Segera Hentikan Operasi Militer di Maybrat dan Seluruh West Papua

Hampir 2.000 warga masyarakat sipil di kabupaten Maybrat wilayah Aifat Selatan, tepatnya di kampung Kisor dan Awet Maym telah mengungsi keluar dari desa mereka sejak tanggal 3 September 2021 akibat operasi besar-besaran oleh militer Indonesia. Dan saat ini para pengungsi sedang tersebar di beberapa kampung tetangga seperti Aitinyo, Sabun, Susmuk, dan sebagainya. Ada juga yang masih bertahan di hutan dengan bahan makanan seadanya sampai saat ini. Aktivitas belajar-mengajar pun ‘mati’ total, peternakan, perkebunan milik warga tidak terurus, rumah dan harta benda semuanya ditinggalkan.

Operasi tersebut berawal dari penyerangan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPN-PB) terhadap Posramil di kampung Kisor pada tanggal 2 September 2021 yang mengakibatkan 4 orang anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) meninggal dunia.

Merespon itu, negara mengerahkan ratusan personil TNI dan Polri ke Maybrat dengan dalil ‘pengamanan’, serta pengejaran pelaku. Pada tanggal 3 September 2021, Kepala Penerangan Kodam XVIII/Kasuari Letnan Kolonel, Arm Hendra Pesireron mengaku bahwa 100 sampai 150 personel telah dikerahkan. Ini belum menghitung jumlah personel tetap di Maybrat dan Sorong Selatan. Sehingga saat ini diperkirakan jumlah militer telah mencapai 400-an personel. Dan mereka telah menguasai seluruh Maybrat.

Pos-pos militer didirikan sepanjang jalan-jalan umum seperti di Susmuk, sungai Kamndan, dan sebagainya. Militer menyita identitas warga sipil yang melintas. Barang bawaan juga disita dan diperiksa, alat-alat berkebun seperti parang, kampak, dan tombak juga diambil. Kondisi ini membuat warga sipil menjadi trauma dan tidak berkebun serta berburu seperti biasanya.

Pada hari pertama, TNI dan Polri melancarkan operasi secara serampangan dan membabi-buta di perumahan-perumahan milik warga. Akibatnya dua orang warga sipil, Simom Waimbewer dan Maikel Yaam ditangkap secara sewenang-wenang dan ditahan sampai hari ini tanpa pembuktian yang jelas. Sementara itu TNI dan Polri melancarkan pembusukan terhadap organisasi sipil milik rakyat Papua, Komite Nasional Papua Barat (KNPB) tanpa satu pun alat bukti yang menguatkan tuduhan mereka.

Inilah wajah asli TNI dan Polri di atas tanah air West Papua. Kondisi di wilayah Maybrat hari ini sama persis perlakuanya seperti di Intan jaya, Nduga dan Puncak Papua, bahkan di seluruh West Papua sejak 1961 hingga hari ini. Pendudukan Indonesia dengan pola militeristik telah menelan 500.000-an lebih jiwa penduduk asli Papua, ribuan masyarakat juga kehilangan rumah, ternak, dan harta benda. Bahkan tidak sedikit rakyat Papua yang lahir dan tumbuh di bawah teror psikologi juga fisik. Ditambah lagi dengan ingatan kekerasan militer masa lalu yang selalu menghantui bayang-bayang kehidupan orang Papua membuat hidup orang Papua kian buruk dan hancur di atas tanah airnya.

Operasi militer selalu menjadi solusi Indonesia untuk menangani konflik berkepanjangan di West Papua. Ini menunjukan dengan jelas bahwa Indonesia tidak punya niat baik sama sekali untuk menyelesaikan persoalan Papua, selain menambah deretan luka dan kekerasaan.

Otonomi Khusus (Otsus), pembangunan jalan dan infrastruktur, serta gagasan tentang kesejahteraan untuk West Papua telah menjadi sampul untuk menutupi kekerasan sistematis negara yang berkepanjangan, masif dan terstruktur. Sebab, hanya dengan cara itu eksistensi kekuasaan negara borjuis yang menjajah untuk meghisap darah dan keringat manusia dapat terus dipertahankan. Maka dari itu, kami yang tergabung dalam front Petisi Rakyat Papua (PRP) Tolak Otsus Jilid II menyatakan sikap tegas sebagai berikut:

Pertama: Tarik militer organik dan non-organik dari Maybrat-Aifat, Nduga, Intan Jaya, Puncak Papua, dan seluruh tanah Papua.

Kedua: Hentikan operasi militer di Kabupaten Maybrat, Distrik Aifat yang sedang berlangsung.

Ketiga: Hentikan operasi militer yang mengakibatkan pengungsian berkelanjutan di Nduga, Intan Jaya, Puncak Papua, dan juga Maybrat.

Keempat: Mengutuk tindakan serampangan dan membabi-buta yang dilakukan oleh TNI dan Polri terhadap masyarakat sipil yang menyebabkan terjadinya pengungsian besar-besaran di Maybrat.

Kelima: Bebaskan Simon Waymbewer dan Maikel Yaam tanpa syarat. Mereka adalah warga sipil, bukan pelaku.

Keenam: Buka akses jurnalis asing dan independen ke Maybrat dan seluruh tanah Papua.

Ketujuh: Hentikan upaya kriminalisasi yang dilakukan aparat negara terhadap Komite Nasional Papua Barat (KNPB) yang merupakan gerakan sipil yang tidak ada kaitanya dengan kontak tembak antara TNI-POLRI dan TPN-PB di Aifat, Maybrat.

Kedelapan: Bebaskan tahanan politik Papua Victor Yeimo, Frans Waisini, Ham Nauw, Jon Bless, Doni Patilulu, Wenceslaus Saud, Kris Djamona dan Bertus Fenemtruma tanpa syarat!

Kesembilan: Tolak Otsus Jilid II yang merupakan praktek kolonisasi di atas tanah Papua.

Kesepuluh: Tolak PON 2021 sebagai program Negara untuk meredam perlawanan rakyat Papua.

Kesebelas: Tolak investasi di Blok Wabu, tutup Freeport, dan semua Perusahan Nasional, Multinational Corporate (MNC) yang merupakan dalang utama pelanggaran HAM dan ekosida di tanah Papua.

Kedua belas: Berikan hak penentuan nasib sendiri sebagai solusi demokratis bagi rakyat Papua melalui mekanisme referendum.

Demikian Pernyataan sikap ini kami tegaskan, salam solidaritas dan persatuan nasional.

Medan Juang, 9 September 2021

Juru Bicara Internasional – Victor Yeimo

Juru Bicara Nasional – Sem Awom

sumber: Independent Movement ID