Westpapuanews.Org

Berita tangan pertama dari Tanah Papua

BACAAN PROGRESIF

Peran Individu Dalam Sejarah – Bagian I

GEORGI PLEKHANOV

Diterbitkan pertama kalinya di jurnal Nauchnoye Obozreniye, No. 3 & 4, 1898.

Sumber: Georgi Plekhanov Selected Philosophical Works Volume II. Progress Publishers, Moscow, 1973. hal. 283-315.

Penerjemah: Ted Sprague [30 September 2010; Revisi 8 November 2022]

I

Pada paruh kedua tahun tujuh puluhan [1870], almarhum Kablitz menulis sebuah esai berjudul: “Intelek dan Perasaan sebagai Faktor-Faktor Progres”, di mana, mengacu pada Spencer, dia mengajukan bahwa perasaan memainkan peran utama dalam progres umat manusia, dan bahwa intelek hanya memainkan peran sekunder, dan bahkan cukup subordinat. Seorang “sosiolog terhormat”[1] menjawab Kablitz, mengekspresikan rasa geli dan keterkejutan pada sebuah teori yang menempatkan intelek di tempat kedua. “Sosiolog terhormat” ini tentu saja benar dalam membela intelek. Akan tetapi, dia akan lebih benar lagi bila saja dia, tanpa mengkaji esensi masalah yang dikemukakan oleh Kablitz, menunjukkan bahwa metode presentasinya adalah mustahil dan tak bisa diterima. Memang, teori “faktor-faktor” pada dasarnya dangkal, karena teori ini secara arbitrer memilih berbagai aspek kehidupan sosial, membuat mereka menjadi hipostasis [substansi fundamental yang mendasari hal-ihwal], dan mengubah mereka menjadi kekuatan-kekuatan yang unik, yang dari berbagai sisi dan dengan kesuksesan yang tak sama mendorong manusia sepanjang jalur progres. Tetapi teori ini bahkan lebih dangkal dalam bentuk yang dipresentasikan oleh Kablitz, yang mengubah bukan berbagai aspek aktivitas manusia sosial, tetapi berbagai ranah kesadaran manusia yang individual, menjadi hipostasis sosiologis yang unik. Sungguh ini adalah limit abstraksi yang paling ekstrem; lebih dari ini tidak seorang pun dapat melampauinya, karena di seberang sana terletak kerajaan absurditas yang teramat konyol. Sang “sosiolog terhormat” itu seharusnya menarik perhatian Kablitz dan para pembacanya ke sini. Mungkin, setelah mengungkapkan labirin abstraksi yang ditempuh oleh Kablitz dalam usahanya untuk mencari “faktor” utama dalam sejarah, sang “sosiolog terhormat” itu dapat berkontribusi pada kritik terhadap teori faktor-faktor. Ini akan sangat berguna bagi kita semua pada saat itu. Tetapi dia tidak mampu memenuhi misi ini karena dia sendiri percaya pada teori tersebut, dan dia berbeda dari Kablitz hanya dalam kecenderungannya pada eklektisme, dan oleh karenanya baginya semua “faktor-faktor” tampak sama pentingnya. Lebih lanjut, watak eklektik pemikirannya menemukan ekspresinya yang mencolok dalam serangannya terhadap materialisme dialektis, yang dia anggap sebagai sebuah doktrin yang mengorbankan semua faktor-faktor lain demi “faktor” ekonomi dan mereduksi peran individu dalam sejarah menjadi nol. Tidak pernah terbayangkan oleh sang “sosiolog terhormat” ini bahwa sudut pandang “faktor-faktor” adalah asing bagi materialisme dialektis, dan hanya orang yang sama sekali tidak mampu berpikir secara logis dapat menemukan dalam materialisme dialektis pembenaran terhadap apa-yang-disebut quietisme[2] [Kepercayaan Kristen yang mengajarkan umatnya untuk mencampakkan kehendak bebas, menjadi pasif, agar bisa menyerah sepenuhnya pada takdir ilahi]. Selain itu, kekeliruan yang dibuat oleh “sosiolog terhormat” kita ini bukanlah sesuatu yang unik; banyak orang sudah membuat kekeliruan yang sama, sedang membuatnya, dan mungkin, akan terus membuatnya.

Kaum Materialis telah dituduh condong ke quietisme bahkan sebelum mereka selesai menyusun konsepsi dialektis mereka mengenai Alam dan sejarah. Tanpa terlalu jauh-jauh menengok ke masa lalu, kita dapat mengingat polemik antara dua ilmuwan Inggris ternama, Joseph Priestley dan Richard Price. Menganalisis teori Priestley, Price berargumen bahwa materialisme tidaklah kompatibel dengan konsep kebebasan, dan bahwa materialisme mengesampingkan semua aktivitas mandiri oleh individu. Dalam jawabannya, Priestley mengacu pada pengalaman sehari-hari. Dia menulis: “Saya tidak perlu berbicara mengenai diri saya sendiri, yang jelas bukan orang yang paling apatis dan tak bergairah; justru orang-orang yang percaya pada doktrin keniscayaan adalah orang-orang yang paling bergairah, paling aktif, paling berenergi dan gigih dalam mengejar tujuan yang teramat penting.” Priestley berbicara mengenai sekte agama demokratis[3] yang saat itu dikenal dengan nama Kristen Keniscayaan[4]. Kami tidak tahu apakah sekte ini seaktif seperti yang dibayangkan oleh Priestley, yang merupakan anggota sekte ini. Tetapi ini tidak penting. Tidak ada keraguan sedikit pun bahwa konsepsi materialis mengenai kehendak manusia adalah kompatibel dengan aktivitas praktis yang paling berenergi. Gustave Lanson mengatakan “semua doktrin yang paling menuntut pengerahan kehendak manusia akan menyatakan, secara prinsipil, bahwa kehendak manusia adalah impoten; mereka menyangkal kebebasan dan menundukkan dunia pada fatalisme.”[5] Lanson keliru dalam berpikir bahwa setiap penyangkalan atas apa yang disebut kehendak bebas akan mengarah ke fatalisme; tetapi ini tidak mencegahnya dari mengakui sebuah fakta sejarah yang sangat menarik: memang, sejarah menunjukkan bahwa bahkan fatalisme tidak selalu menjadi penghalang atas aksi yang energetik dan praktis; sebaliknya, dalam epos tertentu, fatalisme adalah basis psikologi yang esensial untuk aksi semacam itu. Untuk membuktikan ini, kami akan menunjuk pada kaum Puritan, yang energinya melampaui semua kelompok lainnya di Inggris pada abad ke-17, dan para pengikut Nabi Muhammad, yang dalam waktu pendek menundukkan wilayah yang sangat luas dari India hingga Spanyol. Bila ada yang berpikir bahwa keinsafan akan keniscayaan serangkaian peristiwa membuat kita tidak mampu secara psikologis untuk merealisasikan atau mencegah peristiwa-peristiwa tersebut, maka mereka sangatlah keliru.[6]

Di sini, semua tergantung pada apakah aktivitas saya membentuk sebuah tautan esensial dalam rantaian peristiwa-peristiwa yang tak terelakkan. Bila iya, maka saya akan lebih mantap dan tindakan-tindakan saya akan lebih teguh. Tidak ada yang mengejutkan di sini: ketika kami mengatakan bahwa seorang individu tertentu menganggap aktivitasnya sebagai sebuah tautan esensial dalam rantaian peristiwa-peristiwa yang tak terelakkan, maksud kami, di antara lainnya, adalah bagi individu ini ketiadaan kehendak bebas berarti ketidakmampuan untuk tidak bertindak, dan ketiadaan kehendak bebas ini terefleksikan dalam pikirannya sebagai kemustahilan untuk bertindak berbeda dari apa yang dilakukannya sekarang. Inilah cara pandang yang dapat diekspresikan oleh ujaran terkenal Martin Luther: “Hier stehe ich, ich kaan nicht anders” [Di sini saya berdiri, saya tidak dapat melakukan yang lainnya]; inilah mengapa manusia menunjukkan energi yang tak terhingga dan meraih pencapaian-pencapaian yang paling luar biasa. Hamlet[7] tidak pernah memiliki cara pandang ini, dan inilah mengapa dia hanya bisa mengeluh dan merenung. Dan inilah mengapa Hamlet tidak akan pernah bisa menerima sebuah filsafat yang mengatakan kebebasan hanyalah keniscayaan yang telah berubah menjadi kesadaran. Seperti yang dikatakan oleh Fichte: “Orangnya begitu, filsafatnya juga begitu.” — Bersambung ke Bagian II

_______________________________

[1] N. K. Mikhailovsky, yang membalas artikel Kablitz dalam Literary Notes for 1878. [Ed.]

[2] Quietisme adalah sebuah filsafat Kristen yang menyebar luas di Prancis, Italia, dan Spanyol pada abad ke-17, yang mengajarkan bahwa manusia harus menolak kehendak bebas, menjadi pasif, dan menyerahkan dirinya pada takdir ilahi, sebagai syarat untuk menjadi sempurna. [Ed.]

[3] Orang Prancis abad ke-17 akan terkejut dengan kombinasi materialisme dan dogma religius ini. Namun di Inggris tidak seorang pun akan mengira ini aneh. Priestley sendiri sangat religius. Negara lain, kebudayaan lain. [Plekhanov]

[4] Kristen Keniscayaan adalah sebuah sekte Kristen yang memandang bahwa kehendak manusia itu tidaklah bebas dan bahwa makhluk bermoral tidak bertindak bebas tetapi mereka bertindak sesuai dengan keniscayaan. [Ed.]

[5] Lihat terjemahan Rusia karya Sejarah Sastra Prancis, Vol. I, hal. 511. [Histoire de la littérature française, Paris, 1896, hal. 446]. [Plekhanov]

[6] Semua orang tahu bahwa menurut doktrin Calvin semua tindakan manusia sudah ditentukan oleh Tuhan. Praedestinationem vocamur aeternum Dei decretum, quod apud se constitutum habuit, quid de unoquoque homine fieri valet (Institutio, lib. III, cap. 5) [Yang kita maksud dengan takdir adalah apa yang telah diputuskan secara abadi oleh Tuhan, yang ditentukan oleh Dia untuk Dirinya sendiri, dan berlaku untuk manusia.] Menurut doktrin ini, Tuhan memilih hamba-hamba tertentu untuk membebaskan rakyat tertindas. Salah satunya adalah Musa, yang membebaskan rakyat Israel. Semua menunjukkan bahwa Cromwell juga melihat dirinya sebagai instrumen Tuhan; dia selalu menyebut tindakannya sebagai buah dari kehendak Tuhan, dan kemungkinan besar dia sungguh mempercayai ini. Bagi dia, semua tindakannya diwarnai sedari awal oleh sepuhan keniscayaan. Ini tidak mencegahnya dari berjuang demi kemenangan, ini bahkan memberi perjuangannya sebuah kekuatan yang teramat besar. [Plekhanov]

[7] Hamlet adalah tokoh dalam drama Hamlet karya William Shakespeare. [Ed.]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *