MARI, KITA MENGUBAH CARA PANDANG RAKYAT INDONESIA DENGAN CARA-CARA DAMAI DAN BERMARTABAT KARENA SELAMA 57 TAHUN MEREKA TERIMA INDOKTRINASI PALSU DARI PENGUASA KOLONIAL MODEREN INDONESIA TENTANG ORANG ASLI PAPUA

Oleh Dr. Socratez S.Yoman

Tujuan dari judul perspektif ini dijelaskan dalam buku penulis yang berjudul: MELAWAN RASISME DAN STIGMA DI TANAH PAPUA”, sebagai berikut:

“Tugas dan kewajiban serta tanggungjawab saya untuk mendidik dan mengubah cara pandang penguasa, TNI-Polri dan seluruh rakyat Indonesia supaya mereka tidak menilai kami keliru dan salah dengan berita-berita hoax yang diproduksi dan disebarkan penguasa dengan kepentingan mereka.” (Yoman: 2020:xiv).

Lebih jauh dibaca dalam buku yang sama nomor 6 dengan Topik: TAK SEMUA BANGSA INDONESIA SETUJU RASISME PAPUA” yang dinarasikan sebagai berikut:

“Jika kita cermati dengan hati yang sejuk, seluruh dinamika dan realitas yang menghina dan merendahkan martabat rakyat dan bangsa West Papua dengan stigma-stigma: monyet, separatis, makar, pemberontak, OPM dan KKSB itu kita bisa lihat dengan jelas dan sudah muncul di depan publik. Para penguasa yang menjadi penghujat dan penghina rakyat dan bangsa West Papua berasaskan rasialis yang merusak dan membuat tercoreng muka rakyat Indonesia.”

“Rakyat dan bangsa Indonesia dicemarkan nama baik dan kehormatannya oleh penguasa dan sekaligus memiliki bisnis besar di sejumlah tempat, lebih khusus di West Papua. Mereka selalu menciptakan mitos-mitos dan stigma-stigma, dan memeliharanya dengan bersembunyi dibalik atas nama kepentingan nasional dan jargon NKRI harga mati. Padahal, sesungguhnya mereka (para penguasa) memelihara basis-basis usaha dan bisnis ekonomi mereka.” (Yoman, 2020:20).

Dalam buku yang sama di nomor 21 dengan topik: “BAGAIMANA NASIB MIGRAN BILA WEST PAPUA MERDEKA?” dapat diulas sebagai berikut;

“….rakyat dan bangsa West Papua berjuang bukan untuk mengusir orang-orang Melayu atau pendatang yang datang untuk berada, hidup, berkarya bersama kami di Tanah leluhur kami West Papua. Apa yang dilawan oleh rakyat dan bangsa West Papua, yaitu:

Pertama, praktik-praktik yang menunjukkan watak kolonialisme dari Negara, yang mengeruk kekayaan dan menjajah bangsa Papua.

Kedua, yang dilawan adalah para pelanggar Hak-hak asasi manusia, yang menjadi bagian kejahatan Negara yang serius di West Papua. Para pelakunya dilindungi oleh Negara, semestinya diadili dengan penegakkan hukum yang adil. Bahkan, para pelanggar HAM itu, yang melakukan kejahatan kemanusiaan itu diangkat sebagai pahlawan.

Ketiga, stigma atau label separatis, makar, OPM, KSB, KKB, yang merendahkan martabat kemanusiaan bangsa West Papua harus dilawan. Semua mitos ini diproduksi atau diciptakan oleh penguasa Negara Indonesia. Stigma atau label ini tidak pernah ada di West Papua sebelum Indonesia menduduki Tanah Leluhur kami. Kami pernah hidup tanpa stigma, mitos dan label yang palsu ini.

Keempat, Proses genocide (genosida) terhadap etnis bangsa West Papua secara sistematis, terstruktur, terprogram, masif yang dilakukan Negara harus dilawan.

Kelima, perampasan tanah atas nama pembangunan, pemukiman transmigrasi, pembangunan infrastruktur TNI/Polri, penebangan hutan untuk kelapa sawit dan penguasaan tambang, pencurian ikan, perampokan kayu yang merugikan rakyat dan bangsa West Papua harus dilawan.

Keenam, menggugat pelaksanaan Pepera 1969 yang tidak demokratis dan yang dimenangkan ABRI (kini: TNI) di forum-forum internasional.”

“Saudara-saudara para pendatang, Anda tidak dilawan dan Anda tidak diusir. Anda sahabat kami. Anda sudah kami terima untuk hidup dan tinggal bersama kami di atas tanah Milik dan leluhur bangsa West Papua.” (Yoman, 2020: 87,88,90).

“…Setiap dusta harus dilawan. Menang atau kalah. Lebih-lebih dusta yang mengandung penindasan.” (Mayon Sutrisno: Arus Pusaran Soekarno: Roman Zaman Pergerakan, 2001 ).

“Ketakutan kami untuk mengatakan kebenaranlah yang menyebabkan selama bertahun-tahun memberi kesempatan dan kekuatan kepada para penindas yang menindas kami.” (Ibu Sirin Ebadi, wanita Iran, Pemenang Hadiah Nobel Perdamain).

“Kita mengubah penderitaan kita menjadi sesuatu yang positif untuk keluar dari masalah. Berani berbicara, itulah keberanian sejati. Berani mengatakan penderitaanmu, berani mengatakan kekuatanmu juga. …Dan, untuk membebaskan diri dari ketakutan, untuk membebaskan diri dari penderitaan, beranilah berbicara, beranilah mengatakan perkataan yang benar, yaitu kata-katamu sendiri.” (Sumber: Antikekerasan itu apa sih? 2003: 28-29).

Rakyat dan bangsa West Papua harus SADAR bahwa “Kebebasan itu direbut, bukan sebuah hadiah. Kebebasan harus selalu dikejar. Kebebasan bukanlah suatu hal yang terletak di luar manusia. Kebebasan juga bukan mitos. …maka kaum tertindaslah yang harus berjuang menjadi manusia yang utuh….” ( Paulo Freire: Pendidikan Kaum Tertindas, 2000:19

Sudah 57 tahun, penguasa kolonial moderen Indonesia sudah merebut dan merendahkan martabat kemamusiaan kami dengan kejahatan, kebohongan dan kepalsuan. Kita sudah dibuat manusia-manusia yang tidak mempunyai harga diri dan kehormatan di atas Tanah leluhur kami. Nilai manusia Papua menjadi terlalu murah di mata kolonial Indonesia. Yang terjadi di depan mata kita dan kita alami selama 57 tahun bukan saja hanya kematian secara fisik, tetapi lebih pada kematian jati diri orang asli Papua.

Kita dibuat orang-orang tidak punya sejarah, tidak punya nilai-nilai keluhuran budaya, tidak punya tanah di atas tanah kita sendiri. Kita dipaksa menerima ideologi palsu, sejarah palsu, pahlawan palsu, lagu palsu, bendera palsu, dan semuanya palsu dan juga janji palsu.

Semua yang dimiliki rakyat dan bangsa West Papua dari Sorong-Merauke sudah dirampok, dirampas, dijarah oleh penguasa kolonial moderen Indonesia. Tetapi, Tuhan kita Yesus Kristus, Injil adalah kekuatan Allah, iman kita, harapan kita, nilai kasih, kedamaian, ideologi dan nasionalisme kita belum dirampas dengan moncong senjata dan kepalsuan mereka. Kami masih ada dan masih hidup di atas tanah leluhur kami. Kami masih bernafas di atas roh-roh dan tulang belulang leluhur kami. Kami masih berdiri di atas penderitaan, tetesan air mata, cucuran darah dan tulang belulang bangsa kami yang dibantai dengan moncong senjata Indonesia.

Karena itu, sudah saatnya kita harus menerobos tembok-tembok dan benteng-benteng kebohongan dan kejahatan yang dibuat kaum kolonial moderen Indonesia. Kita tidak bisa menunggu di ruang tunggu supaya pertolongan turun sendiri dari langit biru, pertolongan datang dari Uni Eropa, petolongan datang dari PBB dan mimpi-mimpi kosong. Kita harus melangkah.

Rakyat dan bangsa West Papua harus sadar, bangkit, bersatu dan lawan kebohongan dan kejahatan penguasa kolonial moderen Indonesia di Papua yang berjalan TELANJANG selama 57 tahun sejak 1 Mei 1963.

KARENA, “Papua tetaplah luka bernanah di Indonesia.” (Pastor Frans Leishout,OFM, 2020: hal. 601).

ATAU “Papua adalah luka membusuk di tubuh bangsa Indonesia.” (Prof. Dr. Franz Magnis-Suseno, 2015: hal. 255).

Untuk menyembuhkan luka bernanah dan luka membusuk, dibutuhkan diagnosa yang tepat, terukur untuk mengetahui penyebab bernanahnya atau membusuknya luka itu. Lalu diberikan suntikan dan pengobatan dengan dosis obat yang tepat untuk proses penyembuhan/pemulihan. Tetapi, penguasa kolonial moderen Indonesia tidak cerdas, sibuk membungkus luka yang bernanah dan luka membusuk itu dengan verban Otonomi Khusus Jilid II, menambah anggaran dan Pemekaran 5 Provinsi dan juga istilah Kita Cinta Papua. Penguasa kolonial Indonesia sudah kehilangan hikmat, sudah rapuh moral bangsa dan tidak mengantongi modal kepercayaan rakyat Papua. Kepalsuan bangsa kolonial Indonesia semakin terbuka dan berjalan telanjang.

Dalam menghadapi kepalsuan dan kejahatan bangsa kolonial Indonesia, bagi rakyat dan bangsa West Papua tidak berdiri dan berjuang sendiri. Karena itu, Penulis kembali memperlihatkan Artikel pada 9 September 2020 yang berjudul: KITA HARUS MENDIDIK GENERASI MUDA INDONESIA DENGAN MENULIS SEJARAH PENDUDUKAN DAN KOLONIALISME INDONESIA ATAS RAKYAT DAN BANGSA WEST PAPUA SELAMA 57 TAHUN.

Pada Rabu, 9 September 2020, seorang teman dan sahabat seperti orang Samaria yang baik hati dari pulau Jawa, setelah menerima buku penulis berjudul: “MELAWAN RASISME DAN STIGMA DI TANAH PAPUA” memberikan dukungan doa dan moril sebagai berikut:

“Terima kasih Bapak Socratez, “pena” Anda menjadi berkat! Kini saya mulai dicelikkan sejarah dan hakekat Bangsa Papua Barat. Mungkin saya tidak bisa membantu apapun, tapi kebenaran yang saya terima pasti saya teruskan.Selamat melayani, Bapak Gembala!

Tulisan ini bertujuan untuk mendidik generasi muda Indonesia tentang sejarah pendudukan dan penjajahan Indonesia atas rakyat dan bangsa West Papua dari Sorong-Merauke selama 57 tahun sejak 1 Mei 1963 hingga tahun 2020.

Diharapkan generasi muda Indonesia tidak mewarisi dan memikul beban sejarah penjajahan yang tidak benar, bengkok, dan busuk. Sejarah kolonialisme Indonesia di era moderen atas bangsa West Papua harus dibuka kepada publik Indonesia dan komunitas global.

Ada bukti respon positif dari teman-teman dari luar Papua setelah membaca Artikel, Opini, Fakta, Realitas dan Perspektif saya tentang kejahatan Negara yang menyebabkan pelanggaran berat Hak Asasi Manusia selama 57 tahun sejak 1 Mei 1969-2020 dan juga yang membaca buku penulis yang berjudul: OTONOMI KHUSUS PAPUA TELAH GAGAL: Kesejahteraan Bukan Akar Masalah. UP4B Bukan Solusi. Kekerasan Kemanusiaan Berakar. Terjadi Pemusnahan Etnis Melanesia. Status Politik dan Sejarah Integrasi Adalah Akar Masalah Papua” (Yoman:2012).

  1. FF ( 6 September 2020).

“Terima kasih pak. Bukunya saya sudah terima. Saya baru membaca satu buku tentang Otsus Papua Telah Gagal dan rasanya saya tdak sanggup lagi melanjutkan untuk baca buku berikutnya. Karena saya baru mengerti dan sekaligus kaget atas informasi yang bapak tulis dalam buku tersebut. Berita-berita seperti dalam buku bapak itu tertutup bagi kami selama ini. Saya sekarang sadar bahwa masalah Papua sangat serius dan betapa berdosanya bangsa Indonesia yang menindas umat Tuhan yang tidak bersalah di tanah Papua. Dua hari ini saya tak henti-hentinya menangis setelah mengetahui umat Tuhan di Papua di tindas selama ini.”

Buku ini kaya informasi tentang kejahatan Negara yang menyebabkan pelanggaran berat Hak Asasi Manusia di Papua. Bobot buku ini hampir sama dengan buku penulis yang berjudul: “PEMUSNAHAN ETNIS PAPUA: Memecah Kebisuan Sejarah Kekerasan di Papua Barat” (Yoman:2007). Buku Pemusnahan Etnis Melanesia dilarang pemerintah Indonesia untuk peredarannya.

Para pembaca ingin memiliki informasi yang benar tentang kejahatan Indonesia yang digambarkan dalam dua buku ini, bisa kontak langsung bagian promosi dan pemasaran Maiton Gurik nomor kontak: 081258915274.

  1. FK ( 4 September 2020).

Ada pula komentar seorang teman dari luar Papua sesudah membaca buku penulis berjudul: MELAWAN RASISME DAN STIGMA DI PAPUA: Kumpulan Catatan Seorang Gembala” (Yoman:2020).

“Dari buku ini saya mendapat banyak pencerahan akan situasi dan kondisi Papua yang tidak banyak dipublikasikan oleh media. Misalnya, pembunuhan 4 (empat) siswa di Paniai pada 8 Desember 2014, berbagai pembunuhan yang dilakukan oleh TNI-Polri dengan alasan demi keamanan nasional. Saya setuju dengan Socratez bahwa, nyawa manusia lebih berharga dan bahkan jauh sangat berharga dari pada keamanan nasional. Keamanan tidak bisa ditempuh dengan cara mencabut nyawa manusia. Ini salah dan tidak bisa dibenarkan.”

  1. VB ( 8 November 2019)..

“Terimakasih bapak karena share artikel-artikel. Saya jadi terus mendapat perspektif lain soal Papua, dibanding yang selama ini pemerintah Indonesia katakan.”

  1. SBD ( 8 Oktober 2019).

“Saya sering baca tulisan bapak di Facebook. Sangat berimbang, Karena saya yakin bapak membuat tulisan dengan fakta dan sesuai riset.”

“Selama ini, Saya dan mungkin orang lain yang kebanyakan tinggal diluar Papua hanya mendapat berita dari satu arah saja.”

“Sekarang saya sangat beruntung bisa berteman dengan bapak dan dapat menerima berita terbaru dan kondisi Papua.”

“Tindakan yang sangat tepat sekali, saya sangat setuju sekali kalau kita semua bertindak atas dasar kemanusiaan walaupun keyakinan dan keimanan kita berbeda.”

  1. S (2 November 2019).

“Napuluk waa (anak terima kasih) kamu termasuk ahli sejarah dan rajin membaca baik sejarah Papua/Indonesia maupun dunia/Afrika.”

“Bapak sampe cape baca tulisanmu karena sangat banyak.”

“Bapak juga lihat di youtube diwawacarakan oleh seorang wanita non Papua. Good!!!

Tulisan George Saa juga bagus. Munculkan anak-anak yg pintar-pintar seperti Socrates,George Saa dan lain-lain ini untuk diskusi tentang Papua.”

“Ini sudah saya tonton sampe habis. Bapak juga nonton wawancara Oktovianus Mote itu kakakmu cerdas (kamu lebih cerdas).”

Nomor 5 ini komentar bapak guru saya waktu di Sekolah Dasar Negeri Tiom (sekarang: SD Inpres) terletak di ibu kota kabupaten Lanny Jaya. Guru saya orang Jawa Tengah.

  1. A (8 November 2019)

“Terharu sekali membaca surat bapak… Maaf tanpa minta ijin saya sudah share…Kami terus mendoakan rakyat Papua.”

“Terima kasih pak Yoman, saya membaca dengan hati yang bergetar… Kami dapat merasakan sejak penambahan pasukan TNI & Polri, penangkapan, penganiayaan & pembunuhan tejadi di banyak tempat di West Papua….Ya Tuhan… Berikanlah kepada sdr/i ku West Papua kesempatan bebas menentukan nasib masa depan mereka yang terbaik. Agar anak cucu mereka dapat bersuka cita karena kekayaan tanah yang Engkau anugrahkan… Amiin…”

  1. KM (25 Oktober 2019).

“Saya selalu ikuti bapa punya opini lewat buku, artikel, dan youtube. Sayang sekali, buku yang bapak tulis tidak semua dijual di toko buku. Saya ingin kasih ke anak-anak murid biar mereka baca juga.”

“Saya bisa merasakan ratapan dan jeritan hati bangsa West Papua melalui rangkaian kalimat yang ada dalam artikel bapak.”

“Tuhan dengar. Tuhan dengar. Tuhan Allah tidak tinggal diam.”

“Rata-rata yang dishare, mereka dapat banyak informasi baru dari bapak. Tidak banyak yang berkomentar lebih. Hanya memberikan beberapa emotion tanda terima kasih karena sudah baca banyak informasi penting yang bapak tulis dalam artikel itu.”

  1. AP ( 31 Oktober 2019).

“Terima kasih sudah share surat terbuka tersebut, Pak Socratez. Sungguh berguna.”

“Terima kasih banyak untuk penjelasannya yang komprehensif. Saya perlu mendalami agar bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan teman-teman saya di luar Papua di sini supaya ikuti perkembangan di Papua. Mohon info. Apakah program transmigrasi Pemerintah Pusat ke Papua masih terus berjalan? Ada info yang bilang sudah dihentikan. Ternyata masih berlanjut ya.”

“Mohon maaf sekali atas jatuhnya korban selama ini. Saya sedih dan malu sebagai bagian dari Bangsa Indonesia. Saya (seperti juga mungkin Gus Dur dulu) sangat berharap masalah-masalah Papua bisa diselesaikan.”

“Saya pribadi memiliki pandangan bahwa orang Papua itu saudara saudari saya yang perlu dihormati dan tidak layak didiskriminasi dalam wujud apapun.”

“Orang-orang yg telah berlaku rasis dan mendiskriminasikan saudara saudari Papua harusnya merasa sangat berdosa dan malu melihat bahwa saudara saudari Papua yang sudah dihina ini malah membalas hinaan dengan dengan menyelamatkan ribuan warga pendatang, kebanyakan warga Muslim ketika pecah kerusuhan di Wamena. Terima kasih banyak untuk saudara saudari Papua dan mohon maaf sebesarnya atau tindakan rasis sebagian orang selama ini.”

  1. PT ( 2 Januari 2019).

Kesan pribadi saya: Ndumma sebenarnya pribadi yng BAIK HATI. Selalu mau membantu orang termasuk bantu Indonesia dan TNI. Tetapi….. jika itikad baik Ndumma itu dimengerti salah oleh orang yang dibantu dan mereka “menyerang” Ndumma. Maka pada detik itu juga Ndumma berbalik “menyerang” mereka dengan MEMBONGKAR semua KEBENARAN dari awal sejarah Papua hingga detik ini utk selama-lamanyanya…..” Amin! “Luar biasa. Saya justru ditelepon banyak orag tentang artikel ini. Kesan positif. Karena sumber penulisannya sangat kuat dari berbagai literatur berbobot.”

Ini hanya sebagian kecil respon dari para pembaca buku, artikel, opini, fakta, realitas dan perspektif. Penulis juga mendapat inspirasi dari kutipan di bawah ini.

“Sukmatari, kau sudah melangkah. Jangan mundur. Tulis sebanyak-banyaknya tentang bangsamu. Bangsa tertindas yang selama berabad-abad membisu. Tulis, umumkan, jangan sampai tak melakukan perlawanan. Ingat gadis Jepara itu, ingat Mutatuli, ingat Hatta, ingat Suwardi Suryoningrat, Douwes Dekker, Tjipto Mangunkusumo, semua menggoncangkan sendi-sendi pemerintah kolonial dengan tulisan. Ya, dengan TULISAN! Menulis dan menulis sangat berbeda, ada orang menulis untuk klangenan, ada orang menulis untuk memperjuangkan sesuatu. Dan semua patriot yang kusebut, mereka menulis untuk memperjuangkan asas. Menulis hanya sebuah cara! Tulis Sukma.Tulis semua yang kau ketahui mengenai bangsamu. Tulis semua gejolak perasaanmu tentang bumi sekitarmu. Karena dengan menulis kau belajar bicara. …” (Mayon Sutrisno: Arus Pusaran Sukarno, Roman Zaman Pergerakan: hal. 201).

Ita Wakhu Purom,Senin, 14 September 2020

Penulis

  1. Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua.
  2. Anggota Dewan Gereja Papua (WPCC).
  3. Anggota Alliansi Baptis Dunia (BWA).