KOMNAS-TPNPBKrisis Sandera Pilot SusiAir

Nasib Pilot Mark Mehrtens Usai Tragedi Michelle

Pembela dan pegiat HAM Papua Theo Hesegem / ISTIMEWA

BAGAIMANA nasib pilot Susi Air Captain Philip Mark Mehrtensi usai tragedi pembunuhan terhadap Michelle Kurisi Doga dan penyerangan di Alguru? Pertanyaan ini tentu menarik bagi publik Tanah Air, khususnya di bumi Cenderawasih. Secara psikologis, Mehrtens mulai terancam dan terganggu.

Setelah Mehrtens ditangkap dan disandera oleh Egianus Kogeya dan kawan-kawannya di Distrik Paro, Kabupaten Nduga, Provinsi Papua Pegunungan, telah menghabiskan waktu tujuh bulan sejak 7 Februari 2023. Kini, telah memasuki bulan ke 8 bila dihitung dari Februari.

Pihak Pemerintah Indonesia telah melakukan perbagai upaya untuk misi penyelamatan pilot dari tangan Panglima Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat Organisasi Papua Merdeka [TPNPB-OPM] Egianus Kogeya dan Komandan Operasi Kodap III Dugama-Darakma Pemne Kogoya. Namun, upaya itu mengalami kesulitan atau tidak membuahkan hasil yang diharapkan Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Selandia Baru serta keluarga Mehrtens.

Dialog

Dari sisi kemanusiaan selaku pembela HAM, sejak awal penulis berupaya membangun dan memberikan pengertian, pecerahan melalui sejumlah tulisan atau artikel. Tujuannya, agar TPNPB bisa mempertimbangkan upaya keselamatan Mehrtens, namun sepertinya belum efektif.

Poin artikel itu diarahkan langsung kepada pihak-pihak yang terlibat terhadap penyanderaan Mehrtens. Termasuk juga Pemerintah Indonesia agar masing-masing pihak bersedia membuka diri untuk berdialog dengan tokoh-tokoh politik Papua merdeka.

Namun sekali lagi, suara penulis selaku pegiat HAM belum ditanggapi serius. Nampaknya, ada kesan dialog tabu dan dipandang membahayakan pemerintah Indonesia dan negara sehingga upaya dialog menjauh.

Berbagai upaya dan cara penyelamatan Mehrtens telah dilakukan Pemerintah Indonesia melalui TNI-Polri dan juga dari Pemerintah Kabupaten [Pemkab] Nduga. Pendekatan tersebut yang lain juga dilakukan Michelle Kurisi Doga yang diungkapkan secara tertulis oleh sang bunda melalui laman Facebook pribadinya.

Ibunda Michelle menulis sebagai berikut: “Selamat jalan pahlawanku. Selamat jalan bunga bangsa. Mama kehilanganmu tapi mama bangga padamu. Kau mengajarkanku apa arti perjuangan. Chat terakhir ijin untuk pergi bebaskan Sandra pilot Susi Air di Dugama, tempat Egianus Kogeya. Dan benar kau pergi dan nyawamu habis di tangan Egianus demi misi kemanusiaan. Kalian boleh membunuh Michelle Kurisi. Darah yang mengalir di dalamnya tak akan pernah berhenti berjuang. Anak-anaknya akan tumbuh dan saya akan menceritakan peristiwa ini bagi kedua anak Michelle Kurisi Doga. Bahwa ibunya mati di tangan separatis biadab yang tidak mempunyai perikemanusiaan. Hai pembunuh, dengar! Perjuangamu untuk kemerdekaan Bangsa Papua tidak akan pernah berhasil.”

Mengapa saya [penulis] menulis lengkap kutipan artikel ibunda Michelle Kurisi Doga? Agar publik tahu, Michell Kurisi Doga telah melakukan pembicaraan khusus dengan ibunya bahwa Kurisi melaksanakan visi menyelamatkan pilot. Selain visi penyelamatan pilot ia juga punya visi membangun sebuah Yayasan. Nama yayasannya belum diketahui tetapi menurut Michelle yayasan ini akan bergerak di bidang perempuan dan anak. Kemudian ia ingin merangkul perempuan dan anak dan fokus merangkul perempuan dan anak-anak Nduga melalui yayasan dimaksud.

Namun visi yang yang dijalankan Kurisi gagal di persimpangan jalan, tak bisa berhasil karena berujung maut di tangan TPNPB. Hanya demi kepentingan penyelamatan sang pilot yang ditawan di tangan TPNPV Kodap III Dugama-Darakma, di bawah kendali Egianus Kogeya dan komandan operasi Penne Kogeya.

Mehrtens terancam

Publik juga tahu, sejumlah peristiwa terjadi berturut-turut dalam waktu yang singkat. Misalnya, pembunuhan terhadap Michelle pada 28 Agustus 2023 di Kampung Kolawa, Distrik Kolawa, Kabupaten Lany Jaya berbatasan antara Kabupaten Lany Jaya dan Kabupaten Jayawijaya.

Lalu pada 1 September 2023 pukul jam 03:00 WIT terjadi penyerangan di Alguru, Markas TPNPB yang dilakukan oleh anggota TNI yang menyebabkan tiga orang tewas yaitu Ganti Gwijangge, Werak Lokbere, dan Arikheba Kogeya.

Kemudian terjadi pembunuhan dan penangkapan beberapa kali terhadap masyarakat di Kabupaten Yahukimo dan Nduga, Papua Pegunugan. Dari semua peristiwa ini bisa dipastikan Mehrtens tidak merasa tenang. Secara fisik saya percaya ia merasa terancam dan terganggu, panik dan trauma. Kemungkinan keluarga Mehrtens juga mengalami hal yang sama.

Melihat kondisi seperti digambarkan penulis di atas, lahir pertanyaan apakah Mehrtens bisa diselamatkan? Nasib Mehrtens bisa di luar dugaan kalau tidak hati-hati memperjuangkan keselamatan pilot berkebangsaan Selandia Baru itu.

Media memberitakan, semua pihak mengatakan penyelamatan Mehrtens akan dilakukan dengan pendekatan humanis dan persuasif. Namun, akhir-akhir ini terjadi pembunuhan, penembakan, penyerangan di mana-mana yang berujung jatuh korban.

Penyelamatan Mehrtens bagian yang penting dan harus dilakukan. Beberapa bulan lalu saya menulis untuk sampaikan kepada TPNPB agar menunjuk tim negosiatornya. Sehingga negosiasi pembebasan Mehrtens dapat dilakukan. Namun, hingga saat ini belum juga disampaikan dan masih tertutup tim negosiasinya.

Perlu diketahui, Indonesia sedang menghadapi masalah dengan Selandia Baru atas penyanderaan Mehrtens. Penyanderaan ini dilakukan TPNPB di bawah kendali Egianus Kogeya. Tetapi Penyanderaan ini terjadi di bawah wilayah teritori Indonesia. Itu berarti kasus Mehrtens adalah masalah Indonesia, bukan masalah internal Papua atau masalah Egianus dan TPNPB.

Oleh karena itu, Pemerintah Indonesia harus segera menyelesaikan masalah Papua dan Indonesia melalui pintu dialog yang difasilitasi pihak ketiga. Sekalipun bagian ini terrasa berat bagi Pemerintah Indonesia namun harus dilakukan.

Sebagai pembela HAM di tanah Papua, ada kekhawatiran dengan situasi di akhir-akhir ini. Mehrtens bisa jadi korban di tangan TPNPB dan Pemerintah Indonesia. Ujungnya, Indonesia akan mendapat sorotan masyarakat internasional.

Kemudian perjuangan TPNPB menentukan nasib sendiri tidak akan mendapat simpatik lagi oleh masyarakat Internasional. Ini analisa penulis meski debatable. []

THEO HESEGEM
Pembela HAM Papua

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *