Westpapuanews.Org

Berita tangan pertama dari Tanah Papua

BACAAN PROGRESIF

Gerakan Mahasiswa Revolusioner: Teori dan Praktek -Bagian 1

ERNEST MANDEL

__________________________

Sumber: Indomarxist.Net, November 2002; Marxists Internet Archive, Desember 2002.

Keterangan: Ijin publikasi online ini adalah untuk tujuan non-komersil.

__________________________

Pengantar

Pada tahun 1968, seorang Marxist dari Belgia, Ernest  Mandel berbicara  di  depan 33 perguruan tinggi di Amerika  Serikat  dan Kanada, dari Harvard ke Berkeley dan dari Montreal ke Vancouver. Lebih  dari 600 orang memadati Education Auditorium di  New York University  pada tanggal  21  September  1968  untuk  menghadiri “Majelis Internasional Gerakan Mahasiswa Revolusioner”. Presenta­si  Mandel di tempat itu dipandang sebagai kejadian yang sangat menonjol oleh majelis dan salah satu saat penting  dari seluruh perjalanannya. Pidato  dan beberapa kutipan dari  diskusi yang mengikutinya menjadi dua bagian pertama dari pamflet ini.

Pidato  Mandel  adalah polemik yang  sangat hebat  terhadap kecenderungan “aktivisme” dan “spontanisme”, yang belakangan  ini muncul di  kalangan  kaum radikal di dunia  Barat. Ia kemudian berbicara mengenai konsepsi Marxis tentang integrasi yang  tidak terpisahkan antara teori dan praktek. Selama  diskusi, Mandel menjawab sejumlah pertanyaan yang kontroversial di kalangan kaum radikal dengan  argumen panjang lebar. Beberapa di antaranya berbicara tentang azas sosial ekonomi dari Uni Sovyet,  “Revolusi Kebudayaan”  di  Cina, perlunya dibentuk sebuah  partai Leninis, dorongan moral lawan dorongan material, dan banyak hal lainnya.

Bagian  ketiga  pamflet ini adalah  pidato  yang diberikan Mandel  pada Seminar  Ilmu dan Kesejahteraan yang diadakan  di Universitas Leiden, Negeri Belanda pada tahun 1970, ketika sedang dilakukan perayaan 70 tahun universitas tersebut. Mandel  berpen­dapat bahwa kebutuhan kapitalisme saat ini akan tenaga kerja yang terlatih dalam jumlah besar merangsang ekspansi universitas yang cepat  dan menghasilkan “proletarianisasi” tenaga intelektual, yang  tunduk kepada tuntutan-tuntutan kapitalis dan tidak berhu­bungan dengan bakat perorangan atau kebutuhan manusia.

Makin  terasingnya tenaga  kerja  intelektual ini  sedikit banyak menggerakkan perlawanan mahasiswa yang, walaupun  tidak menduduki posisi sebagai pelopor kelas buruh, dapat menjadi picu peledak  di dalam masyarakat luas. Menurutnya mahasiswa memiliki kewajiban menerjemahkan pengetahuan teoretis, yang mereka peroleh di universitas, ke dalam kritik-kritik  yang  radikal terhadap keadaan masyarakat sekarang dan tentunya relevan dengan mayoritas penduduk.  Mahasiswa harus berjuang di dalam universitas  dan  di balik itu  untuk masyarakat yang  menempatkan pendidikan untuk rakyat di depan penumpukan barang.  

Gerakan Mahasiswa Revolusioner:Teori dan Praktek 

Rudi Dutshcke, pemimpin mahasiswa Berlin dan sejumlah tokoh mahasiswa lainnya di Eropa, telah menjadikan  konsep menyatunya teori dan praktek [teori dan praktek yang revolusioner  tentunya] sebagai gagasan sentral aktivitas mereka. Ini bukan pilihan  yang sewenang-wenang. Persatuan teori dan praktek ini dapat dibilang pelajaran  yang paling berharga dari rekaman sejarah yang diukir oleh revolusi-revolusi yang telah berlalu di Eropa, Amerika  dan bagian dunia lainnya

Tradisi  historis yang mengandung gagasan ini  dimulai  dari Babeuf melalui Hegel dan sampai ke Marx. Penaklukan ideologis ini berarti bahwa pembebasan manusia harus diarahkan pada usaha  yang sadar untuk merombak tatanan masyarakat, untuk mengatasi sebuah keadaan di mana manusia didominasi oleh kekuatan ekonomi pasar yang  buta  dan mulai menggurat nasib dengan  tangannya sendiri. Aksi pembebasan  yang sadar ini tidak  dapat dijalankan  secara efektif,  dan  tentunya tidak dapat berhasil, jika orang  belum menyadari dan mengenal lingkungan sosial tempatnya hidup, mengen­al  kekuatan sosial yang harus dihadapinya, dan kondisi  sosial ekonomi yang umum dari gerakan pembebasan itu.

Sama  seperti persatuan antara teori dan  praktek merupakan penuntun  yang mendasar bagi setiap gerakan pembebasan saat  ini, begitu  pula Marxisme mengajarkan bahwa revolusi,  revolusi yang sadar,  hanya dapat berhasil jika orang mengerti azas masyarakat tempatnya hidup, dan mengerti kekuatan pendorong yang menggerak­kan perkembangan sosial ekonomi masyarakat tersebut. Dengan  kata lain,  jika ia tidak mengerti kekuatan yang menggerakkan  evolusi sosial, ia tidak akan sanggup mengubah evolusi itu menjadi sebuah revolusi.  Ini adalah konsepsi utama yang diberikan Marxisme kepada gerakan mahasiswa revolusioner di Eropa.

Kita  akan coba melihat bahwa kedua konsep itu,  menyatunya teori dan praktek, serta sebuah pemahaman Marxis terhadap kondisi obyektif masyarakat, yang telah ada jauh sebelum gerakan mahasis­wa  di Eropa lahir, ditemukan dan disatukan kembali  dalam  aksi-aksi perjuangan mahasiswa Eropa, sebagai hasil dari pengalamannya sendiri.

Gerakan  mahasiswa mulai bermunculan di mana-mana  dan  di Amerika  Serikat pun tidak berbedasebagai perlawanan  terhadap kondisi langsung yang dialami mahasiswa di dalam lembaga akademis mereka, di universitas dan sekolah tinggi. Aspek ini sangat jelas di  dunia  Barat tempat kita hidup, walaupun keadaannya sangat berbeda di negara-negara berkembang. Di sana, banyak kekuatan dan keadaan  lain yang mendorong anak muda di universitas atau non-universitas untuk bangkit. Tapi selama dua dekade terakhir, anak muda yang masuk ke universitas di dunia Barat tidak menemukan di lingkungan rumah, kondisi keluarga atau masyarakat lokalnya alasan-alasan yang mendesak untuk melakukan perlawanan sosial.

Tentunya ada beberapa perkecualian. Komunitas kulit hitam di Amerika  Serikat termasuk di dalam perkecualian itu;  para buruh imigran  yang dibayar  rendah di Eropa Barat  juga termasuk  di dalamnya. Bagaimanapun, di kebanyakan negara-negara Barat, maha­siswa yang berasal dari lingkungan proletariat yang miskin masih menjadi minoritas yang sangat kecil. Mayoritas mahasiswa saat ini berasal dari lingkungan borjuis kecil atau menengah atau golongan penerima  gaji atau upah yang mendapat bayaran lumayan.  Ketika memasuki  universitas mereka secara umum tidak  disiapkan  oleh hidup  yang mereka jalani untuk sampai pada titik pemahaman yang jelas dan  lengkap tentang  alasan-alasan perlunya  perlawanan sosial.  Mereka  baru akan memahaminya ketika  berada  di dalam kerangka  universitas. Di sini aku tidak mengacu kepada sejumlah perkecualian  atau golongan kecil elemen-elemen  yang memiliki pengetahuan politik yang memadai, tapi kepada  massa mahasiswa secara keseluruhan yang berhadapan dengan sejumlah kondisi,  yang membimbing mereka pada jalan perlawanan

Singkatnya,  ini  sudah mencakup  organisasi, struktur  dan kurikulum universitas  yang amat tidak memadai dan serangkaian fakta material, sosial dan politik yang dialami dalam kerangka universitas borjuis, yang semakin tidak dapat ditahan oleh keban­yakan mahasiswa. Menarik untuk dicatat bahwa para teoretisi dan pendidik  borjuis yang berusaha memahami perlawanan mahasiswa, harus  memasukkan sejumlah pernyataan di dalam  analisis mereka terhadap  lingkungan mahasiswa, yang telah lama  mereka  enyahkan dari analisis umum terhadap masyarakat.

Beberapa  hari  yang lalu, ketika berada di Toronto,  salah satu pendidik Kanada yang terkenal memberikan kuliah umum tentang sebab-sebab terjadinya perlawanan mahasiswa. Menurutnya, alasan-alasan perlawanan itu “secara mendasar bersifat material.  Bukan berarti bahwa kondisi hidup mereka tidak memuaskan; bukan karena mereka diperlakukan  buruh seperti buruh abad XIX. Tapi  karena secara sosial kita menciptakan sejenis proletariat di universitas yang tidak berhak berpartisipasi dalam  menentukan kurikulum, tidak  berhak, setidaknya untuk ikut menentukan kehidupan mereka sendiri  selama empat, lima atau enam tahun yang mereka habiskan di universitas.” Sekalipun aku tidak dapat menerima definisi yang  non-Marxis tentang proletariat di atas, aku berpikir bahwa pengajar  borjuis ini sebagian  telah menelusuri salah satu akar dari perlawanan mahasiswa.  Struktur universitas borjuis hanyalah  cerminan dari struktur  hirarki  yang umum dalam masyarakat  borjuis; keduanya tidak dapat diterima oleh mahasiswa, bahkan oleh tingkat kesadar­an sosial yang sementara ini masih rendah. Kiranya terlalu berle­bihan kalau saat ini juga kita coba membahas akar-akar psikologis dan moral dari gejala itu. Di beberapa negara di Eropa Barat, dan mungkin juga di Amerika Serikat, masyarakat borjuis seperti  yang berkembang selama generasi terakhir ini, selama 25 tahun terakhir telah menghantam banyak elemen di dalam keluarga borjuis. Sebagai anak muda, para mahasiswa pembangkang diajarkan pertama-tama oleh pengalaman  langsung untuk mempertanyakan semua bentuk wewenang, dimulai dengan wewenang orang tuanya.

Hal ini paling terasa di negara seperti Jerman sekarang ini. Jika kalian tahu sesuatu tentang kehidupan di Jerman, atau mempe­lajari cerminannya di dalam kesusastraan Jerman, maka kalian akan tahu bahwa  sampai Perang Dunia II,  wewenang paternal  paling sedikit dipertanyakan  di negara itu.  Kepatuhan anak  terhadap orang tua telah mendarah daging dalam proses penciptaan masyara­kat [fabric of society]. Anak-anak muda Jerman kemudian mengalami rangkaian pengalaman pahit yang dimulai dengan  adanya generasi orang  tua  di Jerman yang menerima Nazisme,  mendukung Perang Dingin, dan hidup nyaman dengan asumsi bahwa “kapitalisme rakyat” [disebut  juga ekonomi pasar yang sosial], tidak akan menghadapi resesi, krisis dan masalah sosial. Kegagalan yang beruntun  dari dua  atau tiga generasi orang tua seperti itu  kini menghasilkan rasa  jijik di kalangan anak muda terhadap  wewenang orang  tua mereka. Perasaan ini membuat anak-anak tersebut, saat  memasuki universitas,  tidak menerima setiap bentuk wewenang begitu  saja, tanpa perlawanan.

Mereka  pertama-tama berhadapan dengan wewenang  para  dosen dan lembaga-lembaga universitas yang paling tidak dalam  bidang ilmu sosialnyata tidak berhubungan dengan realitas. Pelajaran yang mereka peroleh tidak memberikan analisis ilmiah yang  obyek­tif  tentang apa yang sedang terjadi di dunia atau negara-negara Barat lainnya. Tantangan terhadap wewenang akademis dari  lembaga inilah yang kemudian cepat bergeser menjadi tantangan terhadap isi pendidikannya.Sebagai tambahan, di Eropa kondisi material untuk universi­tas  masih sangat kurang. Terlalu penuh. Ribuan mahasiswa  harus mendengar dosen-dosen berbicara melalui  sound  system. Mereka tidak  dapat berbicara dengan dosen-dosen  itu  atau sedikitnya berhubungan, bertukar pikiran yang normal atau dialog. Perumahan dan makanan juga buruk. Faktor-faktor pendukung lainnya makin menajamkan kekuatan pemberontakan mahasiswa.  Tapi,  perlu aku tekanan bahwa dorongan utama untuk melakukan pemberontakan  akan tetap ada, sekalipun persoalan-persoalan di atas telah dibenahi. Struktur  otoriter  dari universitas dan substansi  yang  sangat lemah  dari  pendidikan, paling tidak dalam bidang  ilmu  sosial, lebih menjadi penyebab ketimbang kondisi material di atas.

Inilah  alasan mengapa usaha-usaha mengadakan  reformasi di universitas,  yang disorongkan oleh sayap liberal dalam keadaan-keadaan yang berbeda dalam masyarakat neo-kapitalis barat mungkin menemui kegagalan. Reformasi ini tidak akan  mencapai  tujuannya karena  tidak menyentuh persoalan dasar dari pemberontakan maha­siswa.  Mereka tidak berusaha menekan  sebab-sebab keterasingan mahasiswa, dan sekalipun melakukannya, mereka hanya akan membuat mahasiswa makin terasing.

Lalu apa tujuan reformasi di universitas seperti yang diaju­kan oleh kaum reformis liberal di dunia barat? Dalam  kenyataan, rancangan  reformasi itu tidak lain untuk  meluruskan  organisasi universitas agar sesuai dengan kepentingan ekonomi  neo-kapitalis dan  masyarakat neo-kapitalis. Tuan-tuan itu  mengatakan: tentu sangat disayangkan adanya proletariat akademis;  sayang sekali begitu  banyak orang  yang meninggalkan universitas  dan tidak berhasil  mendapat pekerjaan. Ini  akan menimbulkan ketegangan sosial dan ledakan sosial.

Bagaimana caranya mengatasi persoalan ini? Kita akan membe­nahinya  dengan reorganisasi universitas dan membagi-bagi tempat belajar yang ada sesuatu dengan kebutuhan ekonomi neo-kapitalis. Di  tempat yang memerlukan 100.000 insinyur akan lebih baik  jika dikirim 100.000  insinyur daripada 50.000  orang sosiolog atau 20.000 filsuf yang tidak akan mendapat pekerjaan yang layak.  Hal seperti inilah yang akan menghentikan pemberontakan mahasiswa.Di bawah ini adalah suatu usaha menempatkan  fungsi universitas pada  posisi subordinat terhadap kebutuhan langsung dari  ekonomi neo-kapitalis  dan masyarakat. Hal ini akan menggerakkan ketera­singan mahasiswa yang makin besar. Jika reformasi-reformasi  itu dilakukan maka mahasiswa tidak akan menemukan struktur universi­tas  dan pendidikan yang sesuai dengan keinginan mereka. Mereka bahkan tidak diizinkan memilih karir, bidang studi, dan disiplin ilmu yang mereka kehendaki dan berhubungan dengan keahlian  dan kebutuhan mereka. Mereka akan dipaksa menerima pekerjaan,  disi­plin ilmu dan bidang studi yang berhubungan  dengan kepentingan penguasa masyarakat  kapitalis, dan  tidak berhubungan dengan kebutuhan mereka sebagai manusia. Jadi dengan reformasi di  uni­versitas, tingkat alienasi yang lebih tinggi pun akan terjadi. Aku tidak mengatakan bahwa kita harus mengabaikan semua reformasi di dalam universitas. Penting dicari beberapa slogan transisional untuk masalah-masalah universitas, sama seperti kaum Marxis coba mencari slogan-slogan transisional dalam gerakan  sosial  lain dalam sektor apapun. Misalnya, aku tidak mengerti kenapa slogan “student power”  tidak dapat  diangkat di dalam lingkup universitas.  Dalam masyarakat luas  slogan ini memang dihindari karena artinya bahwa sebuah minoritas  kecil menempatkan dirinya sebagai  pemimpin mayoritas masyarakat. Tapi di dalam universitas slogan “student power” ini, atau slogan lain yang sejurus dengan ide “self-management”  oleh massa mahasiswa, jelas punya arti dan valid.

Tapi  di sinipun aku akan hati-hati karena banyak persoalan yang membuat  universitas berbeda dari  pabrik atau  komunitas produktif lainnya. Tidak benar, seperti dikatakan sebagian teore­tisi SDS Amerika, bahwa mahasiswa itu sama dengan buruh. Kebanya­kan mahasiswa memang  akan menjadi buruh  atau  sudah setengah buruh. Mereka dapat dibandingkan dengan orang  yang magang  di pabrik karena kedudukan mereka sama –dari sudut kerja intelektu­al dengan  orang  magang di pabrik– dari  sudut kerja  manual. Mereka memiliki peranan sosal dan tempat transisional yang  khas dalam masyarakat.  Karena itu kita  harus hati-hati merumuskan slogan tentang transisi ini.

Bagaimanapun, kita tidak perlu memperpanjang perdebatan  ini sekarang.  Mari  kita terima saja gagasan “student  power”  atau “student  control” sebagai slogan transisional di dalam kerangka universitas borjuis. Tapi sudah jelas bahwa realisasi slogan ini yang  tidak akan mungkin bertahan untuk jangka waktu yang lama, tidak  akan mengubah akar-akar alienasi mahasiswa karena  mereka tidak terletak di dalam universitas itu sendiri, melainkan dalam masyarakat secara keseluruhan. Dan kita tidak akan sanggup mengu­bah  sebuah sektor kecil dalam masyarakat borjuis, dalam hal  ini universitas  borjuis,  dan berpikir bahwa  masalah sosial dapat diatasi  di segmen tertentu tanpa mengubah masalah sosial  dalam masyarakat sebagai keseluruhan. Selama kapitalisme masih ada, maka terus akan ada kerja yang terasing, baik itu kerja manual maupun kerja intelektual.  Dan karena itu tetap akan ada mahasiswa yang terasing, seperti apapun aksi-aksi kita menghantam kemapanan dalam lingkup universitas.

Sekali  lagi, ini bukan observasi teoretis yang jatuh  dari langit.  Ini adalah pelajaran dari pengalaman praktek. Gerakan mahasiswa Eropa, paling tidak sayap revolusionernya, telah  mela­lui pengalaman ini di seluruh negara-negara Eropa.  Dalam  garis besar,  gerakan mahasiswa dimulai dengan  isyu-isyu kampus  dan dengan cepat mulai  bergerak keluar  batas-batas universitas. Gerakan  itu mulai menanggapi masalah-masalah sosial dan  politik yang tidak langsung berhubungan dengan apa yang terjadi di  dalam universitas. Apa yang terjadi di Kolumbia di mana masalah  penin­dasan komunitas  kulit hitam diangkat  oleh  sejumlah mahasiswa pemberontak mirip dengan apa yang terjadi dalam gerakan mahasiswa Eropa Barat, paling tidak di kalangan elemen  yang  maju, yang paling  peka terhadap masalah-masalah yang dihadapi  orang-orang paling tertindas dalam sistem kapitalis dunia.

Mereka  terlibat  dalam berbagai  aksi solidaritas  dengan perjuangan pembebasan revolusioner di negara-negara berkembang seperti Kuba,  Vietnam dan bagian-bagian  tertindas lainnya   Dunia Ketiga. Identifikasi bagian-bagian yang paling sadar  dalam gerakan  mahasiswa di Prancis dengan revolusi Aljazair, dan perjuangan pembebasan Aljazair dari imperialisme Prancis memainkan peranan besar. Ini mungkin kerangka pertama di mana diferensiasi politik  yang nyata terjadi di kalangan gerakan  mahasiswa kiri. Kalangan mahasiswa yang sama kemudian akan mengambil  tempat  di depan  dalam perjuangan mempertahankan revolusi Vietnamm  melawan perang agresi imperialisme Amerika. Di Jerman, simpati kepada orang-orang terjajah dimulai  dari titik yang unik. Gerakan protes mahasiswa yang besar dipicu  oleh aksi solidaritas dengan buruh, petani dan mahasiswa dari sebuah negara  Dunia Ketiga lainnya, yaitu Iran, saat Shah Iran  berkun­jung ke Berlin.

Para  mahasiswa pelopor tidak  sekadar mengidentifikasikan diri mereka  dengan perjuangan di Aljazair, Kuba  dan  Vietnam: mereka memperlihatkan simpati kepada perjuangan pembebabasan dari apa yang disebut Dunia Ketiga secara keseluruhan. Perkembangannya dimulai dari sini. Di Prancis, Jerman, Italia –dan proses  yang sama sedang berlangsung di Inggris– tidak akan mungkin memulai aksi  yang revolusioner tanpa analisis teori tentang asas dari imperialisme, kolonialisme, dan kekuatan-kekuatan yang mendorong eksploitasi Dunia Ketiga dengan imperialisme, dan di sisi lain, kekuatan yang mendorong perjuangan pembebasan massa yang  revolu­sioner menentang imperialisme.Melalui analisis  tentang kolonialisme  dan imperialisme kekuatan gerakan mahasiswa Eropa yang paling maju dan  terorgani­sir kembali kepada titik di mana Marxisme dimulai, yakni analisis tentang  masyarakat kapitalis dan sistem kapitalis  internasional di  mana  kita hidup. Jika kita tidak memahami sistem  ini,  kita tidak akan dapat memahami alasan dilakukannya perang kolonial dan gerakan pembebasan di negeri jajahan. Kita juga tidak akan dapat mengerti  kenapa kita harus mengikatkan  diri kepada kekuatan-kekuatan ini di tingkat dunia. Di Jerman misalnya, proses ini terjadi dalam  waktu kurang dari enam bulan. Gerakan mahasiswa dimulai dengan mempertanyakan struktur  universitas yang otoriter, dan  terus menuju masalah imperialisme  dan keadaan Dunia Ketiga, dan dengan menghubungkan diri dengan gerakan pembebasan maja timbul kebutuhan menganalisis kembali neo-kapitalisme di tingkat dunia dan di negeri  di mana mahasiswa-mahasiswa Jerman itu bergerak. Mereka  kembali kepada titik awal analisis Marxis tentang masyarakat di mana kita hidup untuk memahami alasan-alasan terdalam dari masalah  sosial dan perlawanan. — Bersambung ke Bagian 2

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *