Jayapura, 8 Juni 2020.
Jayapura, Jubi – Koordinator Jaringan damai Papua dan Pastor-Pastor Katolik Pribumi dari lima keuskupan se-regio Papua Pastor Jhon Bunai, Pr meminta Buchtar Tabuni CS yang menjadi Tapol di Kalimantan, mendapatkan keadilan dari pengadilan.
Sebab menurut pihaknya, mereka bukan pelaku ujaran rasisme, melainkan menjadi korban atas tindakan Rasisme itu sendiri. Sehingga pihaknya mengutuk perlakuan rasisme, ketidakadilan dan segala bentuk kekerasan kepada umat Tuhan dan tidak menginginkan perlakuan rasis terjadi di seluruh Indonesia dan di tanah Papua.
“Kami mengutuk ketidak adilan dalam penegakan hukum yang dilakukan oleh JPU, Majelis Hakim kepada 7 tahanan politik. JPU menuntut Irwanus Uropmabin lima tahun penjara dan Buchtar Tabuni 17 tahun penjara. Steven Itlay 15 tahun penjara, Agus Kossay 15 tahun penjara, Alexander Gobay 10 tahun penjara, Fery Kombo 10 tahun penjara, dan Hengki Hilapok lima tahun penjara,” katanya saat menggelar jumpa pers di aula Kondius, Senin (8/6/2020).
Bunai mengatakan, ketidakadilan negara terhadap orang Papua itu terbukti saat persidangan tuntutan terhadap tahanan politik Papua.
Misalkan , Tri Susanti alias Mak Susi terdakwa kasus ujaran rasisme di asrama mahasiswa Papua divonis 7 bulan penjara oleh Pengadilan Negeri Surabaya, Senin (3/2/2020).Sedangkan korban rasisme Papua dituntut 5 tahun dan 17 tahun penjara oleh JPU dari Kejaksaan Tinggi Papua.
“Mereka ditangkap setelah aksi unjuk rasa nasional Papua mengecam ujaran rasisme di kota Jayapura 19 dan 29 Agustus 2020. Unjuk rasa itu merupakan protes terhadap ujaran rasisme yang dilemparkan terhadap Mahasiswa Asal Papua di Surabaya, Jawa Timur 16 Agustus 2019.Mereka adalah korban rasisme dan bukan pelaku rasisme,” katanya.
Bunai mengatakan, pihaknya menilai ada kerancuan dalam menangani para aktivis yang terkena akibat kasus rasisme ini. Mereka ditangkap dalam situasi demo nasional papua, demi harga diri manusia Papua yang direndahkan dan disamakan dengan monyet.
“Protes dilakukan secara damai hampir di seluruh Tanah Papua. Tetapi, kemudian “diprovokasi” oleh orang tak dikenal, demo yang murni berubah menjadi anarkistis. Ujungnya adalah penangkapan para aktivis. Mereka dipenjarakan atas tuduhan makar. Bagi kami ini namanya akalisasi kasus / pengalihan soal. Artinya, entah demi kepentingan siapa ? Kami juga pernah mendengar, ada rumor, yang beredar: “Kami sudah setengah mati tangkap mereka, baru mengapa kamu mau seenaknya saja bebaskan mereka. Kasih hukuman yang berat lah, supaya mereka sadar & tidak buat pusing kita lagi,” katanya.
Bunai mengatakan, pihaknya minta dengan hormat, segera bebaskan 7 tapol Papua korban kriminalisasi pasal makar.
“Diskriminasi, rasisme, kekerasan, ini masalah mendasar. Sebab itu berkaitan langsung dengan martabat manusia. Siapapun di dunia ini ketika martabatnya dihina akan memberontak. Sehingga harus ada penyelesaian persoalan diskriminasi rasial di indonesia dan Papua dengan dialog khususnya,” katanya.
Selain diskriminasi rasial, Bunai menyoroti ruang demokrasi yang dikekang. “Misalnya negara menghalangi mahasiswa yang melakukan demonstrasi untuk menyampaikan ketidak adilan, kebebasan pers, Kriminalisasi aktivis seperti Veronica Koman, Dandhy Laksono, Surya Anta, proses pembunuhan di luar hukum yang berujung ppada hak asasi manusia. Itu yang ditentang oleh Buchtar Tabuni Cs. Tetapi mengapa mereka diperlakukan seperti demikian,” katanya.
Advokat Koalisi Penegak Hukum dan Hak Asasi Manusia Papua, Emanuel Gobay selaku penasehat hukum tujuh Tapol Papua yang tengah diadili di Pengadilan Negeri Balikpapan, mempertanyakan beratnya tuntutan bagi ketujuh kliennya.
Gobay menyatakan tujuh Tapol Papua yang diadili di Pengadilan Negeri (PN) Balikpapan dituntut hukuman penjara antara lima tahun hingga 17 tahun.
Gobay membandingkan tuntutan itu dengan tuntutan bagi enam aktivis Papua yang juga diadili dalam perkara makar di PN Jakarta Pusat, dan dituntut hukuman penjara 1 tahun dan enam bulan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) di Jakarta.
Gobay menyebut perbedaan yang sangat mencolok antara tuntutan perkara makar tujuh tapol Papua di PN Balikpapan dan enam aktivis Papua di PN Jakarta Pusat itu bertentangan dengan Surat Edaran Jaksa Agung Nomor : 001/J.A/4/1995 tentang Pedoman Perumusan Tuntutan dalam Perkara Tindak Pidana Biasa.
“Perbedaan atau disparitas tuntutan JPU itu merupakan fakta kriminalisasi dengan mengenakan pasal makar terhadap tujuh tapol Papua,” ujar Gobay kepada Jubi.co.id.(*)