Pengenalan Kepada Teori Ekonomi Marxis – Bagian 8

ERNEST MANDEL

I.8 Validitas Teori Nilai Kerja

Untuk menyimpulkan, kita menghadirkan tiga bukti tradisional dari teori nilai kerja.

Yang pertama adalah bukti analitis, yang memulai dengan memerinci harga sebuah komoditi kedalam elemen-elemen penyusunnya dan menunjukan bahwa jika proses dilihat cukup jauh, hanya kerja yang akan ditemukan.

Harga setiap komoditi dapat direduksi menjadi sejumlah komponen: penyisihan uang untuk mesin dan bangunan, yang kita sebut dengan pembaharuan dari kapital tetap; harga bahan baku dan produk tambahan; upah; dan akhirnya, semua hal yang merupakan nilai lebih, seperti keuntungan, sewa, pajak, dsb.

Selama dua komponen terakhir diperhatikan, upah dan nilai lebih, telah ditunjukan bahwa kedua hal tersebut adalah sederhana dan murni kerja. Mengenai bahan baku, kebanyakan dari harga bahan baku tersebut sebagian besar dapat direduksi pada kerja; sebagai contoh, lebih dari 60 persen biaya penambangan batu bara merupakan upah. Jika kita mulai dengan memerinci biaya manufaktur rata-rata komoditi menjadi 40% untuk upah, 20% nilai lebih, 30% untuk bahan baku dan 10% dalam kapital tetap; dan jika kita berasumsi bahwa 60% biaya bahan baku dapat direduksi menjadi kerja, maka kita telah memiliki 78% total biaya direduksi menjadi kerja. Sisa biaya bahan baku diperinci menjadi biaya bahan baku lainnya – dapat direduksi karena 60% kerja – ditambah biaya penyisihan untuk mesin.

Harga mesin dalam bagian besarnya terdiri dari kerja (sebagai contoh, 40%) dan bahan baku (sebagai contoh, 40% juga). Bagian kerja dalam biaya rata-rata semua komoditas berturut-turut melewati hingga 83%, 87%, 89,5%, dsb. Jelas bahwa semakin jauh pemerincian tersebut dijalankan, semakin keseluruhan biaya cenderung dapat direduksi menjadi kerja, dan hanya kerja.

Bukti kedua adalah bukti logika, dan ini merupakan yang ditulis dalam permulaan Kapital-nya Marx. Buku tersebut telah membingungkan cukup banyak pembaca, karena buku tersebut tentu saja bukanlah pendekatan pedagogis paling sederhana pada pertanyaan tersebut.

Marx mengajukan pertanyaan tersebut dengan cara demikian. Jumlah komoditi adalah sangat besar. Hal tersebut dapat dipertukarkan, yang berarti bahwa komoditi tersebut harus memiliki kualitas yang sama, karena semua hal yang dapat dipertukarkan dapat diperbandingkan dan semua hal yang dapat diperbandingkan harus memiliki setidaknya satu kesamaan kualitas. Benda-benda yang tidak memiliki kesamaan kualitas adalah, dengan definisi, tidak dapat saling dibandingkan.

Mari kita menyelidiki setiap komoditi tersebut. Kualitas apa yang mereka miliki? Pertama sekali, mereka memiliki kumpulan tak terhingga dari kualitas alami: berat, panjangnya, kepadatan, warna, ukuran, sifat molekular; singkatnya, semua kualitas fisik, kimia dan kualitas alami mereka yang lainnya. Apakah ada salah satu dari kualitas fisik yang dapat menjadi dasar untuk membandingkan mereka sebagai komoditi, berfungsi sebagai ukuran umum dari nilai tukar mereka? Mungkinkah itu berat? Tentu saja tidak, karena satu pon mentega tidak memiliki nilai yang sama dengan satu pon emas. Apakah itu volume atau panjangnya? Contoh-contoh akan segera menunjukan bahwa semua kualitas fisik tersebut tidak dapat menjadi ukuran umum dari nilai tukar. Singkatnya, semua hal tersebut yang menyusun kualitas alami komoditi, semua hal yang merupakan kualitas fisik atau kimia dari komoditi tersebut, tentu saja menentukan nilai gunanya, kegunaan relatifnya, tetapi bukan nilai tukarnya. Nilai tukar harus sebagai akibatnya diringkas dari semua hal yang menyusun kualitas fisik alami dalam komoditas tersebut.

Kualitas umum harus ditemukan dalam semua komoditi tersebut yang bukan fisik. Kesimpulan Marx adalah bahwa satu-satunya kualitas umum dalam komoditi tersebut yang bukan fisik adalah kualitas komoditi tersebut karena merupakan produksi dari kerja manusia, dari kerja abstrak manusia.

Kerja manusia dapat dilihat dalam dua jalan yang berbeda. Kerja manusia dapat dianggap sebagai kerja kongkret khusus, seperti kerja pembuat roti, pemotong daging, pembuat sepatu, penenun, pandai besi, dsb. Tetapi selama hal tersebut dilihat sebagai kerja kongkret khusus, hal tersebut dilihat dalam aspek kerja yang menghasilkan hanya nilai guna.

Dibawah kondisi tersebut kita memperhatikan hanya kualitas fisik dari komoditi dan hal tersebut merupakan kualitas yang tidak dapat dibandingkan. Satu-satunya hal yang komoditi miliki dalam kesamaan dari titik pandang untuk menukarkan mereka adalah bahwa semua hal tersebut dihasilkan oleh kerja abstrak manusia, yaitu, oleh produsen yang berhubungan satu sama lainnya atas dasar keseimbangan sebagai hasil dari fakta bahwa mereka semua menghasilkan barang-barang untuk pertukaran. Kualitas umum komoditi, sebagai akibatnya, berdampingan dalam fakta bahwa semua komoditas tersebut merupakan produk kerja abstrak manusia dan adalah hal tersebut yang menyediakan ukuran bagi nilai tukar mereka, dari kemampuan tukar mereka. Itu adalah, sebagai akibat, kualitas kerja kebutuhan secara sosial dalam produksi komoditi yang menentukan nilai tukar mereka.

Mari kita segera menambahkan bahwa rasionalisasi Marx disini adalah baik abstrak dan sulit dan setidaknya masih dapat dipertanyakan, sebuah titik yang banyak diambil oleh lawan Marxisme dan digunakan untuk menyerang, bagaimanapun tanpa sukses.

Apakah fakta bahwa semua komoditas dihasilkan oleh kerja abstrak manusia benar-benar satu-satunya kualitas yang mereka miliki secara umum, terlepas dari kualitas alami mereka? Tidak sediki penulis yang berpikir mereka telah menemukan yang lainnya. Secara umum, bagaimanapun juga, hal tersebut selalu direduksi entah pada kualitas fisik atau pada fakta bahwa mereka adalah produk kerja abstrak.

Bukti ketiga dan terakhir dari ketepatan teori nilai kerja adalah bukti oleh reduksi pada ke-absurd-an. Hal tersebut, lebih lagi, merupakan bukti yang paling bagus dan paling “modern”.

Bayangkan sesaat sebuah masyarakat dimana kerja hidup manusia sepenuhnya hilang, yaitu, sebuah masyarakat dimana semua produksi telah 100 persen otomatis. Tentu saja, selama kita tetap dalam tahap transisi saat ini, dimana beberapa kerja telah sepenuhnya otomatis, yaitu, sebuah tahapan dimana pabrik-pabrik tidak menggunakan pekerja berdiri seiring pabrik lainnya dimana kerja manusia masih dimanfaatkan, tidak ada persoalah teoritis khusus, karena hal tersebut hanya merupakan pertanyaan mengenai transfer nilai lebih dari satu perusahaan ke perusahaan yang lainnya. Hal tersebut adalah sebuah ilustrasi hukum penyeimbangan angka keuntungan, yang akan kita teliti nanti.

Tetapi mari kita bayangkan bahwa perkembangan tersebut telah didorong pada tingkat ekstrimnya dan kerja manusia telah sepenuhnya dihilangkan dari semua bentuk produksi dan layanan jasa. Dapatkan nilai terus ada dibawah kondisi tersebut? Dapatkah ada sebuah masyarkat dimana tidak ada yang memiliki pemasukan tetapi komoditi terus memiliki nilai dan dijual? Tentu saja situasi semacam itu adalah absurd. Produksi massal besar akan diproduksi tanpa produksi tersebut menciptakan pemasukan apapun, karena tidak ada manusia yang terlibat dalam produksi tersebut. Tetapi seseorang ingin “menjual” produk tersebut dimana tidak ada lagi pembeli!

Adalah jelas bahwa distribusi produk dalam masyarakat semacam itu tidak akan efektif lagi dalam bentuk penjualan komoditas dan sesungguhnya menjual akan menjadi semakin absurd karena kelimpahan produksi oleh otomatisasi umum.

Diekspresikan dengan cara yang lain, sebuah masyarakat dimana kerja manusia akan secara total dihilangkan dari produksi, dalam makna ungkapan yang paling umum, termasuk juga layanan, akan menjadi sebuah masyarakat dimana nilai tukar juga akan dihilangkan. Hal ini membuktikan validitas teori tersebut, sementara kerja manusia hilang dari produksi, nilai juga hilang mengikutinya. — Bersambung ke Bagian 9

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *