Westpapuanews.Org

Berita tangan pertama dari Tanah Papua

BACAAN PROGRESIF

Peran Individu Dalam Sejarah — Bagian II

GEORGI PLEKHANOV

II

Ada orang yang menganggap serius pernyataan Stammler mengenai apa yang dia sebut kontradiksi tak-terdamaikan yang menurutnya inheren dalam sebuah teori sosial-politik Eropa-Barat tertentu [Marxisme]. Kami merujuk ke contohnya mengenai gerhana bulan. Pada kenyataannya, ini adalah contoh yang sangat konyol. Tindakan manusia bukanlah, dan tidak akan bisa menjadi, salah satu syarat yang diperlukan untuk gerhana bulan; untuk alasan ini saja, sebuah partai yang bertujuan memfasilitasi gerhana bulan hanya dapat didirikan di rumah sakit jiwa. Bahkan bila tindakan manusia merupakan salah satu syarat untuk gerhana bulan, bagi orang-orang yang berhasrat menyaksikan fenomena gerhana bulan tetapi mereka yakin ini pasti akan terjadi tanpa bantuan apapun dari mereka, mereka tidak akan bergabung dengan partai gerhana bulan. Dalam hal ini, “quietisme” mereka berarti menjauhi tindakan yang mubazir, atau tidak berguna, dan tidak ada hubungannya dengan quietisme yang sesungguhnya. Supaya contoh gerhana bulan ini dapat menjadi masuk akal dalam kasus yang kita sebut di atas, maka contoh ini harus dirombak sepenuhnya. Kita harus membayangkan bahwa sang bulan dianugerahi dengan kesadaran, dan bahwa posisinya di angkasa yang menyebabkan gerhana tampak baginya sebagai buah penentuan kehendak bebasnya sendiri; dan bahwa ini tidak hanya memberinya kepuasan yang besar, tetapi juga diperlukan demi kedamaian hatinya, dan oleh sebab itu dia selalu dengan bergairah mencoba menduduki posisi itu.[8] Setelah membayangkan ini semua, kita harus bertanya pada diri kita sendiri: Apa yang akan dirasakan oleh sang bulan bila dia akhirnya menemukan bahwa gerakannya di angkasa tidaklah ditentukan oleh kehendak bebas ataupun “cita-citanya”, tetapi, sebaliknya, gerakannya menentukan kehendaknya dan “cita-citanya”? Menurut Stammler, penemuan semacam ini akan membuatnya tidak mampu bergerak, kecuali bila dia mampu membebaskan dirinya dari kesulitan ini dengan kontradiksi logika tertentu. Tetapi asumsi semacam ini tidak berdasar sama sekali. Benar, penemuan ini dapat menjadi alasan formal untuk emosi buruknya, kekacauan moral dalam dirinya, kontradiksi antara “cita-citanya” dan realitas mekanikal. Tetapi karena kita mengasumsikan bahwa, secara keseluruhan, “kondisi psikologi sang bulan” secara umum ditentukan pada analisa terakhir oleh gerakannya, maka penyebab kekacauan dalam benaknya harus dicari dari gerakan itu. Setelah pemeriksaan yang seksama, mungkin ditemukan bahwa ketika bulan berada pada titik apoge [titik terjauh bulan terhadap bumi], dia merasa sedih karena kehendaknya tidaklah bebas; dan ketika dia berada di titik perige [titik terdekat bulan terhadap bumi], situasi yang sama ini menjadi sebab baru dan formal untuk kedamaian hati dan kebahagiaannya. Mungkin, yang sebaliknya dapat terjadi: mungkin ini membuktikan sang bulan telah menemukan cara untuk mendamaikan kehendak bebas dengan keniscayaan, bukan di titik perigenya, tetapi di titik apogenya. Bagaimanapun juga, penyelesaian semacam itu jelas mungkin; keinsafan akan keniscayaan cukup kompatibel dengan aksi praktis yang paling energetik. Setidaknya, ini telah dibuktikan oleh sejarah sampai hari ini. Orang-orang yang menyangkal kehendak bebas sering kali memiliki kebulatan tekad yang jauh melampaui orang-orang sezamannya dan mereka paling menuntut kebulatan tekad. Sudah banyak contohnya. Mereka diketahui luas. Contoh-contoh ini bisa dilupakan, seperti yang telah dilakukan oleh Stammler, hanya bila orang sengaja enggan melihat kenyataan sejarah sebagaimana adanya. Keengganan ini begitu mengakar, misalnya, di antara kaum subjektivis, dan juga di antara kaum filistin Jerman. Namun, kaum filistin dan subjektivis bukanlah manusia, mereka hanyalah bayangan, seperti yang akan dikatakan oleh Belinsky.

Namun, mari kita teliti lebih dekat kasus di mana aksi seorang individu – di masa lalu, masa kini, atau masa depan – tampak baginya diwarnai sepenuhnya oleh keniscayaan. Kita sudah tahu bahwa individu seperti ini, seperti misalnya Nabi Muhammad, yang menganggap dirinya sebagai utusan Tuhan, atau seperti Napoleon, yang menganggap dirinya terpilih oleh takdir yang tidak dapat dihindari, atau seperti sejumlah tokoh ternama pada abad ke-19, yang menganggap dirinya sebagai ekspresi kekuatan progres sejarah yang tak terbendung, menunjukkan kekuatan kehendak yang begitu kuat, dan menyapu dengan mudahnya semua rintangan yang didirikan oleh orang-orang picik seperti Hamlet dan Hamletkin[9],[10]. Tetapi kasus ini sekarang menjadi menarik dari sudut pandang lain, yakni: ketika keinsafan akan ketiadaan kehendak bebas saya menunjukkan dirinya pada saya hanya dalam bentuk kemustahilan subjektif dan objektif untuk bertindak berbeda dari apa yang sedang saya lakukan, dan ketika, pada saat yang sama, tindakan-tindakan saya bagi saya adalah tindakan yang paling diperlukan dari semua tindakan lainnya yang mungkin, maka dari itu di dalam pikiran saya keniscayaan menjadi teridentifikasi dengan kebebasan dan kebebasan teridentifikasi dengan keniscayaan; dan maka dari itu, saya tidak-bebas hanya dalam artian bahwa saya tidak dapat mengganggu keselarasan antara kebebasan dan keniscayaan ini, saya tidak dapat mempertentangkan mereka satu sama lain, saya tidak dapat merasakan belenggu keniscayaan. Tetapi ketiadaan kebebasan seperti ini pada saat yang sama merupakan manifestasinya yang paling penuh.

Simmel mengatakan bahwa kebebasan adalah selalu kebebasan dari sesuatu, dan ketika kebebasan tidak dipikirkan sebagai kebalikan dari belenggu, maka kebebasan tersebut tidak ada artinya. Tentu saja ini benar. Tetapi, kebenaran yang dangkal dan mendasar ini tidak bisa menjadi landasan untuk menolak sebuah tesis yang merupakan salah satu penemuan paling brilian dalam filsafat, yakni, bahwa kebebasan berarti keinsafan akan keniscayaan. Definisi Simmel terlalu sempit; ia hanya merujuk pada kebebasan dari belenggu eksternal. Selama kita hanya mendiskusikan belenggu seperti ini, maka akan sangat konyol untuk mengidentifikasikan kebebasan dengan keniscayaan: seorang pencopet tidak bebas untuk mencuri sapu tangan Anda bila Anda mencegahnya; hanya setelah dia mengatasi perlawanan Anda maka dia menjadi bebas untuk mencuri. Selain konsepsi kebebasan yang dasar dan dangkal ini, ada konsepsi lainnya yang jauh lebih dalam. Bagi mereka yang tidak mampu berpikir secara filosofis, konsep ini tidak eksis sama sekali; dan mereka yang mampu berpikir secara filosofis dapat memahaminya hanya setelah mereka menanggalkan dualisme mereka dan menyadari bahwa, berkebalikan dengan asumsi dualisme, tidak ada jurang antara subjek dan objek.

Kaum subjektivis Rusia mempertentangkan prinsip utopis mereka dengan realitas kapitalis kita, dan tidak melangkah lebih jauh dari pertentangan ini. Kaum subjektivis terjebak dalam lumpur dualisme. Cita-cita kaum subjektivis Rusia lebih menyerupai realitas kapitalis daripada prinsip “murid-murid” Rusia [kaum Marxis di Rusia]. Meskipun demikian, “murid-murid” ini telah menemukan sebuah jembatan yang menghubungkan cita-cita mereka dengan realitas. Sang “murid” telah mencapai tingkatan monisme[11]. Dalam pendapat mereka, dalam perkembangannya kapitalisme akan bergerak ke negasinya sendiri dan ke realisasi cita-cita mereka, yaitu cita-cita “murid-murid” Rusia – dan bukan hanya Rusia saja. Ini adalah keniscayaan sejarah. Sang “murid” berperan sebagai instrumen untuk keniscayaan ini dan mesti melakukan ini karena status sosialnya, dan karena konstruksi intelektual dan moralnya yang dibentuk oleh status sosialnya. Ini juga merupakan sebuah aspek keniscayaan. Tetapi karena status sosialnya telah membentuk karakter tertentu dan bukan yang lainnya, dia tidak hanya berperan sebagai instrumen keniscayaan dan mesti melakukan ini, tetapi dia juga berhasrat melakukan ini, dan mesti merasakan hasrat itu. Ini adalah aspek kebebasan, dan terlebih dari, aspek kebebasan yang telah tumbuh dari keniscayaan, dalam kata lain, lebih tepatnya, ini adalah kebebasan yang telah menjadi teridentifikasi dengan keniscayaan – ini adalah keniscayaan yang telah berubah menjadi kebebasan.[12] Kebebasan semacam ini juga merupakan kebebasan dari belenggu tertentu; ia juga adalah anti-tesis dari pembatasan tertentu: definisi yang mendalam tidak menyangkal definisi yang dangkal, tetapi, dalam melengkapinya, definisi mendalam mempertahankan yang dangkal di dalam dirinya. Tetapi belenggu macam apa, pembatasan macam apa, yang dipermasalahkan dalam kasus ini? Ini jelas: ini adalah masalah belenggu moral yang mengekang energi orang-orang yang belum menanggalkan dualisme; belenggu yang diderita oleh orang-orang yang belum mampu menjembatani jurang antara cita-cita dan realitas. Sampai individu tersebut dapat memenangkan kebebasan ini dengan terobosan yang berani dalam pemikiran filsafat, dia tidak sepenuhnya bebas, dan penderitaan moralnya adalah bayarannya untuk keniscayaan eksternal yang dihadapinya. Tetapi segera setelah individu ini menanggalkan rantai belenggu yang menyakitkan dan memalukan ini, dia akan lahir ke dalam sebuah kehidupan yang baru, sempurna, dan yang tidak pernah dia kenali; dan aktivitas bebasnya akan menjadi ekspresi keniscayaan secara sadar dan bebas.[13] Kemudian dia akan menjadi sebuah kekuatan sosial yang besar; dan tidak ada yang bisa, dan tidak ada yang akan, menghalanginya dari:

Menghancurkan dusta yang keji — seperti badai kemurkaan surga … — Bersambung ke Bagian III

__________________________

[8] “C’est comme si l’aiguille aimantée prenait plaisir de se tourner vers le nord car elle croirait tourner indépendamment de quelque autre cause, ne s’apercevant pas des mouvements insensibles de la matière magnétique” (Leibnitz, Théodicée, Lausanne, MDCCLX, hal. 598). [Ini seolah-olah jarum kompas, yang tidak menyadari pengaruh magnet yang tak terlihat dan membayangkan dia bergerak secara independen dari sebab-sebab apapun, mendapatkan kepuasan dengan berpaling ke utara seturut kehendaknya.] [Plekhanov]

[9] Kita akan mengutip satu contoh lainnya, yang secara jelas mengilustrasikan bagaimana kuatnya semangat orang-orang seperti ini. Dalam suratnya kepada gurunya Calvin, Renée de France, Duchess of Ferrare (anak perempuan Louis XII), menulis seperti berikut: “Tidak, saya belum melupakan apa yang kamu tulis kepada saya: bahwa David sangat membenci musuh-musuh Tuhan. Dan saya tidak akan pernah bertindak berbeda, karena saya tahu bahwa sang Raja, ayahku, sang Ratu, ibuku, almarhum Pangeran, suamiku (feu monsieur mon mari) dan semua anak-anakku telah diasingkan oleh Tuhan, dan saya akan membenci mereka dengan kebencian yang mematikan dan menyumpah mereka ke Neraka,” dst. Sungguh suatu energi destruktif yang mengerikan, yang ditunjukkan oleh orang-orang yang merasa seperti ini! Dan kendati demikian, orang-orang ini menyangkal kehendak bebas. [Plekhanov]

[10] Plekhanov merujuk ke karya I.S. Turgenev, “Hamlet of Shchigrovsky District”. [Ed.]

[11] Monisme adalah filsafat yang memandang ide dan materi, subjek dan objek, sebagai satu kesatuan. Ini berkebalikan dengan dualisme yang melihat adanya jurang antara subjek dan objek. [Ed.]

[12] “Die Notwendigkeit wird nicht dadurch zur Freiheit, dass sie verschwindet, sondern dass nur ihre noch innere Identität manifestiert wird.” (Hegel, Wissenschaft der Logik, Nürnberg, 1816, zweites Buch, S. 281) [Keniscayaan menjadi kebebasan bukan dengan menghilang; ia menjadi kebebasan hanya karena identitasnya yang masih inheren memanifestasikan dirinya.] [Plekhanov]

[13] Seperti yang dikatakan Hegel tua dengan sangat baik: “Die Freiheit ist dies, Nichts zu wollen als sich” (Werke, В. 12, S. 98 Philosophie der Religion). [Kebebasan tidak lain adalah penegasan diri sendiri.] [Plekhanov]

One thought on “Peran Individu Dalam Sejarah — Bagian II

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *