Fakta : Komunikasi Politik dan Hubungan Sosial antar Pemerintah Indonesia dengan Rakyat Papua Barat sudah Rusak dan Buruk

Oleh : Gembala Dr. Ambirek G. Socratez Yoman

(Apakah penembakan Kepala BIN di Tanah Papua Barat, Brigjen TNI I Gusti Putu Danny Karya Nugraha di Distrik Beoga, Puncak, Papua Barat, pada Minggu, 25 April 2021 dan beberapa anggota TNI di Maybrat, di Nduga dan Yahukimo, dikatakan 99% tidak ada masalah di Papua Barat?)

Ikan biasanya mulai membusuk dari kepalanya dan diikuti bagian-bagian tubuh lain. Jadi, Kepala Negara, orang nomor satu dari Republik Indonesia, Ir. Joko Widodo telah merusak komunikasi politik dan interaksi sosial di di Tanah Papua Barat dengan mengatakan 99% tidak ada masalah di Tanah Papua Barat. Ini bukti rusaknya dan buruknya hubungan pemerintah Indonesia dengan rakyat dan bangsa Papua Barat selama bertahun-tahun. Ada kebohongan dan kejahatan Negara yang dipelihara dengan pernyataan-pernyataan di publik ( public statement).Menurut saya pernyataan Ir. Joko Widodo juga disemangati watak rasialisme yang menjadi landasan pendudukan, penjajahan, pemusnahan Penduduk Orang Asli Papua demi kepentingan politik dan ekonomi atau sumber daya alam di Tanah Papua Barat.

Saya kutip pernyataan Presiden RI Ir. Joko Widodo pada 8 Juli 2023 sebagai berikut: “Jangan dilihat (negatif). Karena memang secara umum, 99 persen itu gak ada masalah. Jangan masalah kecil dibesar-besarkan. Semua di tempat, di manapun, di Papua kan juga aman-aman saja”.”Kita karnaval juga aman, kita ke sini juga gak ada masalah, ya kan? Kita malam makan di restoran juga gak ada masalah. Jangan dikesankan justru yang dibesarkan yang negatif-negatif. Itu merugikan Papua sendiri”.

Benar, ya dan amin, apa yang sering disampaikan oleh ilmuwan Prof. Rocky Gerung dan ekonom Rizal Ramli dan tokoh pelopor reformasi Indonesia Dr. Amein Rais, bahwa komunikasi politik Presiden Republik Indonesia Ir. Joko Widodo telah rusak. Saya sering berfikir, apakah suara-suara ini adalah orang-orang lawan politik, tersingkir atau barisan ‘sakit hati’, tetapi, saya diyakinkan apa yang sering disampaikan oleh orang-orang pintar ini hampir 99% benar, karena Presiden RI Ir. Joko Widodo sendiri menyampaikan kerusakan dan buruknya komunikasi politik dan interaksi sosial di Indonsia. Itu terbukti pada 7 Juli 2023 di Tanah Papua Barat pada saat kunjungan ke-17.Akibat dari pernyataan ini Negara telah memperkuat ‘botaknya’ atau hilangnya kepercayaan rakyat dan bangsa Papua Barat dari Sorong-Merauke kepada penguasa kolonial Republik Indonesia yang menduduki, menjajah dan menindas serta memusnahkan Penduduk Orang Asli Papua (POAP). Penyataan Ir. Joko Widodo melanggengkan dan memperkokoh jari-jari atau kuku rasisme, militerisme, kolonialisme, kapitalisme, imperialisme, ketidakadilan, pelanggaran HAM berat, stigma-stigma, label dan marginalisasi, pemusnahan etnis secara sistematis, terprogram, terstruktur, masif, meluas dan kolektif selama 62 tahun sejak 19 Desember 1961 sampai sekarang. Anak bangsa, anggota TNI-Polri berguguran di hutan dan belantara ditangan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) dari Sorong-Merauke.

Kepala BIN di Tanah Papua Barat, Brigjen TNI I Gusti Putu Danny Karya Nugraha ditembak mati TPNPB di Distrik Beoga, Puncak, Papua Barat, pada Minggu, 25 April 2021.

Ada empat anggota TNI ditembak mati di Maybrat pada 2/9/2021, yakni  Komandan Pos Koramil Kisor Letnan Satu (Inf) Dirman, Sersan Dua Ambrosius Yudiman, Prajurit Kepala Muhammad Dirhamsyah, dan Prajurit Satu Zul Ansari Anwar.

Pada 14-15 April 2023 di Distrik Bugi, Kabupaten Nduga, Papua Barat, ada empat anggota TNI ditembak mati oleh TPNPB. Nama-nama korban sebagai berikut:

1) Alm. Pratu Miftahul Arifin (Yonif R 321/GT/13/1 Kostrad.

(2) Alm. Pratu Ibrahim (Yonif R 321/GT/13/1 Kostrad.

(3) Alm. Pratu Kurniawan (Yonif R 321/GT/13/1 Kostrad.

(4) Alm. Prada Sukra (Yonif R 321/GT/13/1 Kostrad.

Enam oknum TNI AD yang diduga terlibat kasus Mutilasi di Mimika ini berinisial Mayor Inf HF, Kapten Inf DK, Praka PR, Pratu RAS, Pratu RPC, dan Pratu R. Mereka merupakan anggota dari kesatuan Brigif 20 Kostrad. Empat korban adalah Arnold Lokbere, Leman Nirigi, Iran Nirigi, dan Atis Titini dimutilasi pada 22 Agustus 2022.

Penyanderaan Pilot Capt. Philip Mark Merhthens pada 7 Februari 2023 di Distrik Paro, Kabupaten Nduga yang dilakukan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) dibawah pimpinan Egianus Kogeya sampai sudah memasuki enam bulan. Kematian secara misterius tokoh pejuang perdamaian dan kebebasan rakyat dan bangsa Papua Barat alm. Filep Samuel Karma di Pantai Base pada 1 November 2022.

Rakyat dan bangsa Papua Barat dengan wadah politik resmi United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) terus bergerak untuk Penentuan Nasib Sendiri dan sementara Pemerintah Indonesia sibuk lobby Australia 4-5 Juli 2023 dan PNG pada 5 Juli 2023 dan diplomat Indonesia membawa uang ke Negara-Negara anggota MSG dan PIF ini. Persoalan Papua Barat yang berumpuk-tumpuk ini yang dikatakan: “Jangan dilihat (negatif). Karena memang secara umum, 99 persen itu gak ada masalah. Jangan masalah kecil dibesar-besarkan….”Melihat tumpukan persoalan seperti ini, alangkah indahnya dan berhikmatnya kalau seorang presiden RI Ir. Joko Widodo mengatakan: “Ya, di Tanah Papua ini memang ada banyak masalah, tapi, mari, masalah-masalah ini kita bisa atasi, tangani atau selesaikan secara proporsional dan profesional dengan pendekatan hukum, politik dan humanis.

“Tetapi, sayang sekali, seorang Kepala Negara Presiden Republik Indonesia, Ir. Joko Widodo yang sudah bekerja keras berkenjung ke Tanah Papua Barat selama 17 kali, waktu yang sangat banyak dan luar biasa, ternyaya Presiden tidak mampu mempelajari, memahami, menyelami, menyerap dan mengerti seluruh akar konflik Papua Barat dengan Indonesia yang merupakan tragedi kemanusiaan terlama di Asia Pasifik.

Waktu 17 kali sangat cukup dan terlalu banyak bagi seorang Presiden untuk merekam dan menangkap berbagai bentuk persoalan yang dialami dan dihadapi Penduduk Orang Asli Papua. Persoalan konflik selama 62 tahun sejak 19 Desember 1961 adalah sudah menjadi seperti LUKA MEMBUSUK & BERNANAH. KARENA, masalah konflik Papua Barat adalah luka membusuk dalam tubuh bangsa Indonesia. Kata “luka, luka membusuk, luka bernanah” diungkapkan oleh orang-orang yang berpikir dan peduli terhadap penderitaan, ketidakadilan yang dialami oleh rakyat dan bangsa Papua Barat. Saya secara konsisten dan terus-menerus mengutip apa yang digambarkan oleh Prof. Dr. Franz Magnis dan Pastor Frans Lieshout, OFM, dan juga Ibu Dr. Anti Solaiman tentang keadaan yang sesungguhnya di Papua. Para ilmuwan, akademisi, peneliti dan rohaniawan telah menemukan akar konflik dan mengatakan bahwa Papua Barat adalah LUKA MEMBUSUK dan BERNANAH di dalam tubuh bangsa Indonesia.

Tidak lama, dalam tahun 2023 ini, satu bulan lalu, Ibu Dr. Anti Soleman  dalam peluncuran 5 buku Seri Sejarah Politik, HAM dan Demokrasi di West Papua, Markus Haluk  di Graha Oikoumene, Jakarta, pada Kamis (15/6/2023) menyatakan: “Buku ini cerita tentang luka. Luka tentang Papua itu tidak saja ada pada kami seperti usia saya yang sudah 71 tahun, tapi luka itu sudah ada dalam hidup anak dan cucu kita, umurnya 17 tahun”. Prof. Dr. Franz Magnis mengatakan: “Papua adalah luka membusuk di tubuh bangsa Indonesia…kita akan ditelanjangi di depan dunia beradab, sebagai bangsa yang biadab, bangsa pembunuh orang-orang Papua” (Sumber: Kebangsaan, Demokrasi, Pluralisme: 2015: 255).

Pastor Frans Lieshout, OFM, mengatakan: “Orang Papua telah menjadi minoritas di negeri sendiri. Amat sangat menyedihkan. Papua tetaplah LUKA BERNANAH di Indonesia.” (Sumber:  Guru dan Gembala Bagi Papua, 2020:601). Lalu, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sekarang Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN) telah berhasil memetakkan atau merumuskan 4 akar konflik Papua. Presiden berusaha menghindari atau bekerja keras untuk menghilangkan 4 akar konflik yang sudah dirumuskan LIPI/BRIN ini. Pernyataan yang tidak rasional, tidak sesuai fakta dan tanpa riset yang mendalam itu tidak dapat menghilangkan 4 akar konflik Papua Barat yang sudah tertuang dalam buku Papua Road Map, sebagai berikut:

(1) Sejarah dan status politik integrasi Papua ke Indonesia;

(2) Kekerasan Negara dan pelanggaran berat HAM sejak 1965 yang belum ada penyelesaian;

(3) Diskriminasi dan marjinalisasi orang asli Papua di Tanah sendiri;

(4) Kegagalan pembangunan meliputi pendidikan, kesehatan, dan ekonomi rakyat Papua.

Empat akar persoalan ini yang disebut luka membusuk dan bernanah di dalam tubuh bangsa Indonesia oleh Prof. Dr. Frans Magnis, alm. Pastor Frans Lieshout, Dr. Anti Soleman. Presiden dalam pernyataannya sendiri telah menciptakan pendapat dan pandangan negatif dari sebagian besar rakyat dan bangsa Papua Barat dan tentu saja sebagian dari rakyat Indonesia. Pernyataan itu dari positif menjadi asumsi negatif dari sebagian besar POAP.

“Sepandai-pandai tupai melompat, akhirnya jatuh ke tanah jua” adalah betapa pun pandai atau hebatnya seseorang dalam suatu perkara/permasalahan ataupun pekerjaan, pasti memiliki kelemahan juga (pernah salah juga).Diharapkan, solusi untuk mengakhiri semua persoalan ini, Dewan Gereja Papua (WPCC) dalam seruan moral pada 21 November diserukan, sebagai berikut:

“Meminta kepada Dewan HAM PBB (Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa) datang berkunjung ke Tanah Papua untuk melihat secara langsung situasi penderitaan panjang orang Papua selama 58 tahun.”

“Sudah saatnya pemerintah Indonesia menghentikan kebijakan rasisme sistemik pada orang asli Papua yang terus-menerus meningkat.”

“Presiden Joko Widodo tetap konsisten mewujudkan statemennya pada 30 September 2019 untuk berdialog dengan kelompok Pro Referendum, United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) dimediasi pihak ketiga sebagaimana yang pernah terjadi antara Pemerintah RI dengan GAM (Gerakan Aceh Merdeka) di Helsinki pada 15 Aguatus 2005.”■

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *