ROSA LUXEMBURG
4. Kapitalisme dan Negara
Syarat kedua dari realisasi sosialisme secara perlahan, menurut Bernstein, adalah evolusi negara dalam masyarakat. Telah menjadi sesuatu yang lumrah untuk mengatakan bahwa negara yang ada sekarang ini adalah negara kelas. Hal ini juga, seperti segala sesuatu yang mengacu pada masyarakat kapitalis, hendaknya tidak dipahami dengan cara yang absolut dan kaku, melainkan secara dialektis.
Negara menjadi kapitalis karena adanya kemenangan politik borjuasi. Perkembangan kapitalis mengubah secara esensial watak negara, memperluas lingkup tindakan negara, secara konstan memaksakan fungsi-fungsi baru pada negara [khususnya fungsi-fungsi yang mempengaruhi kehidupan ekonomi], membuat intervensi dan kontrol negara dalam masyarakat menjadi makin dan makin diperlukan. Dalam hal ini, perkembangan kapitalis sedikit demi sedikit menyiapkan penggabungan [fusi] negara dengan masyarakat di masa depan. Maksudnya ialah bahwa perkembangan kapitalis menyiapkan kembalinya negara kepada masyarakat. Mengikuti garis pikiran ini, seseorang bisa berbicara tentang evolusi negara kapitalis menjadi masyarakat, dan ini tak ragu lagi adalah apa yang ada dalam pikiran Marx ketika ia mengacu pada legislasi tentang kerja sebagai intervensi secara sadar yang pertama dari “masyarakat” dalam proses sosial yang vital. Sebuah frasa yang kepadanya Bernstein sangat bergantung.
Akan tetapi, di sisi lain, perkembangan kapitalis yang sama mewujudkan transformasi lain dalam hal watak negara. Negara yang ada sekarang pertama-tama adalah sebuah organisasi dari kelas yang berkuasa/memerintah. Ini mengasumsikan fungsi-fungsi yang mendukung perkembangan sosial, khususnya karena -dan dalam ukuran bahwa- kepentingan-kepentingan ini dan perkembangan-perkembangan sosial sesuai -dalam model yang umum- dengan kepentingan-kepentingan dari kelas yang dominan. Legislasi tentang kerja diundangkan berdasarkan kepentingan mendesak kelas kapitalis, selaras dengan kepentingan masyarakat secara umum. Tetapi harmoni ini hanya bertahan sampai suatu titik tertentu dari perkembangan kapitalis. Ketika perkembangan kapitalis telah mencapai suatu tingkat tertentu, maka kepentingan borjuasi sebagai sebuah kelas, dan kebutuhan akan kemajuan ekonomi, mulai berbenturan, bahkan dalam makna kapitalis. Kita percaya bahwa fase ini telah dimulai. Ia mewujudkan diri dalam dua fenomena yang sangat penting dari kehidupan sosial kontemporer: di satu sisi, kebijakan tentang proteksi tarif dan di sisi lain, militerisme. Kedua fenomena ini telah memainkan peran yang sangat dibutuhkan dan -dalam makna itu- bersifat revolusioner sepanjang sejarah kapitalisme. Tanpa adanya proteksi tarif, perkembangan industri besar akan menjadi mustahil di beberapa negeri. Namun sekarang situasinya berbeda.
Sekarang ini, proteksi tidak begitu berperan dalam mengembangkan industri muda untuk secara artifisial mempertahankan bentuk-bentuk produksi tertentu yang sudah tua.
Dari sudut perkembangan kapitalis, yakni dari titik pandang dunia ekonomi, hanyalah persoalan kecil apakah Jerman mengekspor lebih banyak barang dagangan ke Inggris, ataukah Inggris mengekspor lebih banyak barang dagangan ke Jerman. Dari sudut pandang perkembangan ini, bisa dikatakan bahwa sang blackamoor telah melakukan pekerjaannya, dan kini waktunya bagi dia untuk berjalan dengan caranya sendiri. Dengan adanya kondisi tertentu berupa ketergantungan resiprokal, yang itu didapati oleh berbagai cabang industri, maka suatu tarif proteksionis pada komoditas apapun akan mengakibatkan naiknya biaya produksi komoditas-komoditas lainnya di dalam negeri itu. Karena itu, ia merintangi perkembangan industri. Tetapi tidaklah demikian halnya dari sudut pandang kepentingan kelas kapitalis. Walaupun industri tidak memerlukan proteksi tarif untuk perkembangannya, namun bisnis memerlukan tarif untuk melindungi pasarnya. Ini menandakan bahwa di masa sekarang, tarif tidak lagi berfungsi sebagai sarana untuk melindungi suatu bagian kapitalis yang sedang berkembang terhadap bagian-bagian lain yang sudah lebih maju. Tarif kini adalah senjata yang digunakan oleh satu kelompok kapitalis nasional untuk menghadapi kelompok lainnya. Lebih jauh, tarif kini bukan lagi merupakan instrumen proteksi bagi industri dalam geraknya untuk menciptakan dan menguasai pasar dalam negeri. Tarif sekarang ini adalah sarana yang sangat dibutuhkan untuk kartelisasi industri, yakni sarana yang digunakan dalam perjuangan para produsen kapitalis untuk menghadapi masyarakat konsumen dalam agregat itu. Apa yang dengan cara empatik menjelaskan karakter spesifik dari kebijakan-kebijakan tentang pajak impor kontemporer adalah fakta bahwa sekarang ini bukan industri, melainkan pertanian lah yang memainkan peran utama dalam penentuan tarif. Kebijakan tentang proteksi pajak impor telah menjadi suatu alat untuk mengkonversikan dan mengekspresikan kepentingan-kepentingan feodal dalam bentuk kapitalis.
Perubahan yang sama telah terjadi dalam militerisme. Apabila kita mempertimbangakan sejarah seperti apa adanya dulu, bukan apa yang bisa jadi atau seharusnya bisa jadi, maka kita harus mengakui bahwa perang telah menjadi bagian istimewa yang sangat dibutuhkan dalam perkembangan kapitalis. Amerika Serikat, Jerman, Italia, negara-negara Balkan, Polandia, semuanya berhutang budi kepada perang untuk perkembangan kapitalisnya, baik perang itu berakhir dengan kemenangan ataupun dengan kekalahan. Selama ada negeri-negeri yang ditandai dengan pembagian politik atau isolasi ekonomi internal yang harus dihancurkan, maka militerisme memainkan sebuah peran revolusioner jika dilihat dari sudut pandang kapitalisme. Namun sekarang ini situasinya berbeda. Jika politik dunia telah menjadi tahap yang mengancam munculnya konflik-konflik, maka ia bukan lagi merupakan persoalan terbukanya negeri-negeri baru bagi kapitalisme. Ia adalah persoalan yang telah ada dalam pertikaian-pertikaian Eropa, yang kemudian dikirimkan ke negeri-negeri lain, lalu meledak di sana. Lawan-lawan bersenjata yang kini kita lihat di Eropa dan benua-benua lainnya tidak membariskan diri sebagai negeri-negeri kapitalis di satu sisi, dan sebagai negeri-negeri terbelakang di sisi lain. Mereka adalah negara-negara yang dipaksa berperang, khususnya sebagai akibat perkembangan kapitalisnya yang maju secara serupa. Dalam pandangan ini, sebuah ledakan pasti akan fatal bagi perkembangan itu, dalam hal bahwa ia pasti memprovokasi kekacauan yang sangat mendalam dan transformasi kehidupan ekonomi di semua negeri.
Namun demikian, persoalan ini muncul secara sama sekali berbeda jika dilihat dari pandangan kelas kapitalis. Bagi kelas kapitalis, militerisme telah menjadi sangat dibutuhkan. Pertama, sebagai suatu sarana perjuangan untuk membela kepentingan “nasional” dalam persaingan melawan kelompok-kelompok “nasional” lainnya. Kedua, sebagai suatu metode penempatan untuk modal finansial dan industri. Ketiga, sebagai suatu instrumen dominasi kelas terhadap populasi pekerja di dalam negeri. Di dalam dirinya sendiri, kepentingan-kepentingan ini tidak memiliki kesamaan dengan perkembangan corak produksi kapitalis. Apa yang paling menunjukkan karakter khusus dari militerisme sekarang ini adalah fakta bahwa militerisme berkembang secara umum di semua negeri sebagai suatu akibat -boleh dikatakan- dari kekuatan motif internalnya sendiri yang mekanis. Sebuah fenomena yang sama sekali belum dikenal beberapa dekade yang lalu. Kita mengenali hal ini dalam karakter fatal dari ledakan di ambang pintu yang tak terhindarkan, meskipun terdapat keraguan total mengenai tujuan-tujuan dan motif-motif konflik. Perkembangan militerisme telah berubah dari motor kapitalis, menjadi suatu penyakit kapitalis.
Dalam perbenturan antara perkembangan kapitalis dan kepentingan kelas yang dominan, negara mengambil posisi di pihak kelas yang dominan. Kebijakan negara, seperti juga kebijakan borjuasi, menjadi berkonflik dengan perkembangan sosial. Dengan begitu, negara makin dan makin kehilangan karakternya sebagai representasi dari keseluruhan masyarakat, dan dengan tingkat yang sama pula bertransformasi menjadi murni sebuah negara kelas. Atau lebih tepatnya, dua kualitas ini semakin membedakan diri dari satu sama lain, dan mendapati dirinya pada hubungan yang bertentangan dalam watak hakiki negara. Kontradiksi ini secara progresif menjadi bertambah tajam. Ini karena di satu sisi, kita mengalami pertumbuhan fungsi-fungsi dari suatu kepentingan umum pada bagian negara, intervensinya dalam kehidupan sosial, “kontrol”nya terhadap masyarakat. Namun, di sisi lain, karakter kelasnya mengharuskan negara untuk makin dan makin menggerakkan poros aktivitas dan alat kekerasannya ke dalam ranah-ranah yang berguna hanya bagi karakter kelas borjuasi, sedangkan bagi masyarakat secara keseluruhan hanyalah mendatangkan arti penting yang negatif, sebagaimana dalam hal militerisme serta kebijakan-kebijakan tarif dan kolonial. Terlebih lagi, “kontrol sosial” yang dipraktekkan oleh negara ini sekaligus menerobos dengan -dan didominasi oleh- karakter kelasnya [lihatlah bagaimana legalisasi tentang kerja diterapkan di semua negeri].
Perluasan demokrasi, yang dilihat Bernstein sebagai suatu sarana untuk mewujudkan sosialisme secara bertahap, tidaklah bertentangan, justru sebaliknya secara sempurna berkesesuaian dengan transformasi yang diwujudkan dalam watak negara.
Konrad Schmidt menyatakan bahwa kemenangan suatu mayoritas sosial-demokratik di parlemen akan secara langsung menyebabkan terjadinya “sosialisasi” masyarakat. Kini, bentuk-bentuk demokratis dari kehidupan politik tak ragu lagi merupakan fenomena yang mengekspresikan secara jelas evolusi negara dalam masyarakat. Bentuk-bentuk demokratis ini pada batas itu memang menimbulkan suatu gerak menuju suatu transformasi sosialis. Tetapi konflik di dalam negara kapitalis seperti diuraikan di atas, termanifestasi sendiri bahkan secara lebih empatik dalam parlementarisme moderen. Sesungguhnya, sesuai dengan dengan bentuknya, parlementarisme berfungsi untuk mengekspresikan -di dalam organisasi negara-kepentingan-kepentingan dari seluruh masyarakat. Namun apa yang diekspresikan oleh parlementarisme di sini adalah masyarakat kapitalis, yaitu suatu masyarakat di mana kepentingan-kepentingan kapitalis lebih berkuasa. Dalam masyarakat seperti ini, lembaga-lembaga perwakilan yang demokratis dalam bentuknya, ternyata dalam isinya adalah instrumen dari kepentingan kelas yang berkuasa. Hal ini termanifestasi sendiri dengan model yang nyata dalam fakta bahwa segera setelah demokrasi menunjukkan kecenderungan untuk menegasikan karakter kelasnya dan mulai tertransformasikan menjadi instrumen dari kepentingan riil populasi, maka bentuk-bentuk demokratis itupun dikorbankan oleh borjuasi dan oleh wakil-wakil negaranya. Itulah mengapa ide tentang penaklukan oleh suatu mayoritas reformis parlementer merupakan perhitungan yang -sepenuhnya dalam semangat liberalisme borjuis- berasyik-asyik sendiri hanya memikirkan satu sisi, yakni sisi formal demokrasi, namun tidak mempertimbangkan sisi lainnya, yakni kandungan sesungguhnya dari demokrasi. Seluruhnya, parlementarisme bukanlah suatu elemen sosialis langsung yang membuahi seluruh masyarakat kapitalis secara perlahan. Sebaliknya, parlementarisme adalah bentuk spesifik dari negara kelas borjuis yang membantu mematangkan dan mengembangkan pertentangan-pertentangan yang kini ada dalam kapitalisme.
Dari sudut sejarah perkembangan obyektif negara, keyakinan Bernstein dan Konrad Schmidt bahwa “kontrol sosial” yang meningkat menghasilkan pengantar langsung menuju sosialisme, tertransformasikan menjadi suatu rumusan yang mendapati dirinya sendiri semakin berkontradiksi dengan realitas dari hari ke hari.
Teori introduksi sosialisme secara perlahan mengajukan reformasi progresif terhadap kepemilikan kapitalis dan negara kapitalis dalam arahan sosialisme. Namun, sebagai konsekuensi dari hukum-hukum obyektif masyarakat yang kini ada, satu dan lainnya berkembang dalam arah yang persis berlawanan. Proses produksi semakin tersosialisasi, dan intervensi negara, yakni kontrol negara terhadap proses produksi, menjadi semakin luas. Tetapi pada saat yang sama, properti pribadi makin dan makin menjadi bentuk dari eksploitasi kapitalis secara terbuka terhadap kerja orang lain, dan kontrol negara diterobos dengan adanya kepentingan-kepentingan eksklusif dari kelas yang berkuasa. Negara [organisasi politik dari kapitalisme] dan hubungan-hubungan kepemilikan [organisasi yuridis dari kapitalisme] menjadi semakin bersifat kapitalis, dan bukan sosialis, menghadapkan pada teori introduksi sosialisme secara progresif, dua kesulitan yang tak bisa ditanggulangi.
Skema Fourier tentang mengubah air -melalui sebuah sistem phalansteries- di seluruh laut menjadi limun yang sedap tentunya merupakan ide yang fantastis. Tetapi Bernstein, dengan mengajukan gagasan untuk mengubah lautan kepahitan kapitalis menjadi lautan manisnya sosialis dengan secara progresif menuangkan limun reformis sosial ke dalam lautan itu, sesungguhnya menyajikan sebuah ide yang sekedar menjadi makin hambar, namun tak lagi fantastis.
Relasi-relasi produksi di masyarakat kapitalis makin dan makin mendekati relasi-relasi produksi masyarakat sosialis. Tetapi di sisi lain, hubungan-hubungan politik dan yuridisnya menegakkan tembok kokoh di antara masyarakat kapitalis dan masyarakat sosialis. Tembok ini belum hancur, namun sebaliknya diperkuat dan dikonsolidasikan oleh perkembangan reformasi sosial dan jalannya demokrasi. Hanya pukulan palu revolusi, yakni penaklukan kekuasaan politik oleh proletariat lah yang bisa menghancur-leburkan tembok itu. — Bersambung ke Bagian 5
Pingback: Reformasi atau Revolusi – Bagian 3 – Westpapuanews.Org