakang dengan kebudayaan yang primitif, bangsa bodoh yang harus dididik oleh ras yang lebih tinggi dan maju dengan semua kebudayaan dan pengetahuannya yang unggul. Konstitusi Portugal secara tersurat mengatakan bahwa esensi mendasar dari bangsa Portugis adalah untuk “memperadabkan” kaum “biadab” ¬yakni kita.

Mereka secara konsisten mengulangi argumen ini, walaupun semua orang tahu bahwa di Portugal lebih kurang 40% penduduk buta huruf, bahwa ada kemiskinan yang besar di kalangan petani dan penduduknya, bahwa kebodohan mereka tidak lebiih rendah dari kita, dan bahwa takhayul mereka tidak lebih sedikit daripada kita, meskipun bentuknya lain.

Itulah yang mereka katakan untuk meyakinkan kita. Tetapi dalam kenyataannya, ketika mereka menjalankan garis politik, mereka mengatakan dan melakukan hal yang sama sekali berbeda.

Di tahun 1960, almarhum Teodosio Clemente de Gouveia, Uskup Agung Lourenco Marques, mengeluarkan pesan pastoral tentang garis politik bagi sekolah-sekolah, sebagai berikut: “Benar bahwa sekolah adalah kebutuhan mutlak, tetapi hanya sekolah-sekolah tempat kita mengajarkan pada kaum pribumi jalan martabat umat manusia dan keagungan negara yang melindungi mereka.”

Mendidik” kita jelas berarti membuat kita budak yang bermental patuh pada kolonialisme. Jenderal Kaulza de Arriaga, yang dikalahkan secara memalukan di Mocambique, dalam ceramahnya kepada Komando Tertinggi Militer kolonial fasis pada tahun 1966-1967 mengatakan:
”Jika orang kulit hitam di Angola dan Mocambique jumlahnya 20 atau 30 juta, kita akan menghadapi masalah luar biasa; jadi, karena itu baik kalau jumlah penduduknya sedikit saja. Saya tidak tahu apakah ini karena ekspor penduduk ini ke Brasil, tetapi jika memang begitu, baik bahwa ekspor itu telah terjadi.”

Menyusul persetujuannya pada perdagangan budak yang keji suatu bentuk penghisapan dan penghinaan manusia yang paling merendahkan martabat, Kaulza de Arriaga, si “pengadab” yang biasa di depan umunn mengemukakan tentang usaha “memenangkan dukungan orang Afrika” dan “multirasialisme”‘ pada saat yang bersamaan menyerukan pembasmian rakyat kita. Kaulza berkata : “Problem lain yang teramat penting adalah masalah kependudukan: pertama, tumbuhkan jumlah orang kulit putih , kemudian batasi pertumbuhan orang kulit hitam.”

Pergertian “persamaan rasial” dan misi “menggalakkan kemajuan penduduk Afrika” menjadi jelas ketika sang Jenderal menulis: “Multirasialisme adalah otentik dan akan tetap demikian, walaupun di bawah naungannya kita mungkin harus memotong kemajuan kaum kulit hitam. Kita harus meyakinkan orang-orang ini bahwa kita sedang memajukan mereka dengan laju kecepatan yang masuk akal … Tentu saja ada masalah lain: kita jangan terlalu efisien dalam memajukan bangsa Afrika karena memang kita harus memajukan mereka, tetapi jangan sampai berlebihan.”

Ringkasnya, “peradaban,” “pendidikan,” dan “kemajuan” hanyalah untuk menyembunyikan kenyataan ekspolitasi dan perampasan, penindasan, tindakan brutal, dan penghinaan. Semuanya adalah kata-kata indah yang dimaksudkan untuk membodohi dan meninabobokan kita dalam tidur. Inilah sebabnya mengapa kita harus mencermati setiap kata-kata yang dikemukakan oleh rezim opresif untuk kenyataan yang disembunyikannya.

Golongan borjuis terus menegaskan bahwa minoritas yang pintar dan ahli, orang-orang kaya dengan gelar akademis, harus memerintah mayoritas yang mereka anggap bodoh dan tidak becus.

Oliveira Salazar, perencana besar fasisme kolonial Portugal, mengemukan prinsip ini dengan jelas: “Hiraki yang ada antara kerja perencanaan, pengorganisasian, menajemen, dan pelaksanaan, sepantasnya tidak hanya mencerminkan suatu kebutuhan dalam produksi tetapi juga ketidaksetaraan alamiah kemampuan manusia yang merupakan sesuatu yang tidak bisa dan tidak mungkin dilawan oleh masyarakat.” (F.C.C Egerton, Salazar, Portugal, and Her Leader).

Eca de Queiroz, salah seorang penulis terbesar Portugal, dalam suatu karya besarnya, O Conde de Abranbos, mencela dan rnembuka kedok kaum borjuasi, dengan mengungkapkan mentalitas dari borjuasi penghisap dan penindas yang terwujud dalam sistem pendidikan Universitas: “Mahasiswa selamanya tetap dicekoki ide-ide sosial mulia bahwa ada dua kelas, satu kelas yang mengetahui dan satu lagi kelas yang menghasilkan. Secara alamiah, kelas yang pertama menjadi otak, memerintah; kelas yang kedua menjadi tangan, yang bekerja membuat pakaian, sepatu, memberi makan, dan membayar kelas pertama … Lulusan-lulusan Universitas menjadi politisi, ahli-ahli pidato, penyair, dan menjadi kapitalis, bankir, serta menjadi pengusaha besar. Kelas kedua yang tidak terdidik menjadi tukang kayu, tukang kasar di jalanan, pekerja perkebunan tembakau, penjahit …

Ide mengenai pembagian menjadi dua kelas ini bermanfaat karena setelah diajarkan untuk menerimanya, mereka yang lulus meninggalkan Universitas tidak akan teracuni ide yang berlawanan ide yang absurd dan ateistis yang merusak harmoni universal- yang berpendapat bahwa orang tidak berpendidikan itu bisa mengerti hal-hal seperti yang dimengerti oleh kaum terpelajar. Tidak, tidak bisa. Kecerdasan itu tidak sama, karena itu menghancurkan prinsip-prinsip kesamaan intelektual yang membahayakan, dasar dari suatu sosialisme yang jahat.

Dalam rangka menyembunyikan apa yang sedang mereka lakukan dan membuat kita tetap bodoh, para penindas, khususnya borjuasi kolonial menggunakan seluruh waktunya untuk memompakan pada kita bahwa mereka menjalankan kekuasaan untuk kesejahteraan setiap orang, atau untuk mayoritas, dan bahwa mereka melakukan semuanya ini demi menyebarkan kemajuan, peradaban, dan agama Kristen. Mereka selalu mengatakan kepada kita bahwa menjalankan kekuasaan adalah pengorbanan yang luar biasa, membutuhkan tanggung jawab besar yang tidak akan mereka tinggalkan.

Pidato-pidato yang kita dengar, tulisan-tulisan koran, propaganda radio, dan seluruh aparatus kolonial beracun setiap hari berupaya meyakinkan kita bahwa kekuasaan penindas itu adalah yang terbaik di dunia, bahwa kita harus merasa bahagia di bawah dominasi mereka, dan bahwa hanya orang yang tidak tahu berterima kasih, orang gila dan orang komunis yang dapat berpikir sebaliknya. Meskipun demikian, kenyataan yang disembunyikan dengan baik di balik kata-kata tersebut sangatlah berbeda.

Dari Gubernur Jenderal sampai ke pejabat pemerintahan lokal, keseluruhan aparatus pemerintahan memiliki tujuan tunggal melakukan segala sesuatu yang bisa untuk menjamin agar perusahaan-perusahaan, golongan kaya, golongan kapitalis bisa menghisap rakyat.

Hukum-hukum yang dibuat, pajak-pajak yang dibayarkan, dan perintah-perintah yang diberikan tidak pernah melayani kepentingan rakyat dan selalu menguntungkan para boss. Jika suatu waktu ada hukum yang menguntungkan rakyat, itu karena pemberontakan rakyat sudah sangat kuat dan karena itu harus dilakukan sesuatu untuk menenangkan kemarahan mereka, untuk memecah kekuatan massa dan dengan demikian kekuasaan kolonial bisa dilanjutkan.

Satu contohnya adalah pemogokan buruh galangan kapal di Lourenco Marques pada tahun 1963. Sebelum pemogokan, upah buruh besarnya 12 hingga 15 escudo per hari. Setelah pemogokan dan sekalipun ada tindakan-tindakan menekan, upah dinaikkan menjadi 28 escudo, karena takut akan pemberontakan yang lebih besar oleh para buruh pelabuhan.

Sekarang karena perang, upah dinaikkan di mana-mana dengan tujuan memperdaya rakyat dan membuat mereka lupa bahwa mereka dijajah, dihisap, ditindas, dan dihinakan. Dengan cara yang sama, di semua daerah dimana mereka merasa bahwa rakyat semakin mendukung perjuangan sehingga perjuangan makin meluas, kaum kolonialis buru-buru mengurangi kesombongannya dan membagi-bagikan fato foto dalam ukuran besar bergambar orang kulit putih dan kulit hitam yang hidup bahagia bersama. Tetapi ini hanyalah lapisan luar karena PIDE[4] terus menangkap menyiksa, dan membunuh rakyat sementara gula gula dibagi-bagikan kepada anak-anak untuk keperluan propaganda.

Hakekat penindasan tetap sama.
Melalui hukum-hukum pemerintah mereka terus menagkap dan menjual kita kepada tambang-tambang di Afrika Selatan. Yang mendapat keuntungan adalah para pemilik tambang. Sementara yang kehilangan hidupnya, pulang dengan menyandang tuberkulose [TBC], atau cacat karena kehilangan tangan atau kaki adalah kita. Hukum pemerintahlah yang memaksa kita menanam kapas dan menjualnya kepada perusahaan-perusahaan besar. Yang beruntung adalah perusahaan-perusahaan tersebut, sementara kita tidak pernah punya pakaian walaupun kita yang memproduksi kapas.

Hukum-hukum pemerintah menyerahkan kita kepada perusahaan-perusahaan teh dan gula sebagai mesin kerja. Perusahaan-perusahaan ini menghasilkan uang sangat banyak, tetapi di negeri kita, pada pagi hari tidak ada gula maupun teh dalam keluarga kita.

Pemerintah rnenangkap kita jika kita menolak keinginan perusahaan-perusahaan, dan pemerintah memaksa kita bekerja di perkebunan, tambang-tambang, dan pabrik-pabrik.

Pajak yang kita bayar digunakan untuk membayar gaji pegawai pemerintah yang menindas kita; pajak kitalah yang digunakan untuk rnembayar polisi yang menangkap kita kalau kita tidak mematuhi perusahaan, pajak kitalah yang digunakan untuk membayar tentara yang membantai kita kalau kita melawan penindasan.

Kita dan para buruh membayar untuk segala sesuatu, tetapi yang dilayani dan dipatuhi adalah kaum penghisap.

Borjuasi dan kolonialis mengatakan bahwa pengadilan adalah lembaga yang tidak memihak dan bahwa dalam lembaga ini yang dihasilkan adalah keadilan. Menurut propaganda tersebut keadilan itu buta karena keadilan tidak membedakan antara orang kaya dengan orang rniskin, antara tuan besar dengan pekerja rendahan, dan dengan demikian sampai pada kebenaran, mengganjar yang benar dan menghukum yang salah.

Benar, mereka mengatakan demikian. Tetapi tidak ada yang pernah mendengar suatu pengadilan borjuis atau kolonialis yang memerintahkan pengembalian tanah kepada petani yang telah dirampas tanahnya. Sekarang ini, seperti yang terjadi baru-baru ini dalam kasus bendungan Cabora Bassa, sekitar 25.000 orang diusir dan tanahnya dirampas, tidak ada pengadilan yang mengatakan bahwa mereka adalah pihak yang benar. Tidak seorang pun yang pernah mendengar adanya pengadilan yang mengutuk PIDE karena membunuh dan menyiksa orang, atau menahan mereka selama berbulan-bulan bahkan bertahun tahun tanpa pengadilan. Pengadilan menyalahkan orang-orang yang berjuang untuk Rakyat, dan mendukung serta memuji pihak yang membantai Rakyat.

Contoh yang sangat konkret yang diketahui oleh setiap orang dan yang kita semua alami dalam kehidupan sehari-hari memperlihatkan dengan sangat jelas untuk apa kekuasaan kapitalis kolonialis itu dan siapa yang mendapat untung darinya.

Ketika kekuasaan berada di tangan golongan yang mengeksploitasi, kekuasaan digunakan oleh mereka untuk menjalankan kediktatoran.

Dalam masyarakat pengeksploitasi, untuk menjalankan kekuasaan orang harus menjadi bagian dari kelompok yang mengeksploitasi dan menempatkan seluruh jiwa dan raganya untuk melayaninya.

Dalam masyarakat tradisional tidak sembarang orang bisa menjadi pemimpin. Untuk menjadi pemimpin seseorang harus berasal dari strata feodal yang berkuasa, dari keluarga kepala suku, yaitu harus anak atau keponakan kepala suku. Mereka yang memilih kepala baru adalah keturunan atau suatu lembaga dari kaum feodal.

Hal yang sama berlaku dalam masyarakat borjuis di mana kekuasaan dipegang oleh perusahaan-perusahaan, kapitalis-kapitalis raksasa, dan kekuasaan dijalankan oleh pelayan setia para kapitalis.

Sudah banyak diketahui bahwa ketika seorang Gubernur Jenderal atau Menteri diganti, selain dari kekayaan yang sudah dikumpukan selama masa kekuasaannya, ia akan segera mendapat kedudukan tunggal dalam suatu bank atau perusahaan. Para anggota parlemen, gubernur dan menteri pindah dari perusahaan-perusahaan dan bank-bank ke pemerintahan, dan dari pemerintahan ke perusahaan-perusahaan dan bank-bank.

Misalnya, di antara berbagai jabatan sebelum pengangkatannya pada Oktober 1971, Gubernur Mocambique sekarang, Pimentel dos Santos menjabat sebagai Ketua Dewan Direktur Companhia Mineira de Lobito. Jelas, walaupun dia seorang gubernur, dia masih tetap berhubungan dan melayani perusahaannya itu. Pada bulan September 1972 perusahaannya bekerjasama dengan Bethlehem Steel dari Amerika Serikat dan Perusahaan Uranium Mocambique, mendapat konsesi untuk menggarap tambang mineral di sebuah daerah yang meliputi puluhan ribu kilometer antara Chioco dan Changara di Provinsi Tete. Contoh yang sama dapat kita kemukakan untuk setiap menteri, gubernur, anggota parlemen, dan seterusnya.

Dalam konteks masyarakat kolonial seperti di Mocambique di bawah kekuasasn kolonial, selain “kualitas” normal masyarakat borjuis yang harus dipenuhi individu, ia harus berasal dari ras kolonial atau sekurang-kurangnya menunjukkan kepatuhan total kepada penguasa kolonial. Dengan demikian ia tak lebih hanyalah boneka.

Kenyataan-kenyataan ini, yang sangat akrab dengan kita, jelas menunjukkan bahwa Kekuasaan Negara, itu sama sekali bukan instrumen-instrumen teknis yang netral, tetapi senjata yang digunakan oleh kelas pengeksploitasi untuk melawan massa yang dieksploitasi.

Penindasan tidak berlangsung karena pejabat pemerintahan lokal atau yang lebih tinggi atau gubernur itu jahat, orang-orang yang berhati keras yang mendapatkan kepuasaan dengan mengekspolitasi kita.

Secara umum, sebagai individu, sebagai orang, mereka tidak lebih baik atau lebih buruk dari orang lain, dari ras apa pun. Mereka menjadi begitu karena posisi yang mereka duduki.

Kalau ada seorang pejabat pemerintah yang hati nuraninya tersiksa oleh kejahatan yang terpaksa harus dilakukannya, dan ia berani melawan tuntutan kerja yang harus dilaksanakannya, ia akan segera dipindahkan, dipecat, bahkan dihukum.

Karena sebab inilah kita selalu mengatakan bahwa kita sedang berjuang melawan sebuah sistem, dan bukan individu-individu yang berada di dalamnya.

Praktek kolonialisme Portugis dan perang agresi sama sekali tidak berubah karena kebaikan atau keburukan Marcelo Caetano ketika ia menggantikan Salazar, sama seperti tindakan kriminal dan pembunuhan yang dilakukan oleh PIDE tidak berubah dengan perubahan namanya menjadi DGS.[5]

Keberadaan kelas-kelas pengeksploitasi, yang berkulit putih maupun berkulit hitam atau berwarna lain sekalipun, menciptakan suatu bentuk kekuasam dan negara yang eksploitatif.

Itulah sebabnya mengapa kita selalu mengatakan bahwa perjuangan kita adalah melawan eksploitasi manusia oleh manusia, yang saat ini kolonialisme Portugal menjadi ungkapan utamanya di negeri kita. Dengan kata lain, ini berarti bahwa tujuan kita adalah untuk menumbangkan kekuasasn kelas-kelas pengeksploitasi di Mocambique yang wakil wakilnya adalah kaum kolonialis dan borjuasi imperialis, dan menghancurkan Negara kolonial, yang merupakan bentuk esensial dominasi kolonialis dan imperialis di negeri kita.

Karena itu menjadi penting untuk memahami secara jelas persoalan-persoalan ini. Ada orang-orang nasionalis, karena kepolosannya akibat tidak mengembangkan kesadaran kelas dan lainnya karena mereka sendiri terlibat dalam eksploitasi, yang berpikir bahwa tujuan perjuangan kita adalah membangun kekuatan bangsa kulit hitam untuk menggantikan kekuasasn kulit putih, dan mengangkat atau memilih orang Afrika ke berbagai posisi di bidang politik, administrasi, dan ekonomi serta berbagai posisi penting lainnya yang selama ini dikuasai oleh orang kulit putih. Kelompok nasionalis yang polos, setelah aktif telibat, menjadi mengerti dan menerima perlunya menghancurkan Negara yang eksploitatif, sementara kelompok nasionalis yang telibat eksploitasi, yang mengidentifikasikan diri dengan sistem, justru menentang upaya penghancurannya. Singkatnya, bagi kaum nasionalis yang tidak sepenuhnya puas dengan kekuasaan kolonial hanya karena kekuasaan kolonial itu asing, tujuan akhir dari perjuangan kita adalah untuk “meng-Afrika-kan” eksploitasi. Itulah sebabnya mengapa mereka menolak ideologi revolusioner kita, dan mereka secara khusus menolak transformasi menyeluruh pemikiran dan tindakan yang kita tuntut dengan alasan bahwa hal ini tidak penting dalam perjuangan melawan kolonialisme .

Ini adalah posisi reaksioner yang membahayakan hakekat dan tujuan perjuangan kita.

Bagi orang orang ini perjuangan kita harus berupa perjuangan antara kekuatan kulit hitam melawan kekuatan kulit putih, sementara bagi kita perjuangan kita adalah antara golongan pengeksploitasi dengan golongan yang dieksploitasi.

Kita sudah melihat bahwa seluruh aparatus kekuasaan dalam suatu Negara eksploitatif, hukumnya, administrasinya, pengadilannya, kepolisiannya, tentaranya tujuan tunggalnya adalah mempertahankan eksploitasi dan melayani kepentingan kaum pengesksploitasi.

Negara, Kekuasaan, hukum-hukum bukanlah teknik atau instrumen yang netral yang bisa digunakan dengan sama baiknya oleh musuh atau kita. Karena itu persoalan yang menentukan bukanlah menggantikan staf orang Eropa dengan staf orang Afrika.

Negara dan kekuasaan, hukum-hukumnya tidaklah netral atau instrumen-instrumen yang dapat digunakan secara setara dan baik oleh musuh atau oleh kita. Karena itu persoalan yang menentukan bukanlah mengganti pegawai pegawai Eropa dengan pegawai-pegawai kita.

Seperti kaum kolonialis yang punya cara berperang, kita punya cara berperang juga, dan seperti mereka memilih ilmu militer, kita juga memilikinya. Demikian pula kita punya kekuatan, mereka punya kekuatan. Ada konflik antara kita dan mereka mengenai asal usul, hakekat, metode, dan tujuan kekuasaan.

Kekuatan yang sedang muncul itu mencerminkan keseimbangan baru kekuatan yang sedang muncul di negeri kita, yang sangat memungkinkan bagi aliansi rakyat. Kediktaktoran minoritas pengeksploitasi atas rakyat itu sedang digantikan oleh kekuatan rakyat, yang dipaksakan atas semua kekuatan kolonialis dan kelas-kelas reaksioner, mayoritas besar sedang menanjak kekuasaannya atas minoritas sangat kecil dan sedang menghancurkan eksploitasi.

Kekuasasn kita berbeda bentuk dan isinya dengan segala yang pernah ada sebelumnya di negeri kita.

Kekuasaan kita adalah milik rakyat dan dijalankan oleh wakil-wakilnya yang sejati untuk melayani kepentingan rakyat: Kita tidak bisa menemukan sebuah Negara rakyat dengan hukum-hukum dan mesin administratifnya yang berdasarkan pada Negara yang hukum-hukum dan mesin administratifnya sepenuhnya dirancang untuk melayani kepentingan golongan pengeksploitasi. Kita tidak dapat melayani rakyat dengan menjalankan kekuasaan Negara yang dirancang untuk menindas massa rakyat.

“Meng-Afrika kan” kekuasaan kolonialis dan kapitalis berarti rnengingkari tujuan perjuangan kita. Apa arti perjuangan kita jika kita terus menjadi sasaran kerja paksa, perusahaan-perusahaan dan tambang-tambang, walaupun di mana-mana ada manajer dan mandor orang Afrika? Apa arti pengorbanan kita jika kita masih dipaksa untuk menjual ternak dan kapas di pasar pasar yang hanya memberikan keuntungan kepada para pedagang, sekalipun mereka adalah orang-orang Afrika? Apa arti begitu banyak darah yang ditumpahkan jika kita masih terus tunduk pada suatu Negara yang walaupun dipimpin oleh orang Mocambique hanya melayani golongan kaya dan berkuasa? Bagaimana kita dapat mempertahankan angkatan kepolisian yang menangkap dan menyiksa pekerja dan mempertahankan tentara yang menembak massa rakyat, walaupun para Jenderalnya orang-orang berkulit hitam?

Suatu Negara yang terdiri dari golongan kaya dan memiliki kekuasaan di mana kelompok minoritas mengambil keputusan dan memaksakan kehendaknya, kita setuju ataupun tidak setuju, kita mengerti atau tidak, adalah kelanjutan dalarn bentuk baru dari apa yang sedang kita lawan sekarang.

Pertanyaan mengenai kekuasaan rakyat adalah pertanyaan inti dalam Revolusi kita.

Dalam konteks ini, absurd untuk berbicara mengenai “otonomi” bahkan juga “kemerdekaan” yang bisa ditawarkan oleh Caetano atau para penggantinya.

Massa rakyat sudah mengerti tentang ini, naluri kelas mereka membuat mereka mampu mengerti soal ini: Kemerdekaan, otonomi sebagaimana yang dibayangkan oleh imperialisme dan kolonialisme adalah taktik yang dirancang untuk melestarikan segala sesuatu seperti sebelumnya untuk mempertahankan eksploitasi.

Karena mereka hendak mempertahankan kekuasaan mereka-lah maka massa rakyat memberikan pengorbanan yang paling heroik untuk memperluas perjuangan dan mengkonsolidasi wilayah yang telah dibebaskan. Semua ofensif musuh, betapapun kuat dan kerasnya, dihancurkan berkeping-keping oleh keteguhan tak kenal goyah massa rakyat yang mempertahankan kekuasaannya.

Pada tahun 1967 dan 1969, ketika sebuah kelompok baru golongan pengeksploitasi di tengah-tengah kita berhasil melumpuhkan kepemimpinan kita dan mulai mendistorsi arti perjuangan kita, dengan tujuan memberlakukan kediktaktoran kaum pengeksploitasi, rakyat-lah yang dengan naluri kelas mereka sebagai massa pekerja, yang menyadari bahaya yang sedang kita hadapi dan yang memberikan dukungan menentukan kepada kekuatan revolusioner dalam kepemimpinan yang menghasilkan kemenangan.

Kekuasaan kita mewakili kepentingan rakyat pekerja, mengekspresikan tekad kita untuk mengusir kolonialisme dan imperialisme, serta menciptakan masyarakat baru tanpa eksploitasi. Kekuatan kita adalah ungkapan revolusioner dari suatu persekutuan yang dengan memperjuangkan kepentingan petani dan buruh, menyatukan semua strata sosial dan kelompok yang diikat oleh semangat patriotisme dan demokrasi: buruh, petani, pekerja-pekerja perkebunan dan perusahaan kayu, konsesi, pertambangan, kereta api, galangan kapal, industri, sopir-sopir, tukang-tukang, intelektual, teknisi, pegawai negeri, pelajar/mahasiswa, pekerja kantor, pedagang kecil dan menengah, dan sebagainya.

Dalam suatu dokumen yang diterbitkan pada pertemuan tahun 1970, Komite Sentral FRELIMO mendefinisikan syarat bagi seorang anggota Komite Sentral sebagai berikut: “Anggota yang memimpin organisasi dan khususnya anggota Komite Sentral harus dipilih dari antara para militan yang menunjukkan kualitas militansi yang luar biasa. Seorang anggota Komite Sentral harus berasal dari batang tubuh perjuangan Seorang anggota Komite Sentral harus membedakan dirinya melalui dedikasinya kepada perjuangan pembebasan nasional dan penyangkalan kepentingan pribadi dengan menyerahkan diri kepada perjuangan dan melayani kepentingan rakyat.”

Dokumen yang sama menggarisbawahi kualitas yang harus dimiliki seorang militan FRELIMO sebagai berikut “Dia melayani massa rakyat dan mengorbankan dirinya untuk kepentingan mayoritas.”

Ini bisa berarti bahwa ketika berada di wilayah lain, wilayah kaum pengeksploitasi, seorang pemimpin adalah orang yang dapat melayani kepentingan kaum pengeksploitasi dan berasal dari kalangan mereka. Di wilayah kita, pemimpin datang dari massa rakyat, dari para pejuang dan pempimpin adalah pelayan rakyat yang siap sedia mengorbankan segala sesuatu termasuk hidup mereka demi kepentingan mayoritas dan demi membela mayoritas.

Kita adalah mayoritas, kita adalah petani, pekerja dan buruh yang lahir dari kalangan rakyat yang dihisap dan ditindas, dan tujuan kita adalah membebaskan diri, membangun masyarakat baru, suatu masyarakat yang mencerminkan kepentingan-kepentingan kita.

Perjuangan kita sudah mendirikan kekuasaan kita di banyak wilayah negeri. Di wilayah-wilayah ini kepentingan kita yang berlaku. Garis politik FRELIMO, yang mencerminkan kepentingan ini, diterapkan di semua sektor kerja untuk kesejahteraan mayoritas rakyat. Garis politik FRELIMO yang membimbing kekuasaan kita, setiap hari mengubah hubungan sosial, hubungan antar orang dan mengubah masyarakat. Garis politik kita mengubah alam, dengan menempatkan sumberdaya alam demi melayani mayoritas rakyat dan memobilisasi hukum alam bagi kepentingan rakyat banyak.

Sejak saat ketika kekuasaan kita mulai dijalankan dalam sektor pendidikan, kita menyatakan bahwa tugasnya adalah mendidik orang guna memenangkan perang, membangun masyarakat baru, dan memajukan negeri kita.

Pengajaran kita bertujuan meletakkan ilmu pengetahuan untuk melayani rakyat dan revolusi, dan untuk membuat pelajar, mahasiswa, dan intelektual menjadi pekerja yang melayani pekerja lain.

Ketika kekuasaan kita mulai dijalankan di bidang kesehatan, kita nyatakan bahwa Rumah Sakit harus bekerja dengan mempraktekkan prinsip bahwa revolusi membebaskan rakyat.

Kita tidak mau Rumah Sakit dijalankan oleh teknisi yang kaya dan hanya siap melayani golongan kaya. Kemewahan Rumah Sakit borjuis dan kolonialis tidak menjadi urusan kita, karena yang kita inginkan adalah membuat Rumah Sakit kita menjadi basis, satuan operasi dalam perjuangan melawan penyakit-penyakit fisik dan penyakit-penyakit yang menghancurkan pikiran, yaitu takhayul, kebodohan, sukuisme, dan mentalitas borjuis.

Di Cabo Delgado, Niassa, Tete, dan Manica e Sofala perusahaan-perusahaan dan para tuan tanah kaya sudah melarikan diri meninggalkan wilayah negeri kita.

Karena itu kekuasaan kita sudah dibangun dalam bidang produksi. Perusahaan-perusahaan dan tuan-tuan tanah tidak lagi yang menentukan tujuan kerja dan produksi atau mengambil keuntungan dari usaha kita.

Saat ini, karena kita memiliki Kekuasaan, produksi adalah untuk membebaskan manusia dan memberikannya identitas sebagai pengubah alam dan masyarakat. Kita berproduksi untuk belajar, dan kita belajar untuk berproduksi dan perjuangan yang lebih baik; kita berproduksi untuk memenuhi kebutuhan kita, memberi makan anak-anak dan keluarga kita, serta untuk kehidupan yang lebih baik lagi.

Kekuasaan kita menciptakan sistem produksi kolektif untuk melayani rakyat dan Revolusi, serta menghancurkan sistem produksi eksploitatif dan mengubah produsen-produsen individual menjadi produsen yang menyatu dengan komunitas. Produksi sekarang tidak mengelompokkan manusia menjadi kaum penghisap dan yang terhisap, sistem produksi sekarang menyatukan mereka semua, membuat mereka semua menjadi pelayan rakyat yang memajukan kesejahteraan rakyat.

Di wilayah wilayah yang dibebaskan, Negara kolonial borjuis sudah dihancurkan dan struktur feodal sudah dihilangkan. Suatu bentuk baru demokrasi rakyat sedang muncul, dan itulah kekuasaan kita.

Mereka yang menjalankan kekuasaan memperoleh kepercayaan besar dari rakyat, karena pertumbuhan politik mereka terjadi di dalam perjuangan rakyat. Mereka secara tetap berdiskusi dengan rakyat. Garis kebijakan dan arah baru, yang lahir dari diskusi dan pengalaman praktis rakyat, disepakati oleh rakyat dan dijelankan dalam praktek.

Dari lingkaran paling rendah circulo[6] hingga tingkat lokal, dan dari distrik hingga provinsi dan tingkat nasional, untuk pertama kalinya dalam sejarah kira rakyat mempunyai kekuasaan sendiri yang tidak merupakan sesuatu yang asing dan yang menjajah mereka. Kekuasaan mayoritas rakyat yang dihisap dan menjalankan kehendak mereka pada seluruh bangsa: itulah Kekuasaan kita. — Bersambung ke Bagian 2

___________________

[2]. Ŕegulo : Kepala Suku

[3]. Palmatoria : Cambuk berbentuk dayung kayu berlubang yang dirancang untuk mengurangi hambatan udara dan meningkatkan rasa sakit.

[4]. PIDE [Portugis : Polisi Internationale Defese do Estado] adalah Polisi rahasia Portugis pada jaman penjajahan

[5]. DGS [Portugis : Direção-Geral de Segurança] atau Direktorat Jenderal Keamanan adalah Badan Polisi Kriminal Portugis pengganti PIDE yang aktif antara tahun 1969 dan 1974, selama tahun-tahun terakhir kediktatoran Estado Novo.

[6]. Circulo : Lingkaran atau Unit/Sel terkecil

One thought on “Membangun Kekuatan Rakyat – Bagian 1

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *