Westpapuanews.Org

Berita tangan pertama dari Tanah Papua

BACAAN PROGRESIF

Reformasi atau Revolusi – Bagian 5

ROSA LUXEMBURG

5. Konsekuensi Reformisme Sosial dan Watak Umum Revisionisme

Di bab pertama kami bermaksud menunjukkan bahwa teori Bernstein mencabut program gerakan sosialis lepas dari basis materialnya, dan berusaha meletakkan program gerakan sosialis di atas suatu basis yang idealis. Bagaimana teori ini berjalan ketika diterjemahkan ke dalam praktek?

Berdasarkan perbandingan pertama, praktek partai sebagai akibat dari teori Bernstein tidaklah nampak berbeda dengan praktek yang dianut oleh sosial-demokrasi sampai sekarang. Dahulu, aktivitas Partai Sosial-Demokrasi terdiri atas kerja serikat buruh, agitasi untuk memperjuangkan reformasi-reformasi sosial dan demokratisasi lembaga-lembaga politik yang ada. Perbedaannya bukanlah pada apa, melainkan pada bagaimana.

Sekarang ini, perjuangan serikat buruh dan praktek parlementer dianggap sebagai sarana pembinaan dan pendidikan proletariat dalam persiapan untuk tugas merebut kekuasaan. Dari sudut pandang revisionis, penaklukan kekuasaan ini adalah mustahil sekaligus sia-sia. Dan karenanya, aktivitas serikat buruh dan parlementer hendak dilaksanakan oleh partai hanya demi mencapai hasil-hasilnya yang mendesak, yakni untuk tujuan memperbaiki kondisi buruh yang kini ada, mengurangi eksploitasi kapitalis secara perlahan, dan perluasan kontrol sosial.

Dengan demikian, apabila kita tidak mempertimbangkan perbaikan sementara kondisi buruh yang mendesak -sebuah tujuan yang sama baik bagi program partai kita, maupun bagi revisionisme- maka perbedaan antara dua pandangan ini secara singkat adalah sebagai berikut. Menurut konsepsi partai yang kini ada, aktivitas serikat buruh dan parlementer itu penting bagi gerakan sosialis, karena aktivitas seperti itu bisa menyiapkan proletariat, yakni menciptakan faktor subyektif dari transformasi sosialis, demi tugas untuk mewujudkan sosialisme. Tetapi menurut Bernstein, aktivitas serikat buruh dan parlementer secara perlahan akan mengurangi eksploitasi kapitalis itu sendiri. Aktivitas tersebut akan melepaskan karakter kapitalis dari masyarakat kapitalis. Aktivitas tersebut akan secara obyektif mewujudkan perubahan sosial yang diinginkan.

Apabila diteliti secara seksama, kita akan melihat bahwa kedua konsepsi itu secara diametris bertentangan. Memandang situasi itu dari sudut pandang partai kita sekarang ini, kita katakan bahwa sebagai hasil dari perjuangan-perjuangan serikat buruh dan parlementer, proletariat menjadi yakin akan mustahilnya pencapaian suatu perubahan sosial yang fundamental melalui aktivitas seperti itu, sehingga sampai pada pemahaman bahwa penaklukan kekuasaan adalah tak terhindarkan. Bagaimanapun juga, teori Bernstein dimulai dengan menyatakan bahwa penaklukan seperti itu mustahil. Teori Bernstein menarik kesimpulan dengan menegaskan bahwa sosialisme hanya bisa diintrodusir sebagai hasil dari perjuangan serikat buruh dan aktivitas parlementer. Karena, sebagaimana dilihat oleh Bernstein, aksi serikat buruh dan parlementer memiliki suatu karakter sosialis, karena ia menjalankan pengaruh sosialisasi secara progresif terhadap ekonomi kapitalis.

Kita telah coba menunjukkan bahwa pengaruh semacam itu murni bersifat imajiner. Hubungan-hubungan antara properti kapitalis dan negara kapitalis berkembang dalam arah yang sama sekali berlawanan, sehingga aktivitas praktis sehari-hari dari Sosial-Demokrasi sekarang ini kehilangan -dalam analisis terakhir- semua hubungannya dengan kerja untuk mencapai sosialisme. Dari sudut pandang sebuah gerakan untuk mencapai sosialisme, perjuangan serikat buruh dan praktek parlementer kita amatlah penting sejauh keduanya membuat pemahaman serta kesadaran proletariat menjadi sosialistik, dan membantu dalam mengorganisir proletariat sebagai sebuah kelas. Namun ketika perjuangan serikat buruh dan praktek parlementer dianggap sebagai instrumen untuk melakukan sosialisasi secara langsung terhadap ekonomi kapitalis, maka keduanya tidak hanya kehilangan efektivitasnya yang lazim, melainkan juga tak lagi menjadi sarana untuk menyiapkan kelas pekerja bagi penaklukan kekuasaan. Eduard Bernstein dan Konrad Schmidt sama sekali salah mengerti ketika keduanya menghibur diri dengan keyakinan bahwa, meskipun program partai direduksi hanya menjadi kerja untuk mencapai reformasi-reformasi sosial dan kerja serikat buruh seperti biasa, namun tujuan akhir gerakan buruh tidaklah menjadi percuma, karena setiap langkah majunya bergerak melampaui tujuan jangka pendek tertentu, dan tujuan sosialis terimplikasi sebagai suatu kecenderungan dari kemajuan yang dikehendaki.

Tentu saja hal itu benar berkenaan dengan Sosial-Demokrasi Jerman. Hal tersebut benar, bilamana sebuah upaya yang tegas dan sadar untuk penaklukan kekuasaan politik menyuburkan perjuangan serikat buruh dan kerja untuk mencapai reformasi-reformasi sosial. Tetapi apabila upaya ini dipisahkan dari gerakan itu sendiri, dan reformasi-reformasi sosial dengan begitu dijadikan semata-mata sebagai tujuan, maka aktivitas tersebut bukan hanya tidak mengarah pada tujuan akhir sosialisme, melainkan bahkan bergerak dalam arah yang persis bertentangan.

Konrad Schmidt terjerumus pada ide bahwa jika suatu gerakan yang ternyata bersifat mekanis telah dimulai, maka ia tidak bisa berhenti sendiri, karena “selera seseorang justru tumbuh ketika makan,” dan kelas pekerja disangka tidak akan berpuas diri dengan reformasi-reformasi sampai transformasi akhir sosialis terwujud.

Memang kondisi yang disebutkan terakhir tadi cukup riil. Efektivitasnya dijamin oleh amat tidak memadainya reformasi kapitalis. Akan tetapi, kesimpulan yang ditarik dari hal itu hanya bisa menjadi benar jika memang memungkinkan untuk membangun sebuah rantai reformasi yang terus memanjang dan tak terputus, yang beranjak dari kapitalisme masa kini menuju sosialisme. Ini tentu saja hanya fantasi belaka. Sesuai dengan sifat segala sesuatu sebagaimana adanya, rantai akan putus dengan cepat, dan jalur yang bisa diambil oleh gerakan mulai saat itu, yang diharapkan untuk maju, adalah banyak dan bervariasi.

Apa akibat yang segera akan terjadi jika partai kita harus mengubah prosedur umumnya untuk disesuaikan dengan sudut pandang yang ingin menekankan perhatian pada hasil-hasil praktis dari perjuangan kita? Segera setelah “hasil-hasil jangka pendek” menjadi tujuan utama aktivitas kita, maka hal nyata yang tak terdamaikan dengan sudut pandang yang baru akan memiliki makna jikalau ia mengajukan konsep untuk memenangkan kekuasaan, akan didapati makin dan makin sulit. Konsekuensi langsung dari hal ini akan berupa adopsi oleh partai terhadap “kebijakan kompensasi”, yakni suatu kebijakan perdagangan politis, dan sebuah sikap yang kurang percaya diri, perdamaian diplomatis. Tetapi sikap ini tidak bisa berlanjut untuk waktu yang lama, karena reformasi sosial hanya bisa menawarkan janji kosong. Konsekuensi logis dari program seperti itu pastilah berupa kekecewaan.

Tidaklah benar bahwa sosialisme bisa muncul secara otomatis dari perjuangan sehari-hari kelas pekerja. Sosialisme akan menjadi konsekuensi dari [1] kontradiksi-kontradiksi yang tumbuh di dalam ekonomi kapitalis, dan [2] pemahaman oleh kelas pekerja tentang tak terhindarkannya penghapusan kontradiksi-kontradiksi ini melalui transformasi sosial. Apabila -dengan cara revisionisme- syarat pertama disanggah dan syarat kedua ditolak, maka gerakan buruh akan mendapati diri tereduksi menjadi semata-mata gerakan yang kooperatif dan reformis. Ini berarti kita bergerak dalam garis lurus menuju pengabaian total sudut pandang kelas.

Konsekuensi ini juga menjadi nyata apabila kita meneliti karakter umum revisionisme. Jelas bahwa revisionisme tidak ingin mengakui bahwa sudut pandangnya adalah sikap apologis kapitalis. Revisionisme tidak bergabung dengan ekonom-ekonom borjuis dalam menolak eksistensi kontradiksi-kontradiksi dalam kapitalisme. Namun, di sisi lain, apa yang memang merupakan titik fundamental revisionisme, dan membedakannya dengan sikap yang diambil oleh sosial-demokrasi sampai sekarang, ialah bahwa revisionisme tidak mendasarkan teorinya pada keyakinan bahwa kontradiksi-kontradiksi kapitalisme akan terhapuskan sebagai akibat perkembangan internal logis dari sistem ekonomi yang ada sekarang.

Kita bisa mengatakan bahwa teori revisionisme menempati sebuah ruang di antara dua hal ekstrem. Revisionisme tak ingin melihat matangnya kontradiksi-kontradiksi kapitalisme. Ia tidak mengajukan konsep untuk menghapuskan kontradiksi-kontradiksi ini melalui suatu transformasi revolusioner. Revisionisme ingin memperkecil, meredakan kontradiksi-kontradiksi kapitalis. Dengan demikian, pertentangan yang ada antara produksi dan pertukaran hendak diredakan dengan dihentikannya krisis dan dibentuknya persekutuan kapitalis. Pertentangan antara modal dan kerja hendak didamaikan dengan memperbaiki kondisi buruh dan dengan pelestarian kelas-kelas menengah. Dan kontradiksi antara negara kelas dan masyarakat hendak dihilangkan dengan cara kontrol negara yang meningkat serta kemajuan demokrasi.

Benar bahwa prosedur sosial-demokrasi yang ada sekarang ini tidak mengandung muatan untuk menunggu agar antagonisme-antagonisme kapitalisme berkembang dan kemudian sekedar berlanjut pada tugas untuk menghapuskan antagonisme-antagonisme tersebut. Sebaliknya, esensi dari prosedur revolusioner ialah akan dipandu oleh perkembangan ini ketika perkembangan itu telah bisa dipastikan, dan menarik kesimpulan dari arahan ini tentang konsekuensi-konsekuensi apa yang diperlukan bagi perjuangan politik. Jadi, sosial-demokrasi telah melawan perang tarif dan militerisme tanpa menunggu karakter reaksioner kedua hal itu menjadi jelas. Prosedur Bernstein tidak dipandu oleh suatu pertimbangan tentang perkembangan kapitalisme, oleh prospek tentang menajamnya kontradiksi-kontradiksi kapitalis. Prosedur Bernstein dipandu oleh prospek tentang meredanya kontradiksi-kontradiksi ini. Dia menunjukkan hal ini ketika berbicara tentang “adaptasi” ekonomi kapitalis.

Lalu, kapan konsepsi itu bisa menjadi benar? Jika benar bahwa kapitalisme akan terus berkembang dalam arah yang ditempuhnya sekarang ini, maka kontradiksi-kontradiksinya pasti akan menajam serta semakin parah, dan bukan melenyap. Kemungkinan berkurangnya kontradiksi-kontradiksi tersebut mengasumsikan bahwa corak produksi kapitalis itu sendiri akan menghentikan gerak majunya. Singkatnya, syarat umum bagi teori Bernstein adalah berhentinya perkembangan kapitalis.

Namun demikian, teori Bernstein menunjukkan kesalahannya sendiri secara duakali lipat.

Pertama, teori itu memanifestasikan karakter utopisnya dalam sikapnya tentang pembangunan sosialisme. Karena sudah jelas, bahwa perkembangan kapitalis yang tak sempurna tidak bisa menuju pada suatu transformasi sosialis.

Kedua, teori Bernstein mengungkap karakter reaksionernya ketika ia mengacu pada perkembangan pesat kapitalis yang terjadi di masa sekarang. Dengan mengasumsikan perkembangan kapitalisme yang sesungguhnya, bagaimana kita bisa menjelaskan -atau lebih tepatnya menyatakan- posisi Bernstein?

Pada bab pertama kita telah menunjukkan tidak konkretnya basis kondisi-kondisi ekonomi, yang berlandaskan itu Bernstein membangun analisisnya mengenai hubungan sosial yang ada. Kita telah melihat bahwa, baik sistem kredit maupun kartel, tidak bisa dikatakan sebagai “sarana adaptasi” ekonomi kapitalis. Kita telah melihat bahwa, bahkan berhenti-sementaranya krisis, ataupun bertahan hidupnya kelas menengah, tidak bisa dianggap sebagai gejala-gejala adaptasi kapitalis. Tetapi, meskipun kita akan gagal menjelaskan sifat keliru dari semua hal rinci dalam teori Bernstein, namun kita tak berdaya kecuali dihentikan sejenak oleh satu gambaran yang sama dari semua hal rinci tersebut. Teori Bernstein tidak menangkap manifestasi-manifestasi dari kehidupan ekonomi kontemporer ini sebagaimana manifestasi tersebut muncul dalam hubungan organiknya dengan keseluruhan perkembangan kapitalis, dengan keseluruhan mekanisme ekonomi kapitalisme. Teori Bernstein menarik hal-hal rinci itu keluar dari konteks ekonominya yang hidup. Teori ini memperlakukan hal-hal rinci tersebut sebagai disjecta membra (bagian-bagian yang terpisah) dari sebuah mesin mati.

Lihatlah, misalnya, konsepsi Bernstein tentang efek adaptif dari kredit. Jika kita mengenali kredit sebagai suatu tahap alami yang lebih tinggi dari proses pertukaran, dan karenanya juga merupakan tahap alami yang lebih tinggi dari kontradiksi-kontradiksi yang inheren dalam pertukaran kapitalis, maka kita tidak bisa sekaligus melihatnya sebagai sarana mekanis adaptasi yang berada di luar proses pertukaran. Demikian pula, adalah mustahil untuk menganggap uang, barang dagangan dan modal sebagai “sarana adaptasi” kapitalisme.

Bagaimanapun juga, kredit, seperti juga uang, komoditas-komoditas dan modal, adalah suatu link organik dari ekonomi kapitalis pada suatu tahap perkembangannya yang tertentu. Seperti uang, komoditas dan modal, kredit merupakan alat yang sangat dibutuhkan dalam mekanisme ekonomi kapitalis, dan sekaligus merupakan instrumen penghancur, karena ia mempertajam kontradiksi-kontradiksi internal kapitalisme.

Hal yang sama juga berlaku pada kartel dan sarana-sarana komunikasi baru yang disempurnakan.

Pandangan mekanis yang sama disajikan oleh Bernstein dalam upaya untuk menjelaskan tentang harapan berhentinya krisis sebagai suatu gejala “adaptasi” ekonomi kapitalis. Bagi Bernstein, krisis hanyalah kekacauan mekanisme ekonomi. Dengan berhentinya kekacauan itu, dia pikir, mekanisme akan bisa berfungsi dengan baik. Namun faktanya ialah bahwa krisis bukanlah “kekacauan” dalam makna kata yang biasanya. Krisis adalah “kekacauan-kekacauan”, yang tanpa itu ekonomi kapitalis tidak bisa berkembang sama sekali. Karena apabila krisis memunculkan satu-satunya metode yang mungkin dalam kapitalisme -dan karena itu, merupakan metode yang normal- untuk menyelesaikan secara periodik konflik yang ada antara perluasan produksi yang tak terbatas dan batas-batas sempit pasar dunia, maka krisis adalah manifestasi organik yang tidak bisa dipisahkan dari ekonomi kapitalis.

Dalam kemajuan produksi kapitalis yang “tak terhalangi” tersembunyi suatu ancaman yang lebih besar daripada krisis. Ia adalah ancaman jatuhnya tingkat keuntungan secara konstan yang diakibatkan bukan hanya oleh kontradiksi antara produksi dan pertukaran, melainkan juga oleh pertumbuhan produktivitas kerja itu sendiri. Jatuhnya tingkat keuntungan memiliki kecenderungan sangat berbahaya, yakni menyebabkan tidak-mungkinnya bisnis apapun bagi modal kecil dan menengah. Dengan begitu, jatuhnya tingkat keuntungan membatasi pembentukan baru dan -karenanya- juga perluasan penempatan modal.

Dan memang krisislah yang memunculkan konsekeuensi lain itu dari proses yang sama. Sebagai akibat dari depresiasi modalnya yang periodik, krisis membawa kejatuhan dalam harga alat produksi, kelumpuhan suatu bagian dari modal aktif, dan pada waktunya juga macetnya peningkatan keuntungan. Dengan demikian, krisis menciptakan kemungkinan-kemungkinan kemajuan produksi yang diperbaharui. Karena itu, krisis muncul sebagai instrumen untuk menyalakan kembali api perkembangan kapitalis. Berhentinya krisis -bukan berhenti yang sementara, melainkan melenyapnya secara total di pasar dunia- tidak akan menyebabkan perkembangan lebih lanjut ekonomi kapitalis. Ia akan menghancurkan kapitalisme.

Selaras dengan pandangan mekanis dari teorinya tentang adaptasi, Bernstein melupakan kebutuhan akan krisis, maupun kebutuhan akan penempatan-penempatan baru modal-modal kecil dan menengah. Dan itulah mengapa kemunculan kembali modal kecil secara konstan, bagi Bernstein nampak menjadi tanda berhentinya perkembangan kapitalis, meskipun pada kenyataannya itu adalah suatu gejala dari perkembangan kapitalis yang normal.

Penting untuk dicatat bahwa terdapat suatu sudut pandang dari mana semua fenomena yang telah disebutkan di atas dipandang secara tepat sebagaimana fenomena-fenomana itu telah disajikan oleh teori “adaptasi”. Ia adalah sudut pandang tentang kapitalis yang terisolasi (tunggal) yang mencerminkan dalam pikirannya fakta-fakta ekonomi di sekelilingnya, hanya karena fakta-fakta itu muncul ketika dibiaskan oleh hukum-hukum persaingan. Kapitalis yang terisolasi melihat masing-masing bagian organik dari keseluruhan ekonomi kita sebagai suatu entitas independen. Dia melihat krisis itu hanya sebagaimana yang berlaku pada dirinya, seorang kapitalis tunggal. Karena itu, dia menganggap fakta-fakta ini merupakan “kekacauan” sederhana dari “sarana adaptasi” sederhana. Bagi kapitalis yang terisolasi, benar bahwa krisis memang merupakan kekacauan sederhana; berhentinya krisis memungkinkan kapitalis itu untuk memiliki eksistensi yang lebih lama. Sejauh berkenaan dengan kapitalis semacam ini, kredit hanyalah suatu sarana untuk “mengadaptasikan” kekuatan-kekuatan produktifnya yang tak memadai terhadap kebutuhan-kebutuhan pasar. Dan nampak bagi dia bahwa kartel yang mana dia menjadi seorang anggotanya, benar-benar menghapuskan anarki industri.

Revisionisme tak lain adalah sebuah generalisasi teoritis yang disusun dari sudut pandang kapitalis yang terisolasi. Secara teoritis, sudut pandang ini masuk ke bagian yang mana, kalau bukan ke dalam ekonomi borjuis?

Segala kesalahan aliran pemikiran ini persis terletak pada konsepsi yang keliru memahami fenomena persaingan sebagai sesuatu yang dilihat dari sudut pandang kapitalis tunggal, lalu diterapkan pada fenomena keseluruhan ekonomi kapitalis. Tepat sebagaimana Bernstein menganggap kredit sebagai suatu sarana “adaptasi” terhadap kebutuhan-kebutuhan pertukaran, maka ekonomi vulgar pun berusaha menemukan penawar racun untuk melawan penyakit-penyakit kapitalisme dalam fenomena-fenomena kapitalisme. Seperti Bernstein, ekonomi vulgar juga yakin bahwa adalah mungkin untuk mengatur ekonomi kapitalis. Dan seperti cara Bernstein pula, ekonomi vulgar pada waktunya sampai pada keinginan untuk meredakan kontradiksi-kontradiksi kapitalisme, yakni pada keyakinan akan kemungkinan untuk menambal luka-luka kapitalisme. Ekonomi vulgar berujung dengan menjanjikan sebuah program reaksi. Ekonomi vulgar berujung pada suatu utopia.

Karena itu, teori revisionisme dapat didefinisikan dengan cara berikut ini. Ia adalah sebuah teori tentang keadaan tak-bergerak dalam gerakan sosialis, yang dibangun -dengan bantuan ekonomi vulgar- di atas landasan sebuah teori tentang berhentinya perkembangan kapitalis. — Bersambung ke Bagian Enam

One thought on “Reformasi atau Revolusi – Bagian 5

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *