GEORGI PLEKHANOV
III
Sekali lagi: keinsafan akan keniscayaan yang absolut dari sebuah fenomena tertentu hanya dapat meningkatkan energi seseorang yang bersimpati dengan fenomena tersebut dan yang menganggap dirinya sebagai salah satu kekuatan yang melahirkannya. Bila manusia semacam ini, yang sadar akan keniscayaan fenomena ini, berpangku tangan dan tidak melakukan apa-apa, dia akan menunjukkan dia tidak memahami aritmetika. Mari kita bayangkan bahwa fenomena “A” akan terjadi di bawah syarat-syarat tertentu “S”. Kamu telah membuktikan kepada saya bahwa sebagian dari syarat-syarat ini telah terpenuhi, dan sebagian lainnya akan terpenuhi dalam waktu tertentu “T”. Karena yakin dengan ini, saya, seorang yang bersimpati dengan fenomena “A”, menyatakan: “Baiklah!” dan lalu pergi tidur sampai hari-H peristiwa yang telah kamu ramalkan. Apa hasilnya? Hasilnya demikian: dalam perhitunganmu, total syarat-syarat “S” yang diperlukan untuk merealisasikan fenomena “A” juga mengikutsertakan aktivitas saya, yang katakanlah setara dengan “a”. Namun, karena saya tidur lelap, jumlah total syarat-syarat yang dibutuhkan untuk fenomena tersebut pada waktu “T” akan menjadi “S-a”, dan bukan “S”, yang mengubah situasi ini. Mungkin tempat saya akan diambil oleh orang lain, yang juga sebelumnya tidak melakukan apapun, tetapi kemudian terdorong untuk bertindak setelah menyaksikan sikap masa bodoh saya, yang menurutnya sangat mengejutkan. Dalam kasus ini, kekuatan “a” akan digantikan oleh kekuatan “b”, dan bila “a” adalah sama dengan “b” (a=b), maka jumlah total syarat-syarat untuk “A” akan masih sama dengan “S”, dan fenomena “A” tetap akan terjadi pada waktu “T”
Tetapi bila kekuatan saya tidak bisa dianggap setara dengan nol, bila saya adalah seorang pekerja yang bertalenta dan mampu, dan tidak ada yang menggantikan saya, maka kita tidak akan memiliki jumlah total “S” yang penuh, dan fenomena “A” akan terjadi lebih terlambat daripada yang kita asumsikan, atau tidak sepenuhnya seperti yang kita harapkan, atau bahkan tidak akan terjadi sama sekali. Ini sangat jelas. Bila saya tidak memahami ini, bila saya berpikir bahwa “S” akan tetap menjadi “S” bahkan setelah saya mangkir, ini hanya karena saya tidak bisa menghitung. Tetapi apakah saya adalah satu-satunya orang yang tidak bisa menghitung? Kamu, yang meramalkan bahwa jumlah total “S” akan terpenuhi setelah waktu “T”, tidak meramalkan bahwa saya akan tidur segera setelah percakapan saya dengan kamu; kamu yakin bahwa saya akan tetap menjadi pekerja yang baik hingga akhir; kamu ternyata mengandalkan kekuatan yang lebih tidak dapat diandalkan. Maka dari itu, kamu juga keliru dalam perhitunganmu. Tetapi mari kita anggap bahwa kamu tidak membuat kesalahan apapun, dan telah memperhitungkan segalanya. Dalam hal ini, perhitunganmu akan mengambil bentuk seperti ini: kamu mengatakan bahwa, pada waktu “T”, jumlah “S” akan terpenuhi. Jumlah total syarat-syarat ini akan mengikutsertakan pembelotan saya sebagai besaran negatif; dan ini juga akan mengikutsertakan, sebagai besaran positif, dorongan terhadap orang-orang berpendirian-kuat oleh keyakinan bahwa perjuangan dan cita-cita mereka adalah ekspresi subjektif dari keniscayaan subjektif. Dalam hal ini, jumlah total “S” pada akhirnya akan terpenuhi pada waktu yang telah kamu tunjuk, dan fenomena “A” akan terjadi. Saya pikir ini jelas. Tetapi bila ini jelas, mengapa saya dibuat bingung oleh keniscayaan fenomena “A”? Mengapa bagi saya keniscayaan ini melumpuhkan saya? Mengapa, dalam mendiskusikannya, saya melupakan hukum sederhana aritmetika? Mungkin karena bagaimana saya dibesarkan, saya sudah sangat cenderung tidak acuh, dan percakapan saya dengan kamu bagai jerami terakhir yang mematahkan punggung unta. Hanya dalam pengertian ini – sebagai penyebab yang mengungkapkan kegoyahan dan ketidakcocokan moral saya – kesadaran akan keniscayaan memainkan peran. Ini tidak dapat dianggap sebagai penyebab kegoyahan moral saya. Penyebabnya bukan itu, tetapi bagaimana saya dibesarkan. Oleh karenanya, aritmetika adalah ilmu yang sangat berguna, yang hukumnya tidak boleh dilupakan bahkan dan terutama oleh kaum filsuf.
Tetapi bagaimana keinsafan akan keniscayaan sebuah fenomena tertentu dapat mempengaruhi seorang yang berpendirian yang tidak bersimpati dengan fenomena tersebut dan menolak kehadirannya? Di sini situasinya agak berbeda. Sangatlah mungkin ini akan melemahkan semangat perlawanannya. Tetapi kapan dia menjadi yakin bahwa fenomena ini adalah tidak terelakkan? Ketika syarat-syarat yang mendukungnya menjadi sangat banyak dan sangat kuat. Oponen yang menjadi sadar akan keniscayaan ini, dan melemahnya energi mereka, tidaklah lebih dari manifestasi kekuatan syarat-syarat yang mendukung fenomena tersebut. Manifestasi semacam ini, pada gilirannya, adalah bagian dari syarat-syarat yang mendukungnya.
Tetapi semangat perlawanan tidak akan melemah di antara semua oponennya. Di antara beberapa dari mereka, semangat perlawanan mereka akan menjadi lebih kuat karena mereka menginsafi keniscayaan fenomena tersebut; ini kemudian berubah menjadi semangat keputusasaan. Sejarah umumnya dan sejarah Rusia khususnya menyediakan banyak contoh mengenai semangat macam ini. Kami harap para pembaca dapat mengingat contoh-contoh ini tanpa bantuan kami.
Di sini kami diinterupsi oleh Tn. Kareyev. Dia tentu saja tidak setuju dengan pandangan kami mengenai kebebasan dan keniscayaan dan, terlebih lagi, tidak setuju dengan keberpihakan kami pada “langkah-langkah ekstrem” yang ditempuh oleh orang-orang yang penuh gairah dan berpendirian. Kendati demikian, dia setuju dengan apa yang kami tulis di jurnal kami bahwa individu dapat menjadi kekuatan sosial yang besar. Profesor ini dengan riang mengatakan: “Saya sedari awal sudah mengatakan ini!” Memang benar, Tn. Kareyev dan semua kaum subjektivis, selalu memberi peran yang teramat penting kepada individu dalam sejarah. Ada masanya ketika gagasan mereka ini memperoleh simpati yang cukup besar di antara kaum progresif muda, yang dipenuhi dengan kehendak luhur untuk bekerja demi kebaikan publik dan, oleh karenanya, sewajarnya cenderung memberikan signifikansi yang besar pada inisiatif individual. Akan tetapi, pada dasarnya, kaum subjektivis tidak pernah mampu menyelesaikan, dan bahkan tidak mampu memformulasikan dengan baik, masalah peran individu dalam sejarah. Mereka mengontraskan “aktivitas oleh individu yang berpikiran kritis” dengan dampak hukum perkembangan sosio-historis, dan dengan demikian menciptakan sebuah variasi baru teori faktor: individu yang berpikiran kritis adalah salah satu faktor perkembangan ini, dan hukum perkembangan sosio-historis adalah faktor lainnya. Ini menciptakan sebuah keganjilan yang begitu mencolok, yang dapat diterima selama “individu-individu” yang aktif ini memusatkan perhatian mereka pada problem sehari-hari yang mendesak dan oleh karenanya mereka tidak punya waktu luang untuk merenungkan problem-problem filsafat. Tetapi masa tenang pada tahun 1880an memberi mereka yang mampu berpikir waktu luang untuk merenungkan filsafat; semenjak itu, doktrin subjektivis mengalami keretakan di mana-mana, bahkan luluh lantak seperti mantel Akaky Akakievich[14]. Tidak ada tambalan apapun yang dapat memperbaikinya, dan satu persatu orang-orang yang mampu berpikir mulai menolak subjektivisme sebagai doktrin yang jelas-jelas tidak kokoh. Tetapi seperti yang biasa terjadi dalam kasus seperti ini, reaksi melawan doktrin ini telah membawa beberapa oponen subjektivisme ke kutub ekstrem lainnya. Sementara beberapa kaum subjektivis, yang berusaha menganugerahi peran yang paling luas kepada “individu-individu” dalam sejarah, telah menolak mengakui perkembangan historis umat manusia sebagai proses yang diatur oleh sebuah hukum, beberapa oponen mereka baru-baru ini, yang telah mencoba memperjelas hukum yang mengatur perkembangan umat manusia, justru siap melupakan bahwa sejarah dibuat oleh manusia, dan oleh karenanya aktivitas individu jelas signifikan dalam sejarah. Mereka telah menyatakan, individu adalah kuantitas yang dapat diabaikan. Posisi ekstrem ini adalah teori yang tidak dapat diterima, sama halnya dengan posisi yang diambil oleh kaum subjektivis yang lebih fanatik. Bila kita mengorbankan tesis demi anti-tesis, ini tidak berlandasan seperti halnya kita melupakan anti-tesis demi tesis. Cara pandang yang tepat dapat ditemukan hanya ketika kita berhasil memadukan unsur-unsur kebenaran yang terkandung di dalam mereka menjadi sebuah sintesa.[15] — Bersambung ke Bagian IV
___________________
[14] Akaky Akakievich adalah karakter di dalam ceritanya Nikolai Gogol, The Overcoat. [Ed.]
[15] Dalam usaha kami untuk mencapai sebuah sintesa, kami dicegah oleh Mr. Kareyev. Namun sayangnya dia tidak bergerak lebih jauh daripada mengakui truisme bahwa manusia terdiri dari jiwa dan raga. [Plekhanov]
Pingback: Peran Individu Dalam Sejarah — Bagian II – Westpapuanews.Org