VLADIMIR LENIN
1. Imperialisme, Sosialisme dan Pembebasan Bangsa Tertindas
Imperialisme adalah tahapan tertinggi dari perkembangan kapitalisme. Kapital di negeri-negeri maju telah berkembang melebihi batasan-batasan Negara-bangsa. Kapital telah membangun monopoli yang menggantikan persaingan, dengan begitu menciptakan semua syarat objektif untuk mencapai sosialisme. Oleh sebab itu di Eropa Barat dan di Amerika Serikat, perjuangan revolusioner kaum proletar untuk penggulingan pemerintahan-pemerintahan kapitalis, untuk pengambilalihan aset-aset borjuasi, adalah sesuatu yang mendesak hari ini. Imperialisme memaksa massa ke dalam perjuangan ini dengan mempertajam antagonisme-antagonisme klas hingga ke tingkatan yang sangat besar, dengan memperburuk kondisi-kondisi massa baik secara ekonomi – hutang dan biaya hidup yang tinggi, serta secara politik – tumbuhnya militerisme, peperangan-peperangan yang terus terjadi, meningkatnya reaksi, semakin kuat dan meluasnya penindasan terhadap bangsa-bangsa dan penjarahan kolonial. Kemenangan sosialisme harus mencapai demokrasi yang sepenuhnya dan, sebagai akibatnya, tidak hanya membawa kesetaraan sepenuh-penuhnya di antara bangsa-bangsa, tetapi juga memberikan hak kepada bangsa-bangsa yang tertindas untuk menentukan nasibnya sendiri, yaitu hak untuk bebas memisahkan diri secara politik. Partai-partai Sosialis yang gagal membuktikan dengan seluruh aktivitas mereka hari ini, dan juga saat revolusi serta setelah kemenangannya, bahwa mereka akan membebaskan bangsa-bangsa yang tertindas dan membangun hubungan dengan mereka di atas dasar sebuah persatuan yang bebas – dan sebuah persatuan yang bebas adalah sebuah formula kosong bila tidak disertai dengan hak untuk memisahkan diri – partai yang seperti itu akan melakukan pengkhianatan terhadap sosialisme.
Tentu saja demokrasi juga merupakan sebuah bentuk Negara yang harus hilang ketika Negara menghilang, namun hal ini akan terjadi hanya dalam proses transisi dari sosialisme yang terkonsolidasi dan menang sepenuhnya menuju ke komunisme sepenuhnya.
2. Revolusi Sosialis dan Perjuangan Untuk Demokrasi
Revolusi Sosialis bukanlah sebuah tindakan tunggal, bukanlah sebuah pertempuran tunggal dalam satu front yang tunggal, namun adalah keseluruhan jaman konflik-konflik klas yang semakin intensif, sebuah rangkaian panjang pertempuran di seluruh front, yaitu pertempuran seputar semua masalah ekonomi dan politik, yang dapat memuncak hanya dalam pengambilalihan hak-milik kaum borjuasi. Akan menjadi kesalahan pokok untuk menganggap bahwa perjuangan untuk demokrasi dapat membelokkan proletariat dari revolusi sosialis, atau menghalang-halangi, atau mengaburkannya, dsb. Sebaliknya, seperti halnya sosialisme tidak dapat menang kecuali kalau sosialisme memajukan demokrasi seutuhnya, maka proletariat tidak akan mampu menyiapkan kemenangan terhadap borjuasi kecuali kalau proletariat melancarkan perjuangan yang luas, konsisten dan revolusioner untuk demokrasi.
Akan juga menjadi kesalahan untuk menghilangkan poin apapun dari program demokratik, sebagai contoh, poin hak penentuan nasib sendiri dari sebuah bangsa, atas dasar bahwa program itu “tidak dapat dicapai”, atau bahwa itu adalah “ilusi” di bawah imperialisme. Pernyataan bahwa hak sebuah bangsa untuk menentukan nasib sendiri tidak bisa dicapai dalam kerangka kapitalisme dapat dimengerti dengan melihat makna ekonomi yang absolut, atau dalam makna politik yang konvensional.
Dalam makna yang pertama, pernyataan tersebut secara fundamental salah dalam teori. Pertama, dalam makna ini, adalah tidak mungkin untuk mendapatkan hal-hal seperti kerja yang dibayar sesuai dengan nilainya atau penghapusan krisis, dsb di bawah kapitalisme. Namun sepenuhnya salah untuk juga berpendapat bahwa hak penentuan nasib sendiri juga tidak dapat dicapai. Kedua, bahkan contoh Norwegia yang memisahkan diri dari Swedia pada 1905 cukup untuk menyanggah argumentasi bahwa pemisahaan diri sebuah bangsa “tidak dapat dicapai”. Ketiga, akan menggelikan untuk menyangkal bahwa dengan sedikit perubahan dalam hubungan politik dan strategis, sebagai contoh antara Jerman dan Inggris, pembentukan Negara-negara baru, Polandia, India, dsb dapat “dicapai” dengan cepat. Keempat, kapital finans, dalam usahanya untuk ekspansi, akan “secara bebas” membeli dan menyuap pemerintahan yang paling bebas, paling demokratik dan paling republik serta para pejabat terpilih dari negeri manapun, bagaimanapun “independennya” pemerintahan tersebut. Dominasi kapital finans, seperti juga kapital secara umum, tidak dapat dihilangkan oleh reformasi bentuk apapun di dalam ranah demokrasi politik, dan hak penentuan nasib sendiri secara keseluruhan dan eksklusif ada di dalam ranah tersebut. Namun dominasi kapital finans tidak sedikitpun menghancurkan signifikansi demokrasi politik sebagai bentuk penindasan kelas dan perjuangan kelas yang lebih bebas, lebih luas, dan lebih jelas. Oleh karena itu semua argumentasi yang menyatakan bahwa “kemustahilan mencapai” secara ekonomi salah satu tuntutan demokrasi politik di dalam kapitalisme mereduksi diri mereka sendiri ke dalam sebuah definisi yang secara teori keliru mengenai relasi-relasi umum dan fundamental dari kapitalisme dan dari demokrasi politik secara umum.
Dalam makna yang kedua, pernyataan tersebut adalah tidak lengkap dan tidak tepat, karena bukan hanya hak sebuah bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri, tetapi juga semua tuntutan pokok dalam demokrasi politik adalah “mungkin untuk dicapai” di bawah imperialisme, hanya dalam bentuk yang tidak lengkap, termutilasi dan sebagai sebuah pengecualian yang langka [sebagai contoh, pemisahaan Norwegia dari Swedia pada 1905]. Tuntutan untuk kemerdekaan segera bagi negeri-negeri jajahan, seperti yang diajukan oleh semua kaum Sosial Demokrat revolusioner, juga “tidak mungkin dicapai” di bawah kapitalisme tanpa serangkaian revolusi. Akan tetapi ini bukan berarti bahwa Sosial Demokrasi harus menahan diri dari melancarkan sebuah perjuangan yang segera dan paling tegas untuk semua tuntutan tersebut – untuk menahan diri hanya akan memberikan keuntungan pada borjuasi dan reaksi. Sebaliknya, hal tersebut secara tidak langsung menunjukkan bahwa penting untuk memformulasikan dan memajukan semua tuntutan tersebut, bukan dengan cara yang reformis, namun dengan cara yang revolusioner; bukan dalam kerangka legalitas borjuasi, namun dengan menerobosnya; bukan dengan membatasi diri pada pidato-pidato parlementer dan protes-protes verbal, namun dengan mendorong massa ke dalam aksi yang riil, dengan memperluas dan mengobarkan perjuangan untuk setiap tuntutan demokratik yang pokok, sampai dengan dan termasuk juga serangan langsung proletariat terhadap borjuasi, yakni sampai ke revolusi sosialis yang akan melucuti borjuasi. Revolusi sosialis dapat terjadi bukan hanya akibat pemogokan umum, demonstrasi jalanan, kerusuhan akibat kelaparan, pemberontakan di dalam tentara atau pemberontakan di negeri-negeri jajahan, namun juga akibat krisis politik apapun, seperti skandal Dreyfus[1], insiden Zabern[2], atau dalam hubungannya dengan referendum untuk memisahkan diri dari sebuah bangsa yang tertindas, dsb.
Intensifikasi penindasan nasional di bawah imperialisme menjadikan sebuah keharusan bagi Sosial Demokrasi untuk tidak meninggalkan apa yang digambarkan oleh borjuasi sebagai perjuangan “utopis” bagi kemerdekaan bangsa-bangsa untuk memisahkan diri, tetapi, sebaliknya, untuk mengambil keuntungan lebih banyak dari konflik-konflik yang juga muncul atas dasar perjuangan tersebut dengan tujuan untuk membangkitkan aksi massa dan serangan revolusioner terhadap borjuasi.
3. Makna Hak Penentuan Nasib Sendiri dan Hubungannya dengan Federasi
Hak bangsa-bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri bermakna hanya hak untuk kemerdekaan dalam arti politik, hak untuk pemisahan politik secara bebas dari bangsa yang menindas. Secara konkrit, tuntutan demokratik dan politik ini berarti kebebasan sepenuhnya untuk beragitasi mendukung pemisahan diri dan kebebasan untuk menyelesaikan persoalan pemisahan diri dengan cara referendum dari bangsa yang ingin memisahkan diri. Sebagai akibatnya, tuntutan ini bukan berarti identik dengan tuntutan memisahkan diri, untuk partisi, untuk pembentukan negeri-negeri yang kecil. Tuntutan tersebut adalah ekspresi logis dari perjuangan melawan penindasan nasional dalam setiap bentuk. Semakin dekat sistem demokratik negeri tersebut kepada kebebasan sepenuhnya untuk memisahkan diri, akan menjadi semakin lemah dan jarang praktek untuk memperjuangkan pemisahan diri; karena keuntungan-keuntungan dari negeri-negeri yang besar, baik dari sudut pandang perkembangan ekonomi dan dari sudut pandang kepentingan massa, adalah hal yang tidak diragukan lagi; dan keuntungan-keuntungan ini meningkat seiring dengan pertumbuhan kapitalisme. Pengakuan terhadap hak penentuan nasib sendiri tidaklah sama dengan membuat federasi menjadi sebuah prinsip. Seseorang dapat saja menentang dengan teguh prinsip federasi tersebut dan mendukung sentralisme demokratik, namun lebih memilih federasi ketimbang ketidaksetaraan nasional sebagai jalan satu-satunya untuk menuju sentralisme demokratik yang utuh. Adalah dari cara pandang ini, Marx, meskipun seorang sentralis, lebih memilih federasi Irlandia dengan Inggris ketimbang penundukan paksa Irlandia kepada Inggris.
Tujuan sosialisme adalah bukan hanya untuk menghapus pembagian umat manusia hari ini ke dalam negeri-negeri kecil dan semua isolasi nasional; bukan hanya untuk membawa bangsa-bangsa menjadi semakin dekat, namun juga untuk menyatukan mereka. Dan untuk mencapai tujuan ini kita harus, di satu sisi, menjelaskan kepada massa sifat reaksioner dari ide-ide Renner dan Otto Bauer mengenai apa-yang-disebut sebagai “otonomi budaya nasional” dan, di sisi yang lain, menuntut kemerdekaan bangsa-bangsa yang tertindas, bukan dalam kata-kata umum dan samar-samar, bukan dalam pernyataan-pernyataan kosong, bukan dengan “menunda” persoalan tersebut hingga sosialisme dimenangkan, namun dengan sebuah program politik yang terformulasikan secara jelas dan tepat, yang secara khusus akan menjelaskan kemunafikan dan kepengecutan kaum Sosialis di negeri-negeri yang menindas. Seperti juga umat manusia dapat mencapai penghapusan klas-klas hanya dengan melewati periode transisi dari kediktaktoran klas-klas yang tertindas, demikian juga umat manusia dapat mencapai keniscayaan persatuan bangsa-bangsa hanya dengan melewati periode kemerdekaan sepenuhnya dari semua bangsa-bangsa yang tertindas, yaitu kebebasan mereka untuk memisahkan diri.
4. Presentasi Proletariat Revolusioner Mengenai Persoalan Hak Sebuah Bangsa Untuk Menentukan Nasib Sendiri
Bukan hanya tuntutan hak sebuah bangsa untuk menentukan nasib sendiri namun juga semua item dari program demokratik minimum kita telah diajukan sebelum kita, jauh sejak abad ke tujuh belas dan delapan belas, oleh kaum borjuis kecil. Dan kaum borjuis kecil, yang percaya pada kapitalisme “damai”, hingga hari ini terus mengedepankan semua tuntutan tersebut dengan cara utopis, tanpa melihat perjuangan klas dan fakta bahwa perjuangan kelas ini telah menjadi semakin intensif di bawah demokrasi. Gagasan persatuan damai dari bangsa-bangsa yang setara di bawah imperialisme, yang menipu rakyat, dan yang diajukan oleh kelompok Kautsky[3], adalah seperti itu. Untuk melawan kaum utopis yang Filistin dan oportunis ini, program Sosial Demokrasi harus menunjukkan bahwa di bawah imperialisme pembagian bangsa-bangsa menjadi yang menindas dan yang tertindas adalah sebuah kenyataan yang pokok, yang paling penting dan tidak dapat dihindari.
Kaum proletariat dari bangsa-bangsa yang menindas tidak dapat membatasi dirinya sendiri pada ungkapan-ungkapan yang umum dan lazim menentang aneksasi dan mendukung hak yang setara dari bangsa-bangsa secara umum, sesuatu yang dapat diulang-ulang oleh kaum borjuasi pasifis manapun. Proletariat tidak dapat menghindari masalah yang sangat “tidak menyenangkan” bagi kaum borjuasi imperialis, yakni, masalah perbatasan sebuah bangsa yang berdasarkan atas penindasan nasional. Kaum proletariat harus melawan pengekangan paksa bangsa-bangsa yang tertindas di dalam batas-batas bangsa tertentu, dan inilah makna perjuangan untuk hak penentuan nasib sendiri. Kaum proletariat harus menuntut hak politik untuk memisahkan diri bagi negeri-negeri jajahan dan bagi bangsa-bangsa yang ditindas oleh bangsanya “sendiri”. Jika kaum proletariat tidak melakukan hal itu, internasionalisme proletariat akan menjadi ungkapan yang tidak bermakna; saling percaya dan solidaritas klas antar buruh dari bangsa-bangsa yang menindas dan tertindas akan menjadi mustahil; kemunafikan dari kaum reformis dan para pendukung Kautsky yang mendukung hak penentuan nasib sendiri namun bungkam mengenai bangsa-bangsa yang ditindas oleh bangsa “mereka” dan dipenjara secara paksa di dalam negeri “mereka” akan tetap tidak terekspos.
Kaum Sosialis dari bangsa-bangsa yang tertindas, di sisi yang lain, secara khusus harus berjuang untuk dan mempertahankan persatuan absolut [juga secara organisasional] antara buruh dari bangsa yang tertindas dengan buruh dari bangsa yang menindas. Tanpa persatuan semacam itu akan menjadi mustahil untuk mempertahankan kebijakan proletariat yang independen dan solidaritas klas dengan proletariat dari negeri-negeri lain di hadapan semua akal-akalan, pengkhianatan dan tipu daya borjuasi; karena kaum borjuasi dari bangsa yang tertindas selalu mengubah slogan pembebasan nasional menjadi alat untuk menipu buruh; dalam politik internal kaum borjuasi bangsa yang tertindas menggunakan slogan tersebut sebagai alat untuk melakukan perjanjian-perjanjian reaksioner dengan kaum borjuasi dari bangsa yang berkuasa [sebagai contoh, kaum borjuasi Polandia di Austria dan Rusia, yang membuat perjanjian dengan kelompok reaksi untuk menindas kaum Yahudi dan orang Ukraina]; dalam ranah politik luar negeri dia berusaha membuat perjanjian dengan salah satu pesaing kekuatan imperialis dengan tujuan untuk memenangkan kepentingan-kepentingan predatornya sendiri [kebijakan negeri-negeri kecil di Balkan, dsb].
Kenyataan bahwa di bawah kondisi-kondisi tertentu perjuangan pembebasan nasional melawan satu kekuatan imperialis dapat digunakan oleh Kekuatan “Besar” lainnya untuk kepentingan yang juga imperialis tidak boleh mendorong Sosial Demokrasi untuk mencampakkan pengakuan terhadap hak sebuah bangsa untuk menentukan nasib sendiri, seperti halnya dalam banyak kasus dimana kaum borjuasi menggunakan slogan republik untuk tujuan penipuan politik dan perampokan ekonomi, contohnya di negeri-negeri Amerika Latin, tidak mendorong mereka untuk meninggalkan republikanisme. — Bersambung ke Bagian 2
[1]. Alfred Dreyfys, seorang perwira Prancis, seorang Yahudi, yang pada 1894 dijatuhi hukuman penjara seumur hidup di pengadilan militer, berdasarkan tuduhan fitnah bahwa dia melakukan spionase dan pengkhianatan. Pengadilan yang provokatif dan penuh skandal ini diorganisir oleh kaum reaksioner. Gerakan untuk mendukung Dreyfus mengekspos adanya korupsi di pengadilan dan pemerintahan, dan menajamkan pertentangan antara kaum republikan dan royalis. Pada 1889 Dreyfus dimaafkan dan dibebaskan. Hanya pada 1906, setelah kasus ini diperiksa kembali, Dreyfus lalu direhabilitasi.
[2]. Pada 1913, seorang perwira Jerman menggunakan kata yang kasar yang menghina penduduk kota Saverne. Penduduk Saverne melakukan protes tetapi ditindas secara kejam oleh tentara, dimana banyak orang ditangkap tanpa alasan. Peristiwa ini lalu menyulut perdebatan besar di Jerman dan krisis kepercayaan terhadap pemerintah Jerman.
[3]. Karl Kautsky [1854-1938] menyandang reputasi sebagai guru besar Marxis Jerman. Lenin pun pada satu ketika menganggapnya sebagai gurunya. Akan tetapi, dengan semakin dekatnya revolusi, semakin menjauh ia dari Marxisme revolusioner. Sampai akhirnya dia menentang Revolusi Oktober mati-matian dan menjadi salah satu kekuatan kontra-revolusioner. Lenin dan Trotsky mengecam mantan guru mereka ini sebagai pengkhianat.