Serahkan Rp 1,5 M sambil cium tangan Tami Ondah, Kasatgas Ops Damai Cartenz janji balas kematian Briptu Rudi Agung

MANADO, Westpapuanews.Org — Duka cita keluarga Briptu Rudi Agung di Kelurahan Kopandakan I, Kotamobagu, Sulawesi Utara bertambah haru dengan kehadiran sosok Kasatgas Ops Damai Cartenz, Kombes Pol. Dr. Faizal Ramadhani, S.Sos, S.I.K, M.H, Rabu [20/9] kemarin sebelum upacara pemakaman.

Isak tangis keluarga dan teman-teman almarhum pun pecah saat Faizal Ramadhani menyentuh peti jenazah Briptu Rudi Agung. Pipi Istri Britu Agung, Tami Ondah terlihat basah akibat deraian air mata. “Terima kasih Pak! Terima kasih Pak!”, kata Tami Ondah di sela isak tangisnya.

Kehadiran Faizal Ramadhani di rumah duka seakan memberi kekuatan bagi Tami Ondah, yang merasa kehilangan ditinggal pergi suaminya Briptu Rudi Agung.

Selepas kepergian Briptu Rudi Agung untuk selamanya akibat ditembak mati gerilyawan TPNPB, hati Tami Ondah, yang kini berstatus janda, gundah gulana memikirkan beban berat yang harus dipikulnya sendirian.

Dia harus seorang diri membesarkan putri semata wayang mereka, Shezza Balvya Agung yang kini berusia tiga tahun. Belum lagi, sebagai janda muda, dia sadar akan nasibnya selepas kematian suaminya.

Seperti nasib para janda muda anggota TNI dan Polri di seluruh Indonesia yang selalu menjadi bulan-bulanan rekan-rekan suami mereka setelah sang suami tewas ditembak TPNPB, Tami Ondah sadar, dirinya pasti menjadi rebutan para Ompreng, rekan-rekan Briptu Rudi Agung di jajaran Sat Brimob Polda Sulawesi Utara, bahkan sebelum tanah kuburan suaminya kering.

Apalagi, para Ompreng mendiang suaminya rata-rata terkenal play boy, tiap hari mengkonsumsi kuliner ekstrim seperti Paniki, Anjing, Babi Hutan, Kucing, Ular, Tikus, Monyet, dan gemar minum Cap Tikus [Tuak Enau yang disuling].

Tetapi kesedihan Tami Ondah sedikit terhibur dengan kehadiran Faizal Ramadhani, sosok paling bertanggunjawab atas keselamatan pasukan Satgas Ops Damai Cartenz di Papua.

Nyawa pasukan Satgas Ops Damai Cartenz memang selalu bagai telur di ujung tanduk. Kondisinya labil, kapan saja bisa jatuh dan pecah.

Agar “telur tidak terjatuh dan pecah”, sosok Faisal Ramadhani, yang tidak hanya memiliki kemampuan tempur karena berlatar prajurit, tetapi juga memiliki kemampuan akademik yang baik, memang diperlukan untuk keperluan propaganda dan manipulasi informasi.

Sebagai komplotan bandit bersenjata berkedok Tentara Nasional dan Polisi Republik yang dikelola mirip Privat Military Company [PMC] atau Tentara Bayaran oleh rezim Fasis Indonesia, mereka kapan saja bisa ditembak TPNPB yang selalu setia menjaga tanah air West Papua sejak dicaplok paksa Indonesia dengan bantuan Amerika, Belanda dan PBB pada 1 Mei 1963.

Faizal Ramadhani membawa tiga titipan Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo untuk keluarga Briptu Rudi Agung. Pertama, Kapolri telah menaikan pangkat Briptu Rudi Agung, sebagai penghargaan atas kesetiaannya [sampai mati] menjaga keselamatan imigran Indonesia di Kabupaten Pegunungan Bintang. Ia mendapatkan kenaikan pangkat luar biasa dari Brigadir Satu menjadi Brigadir Polisi Anumerta.

Sebelumnya, pengumuman kenaikan pangkat Rudi Agung dari Briptu ke Brigpol Anumerta telah disampaikan Kapolda Sulawesi Utara, Irjen Pol Setyo Budiyanto, saat Satgas Ops Damai Cartenz menyerahkan jenazah Briptu Rudi Agung kepada Polda Sulawesi Utara di Bandara Sam Ratulangi Manado.

Kedua, Kombes Faizal Ramadhani memberikan uang santunan [uang kepala] sebesar Rp 1,5 Milyar yang diberikan Kapolri. Dana tersebut diterima langsung oleh Tami Ondah di depan peti Jenazah Brigpol Rudi Agung, disaksikan pihak keluarga.

“Mudah-mudahan sedikit dana santunan dari Mabes Polri ini bisa membantu keluarga yang ditinggalkan,” kata Kombes Faizal Ramadhani.

Ketiga, setelah memberikan dana santunan, Kombes Faizal Ramadhani mencium tangan Tami Ondah dan berjanji akan membalas kematian Brigpol Rudi Agung. Pembalasan ini merupakan perintah Kapolri untuk memberi rasa keadilan kepada keluarga korban.

Pembalasan juga diperlukan untuk memberi rasa aman kepada pihak imigran Indonesia di Pegunungan Bintang agar tetap bertahan menjalankan roda ekonomi kolonial sambil menindas OAP.

“Kami akan kejar mereka, para Teroris KKB biadab [TPNPB] itu sampai dapat, hidup atau mati,” kata Faizal Ramadhani sambil menahan tangisnya. Ketika mengucapkan janjinya untuk mengejar TPNPB itu, gigi Faisal Ramadhani terdengar gemeretak, menandakan dendam kesumatnya kepada TPNPB Kodap 35 Bintang Timur sudah sangat diluar batas, diduga karena dia mengidap Rasisme dan telah terpapar Radikalisme Islam.

Agak aneh memang. Ketika Indonesia mencaplok tanah Papua dan membanjiri Sorong-Merauke dengan manusianya asal Sabang – Ambon, kemudian, dikawal TNI-Polri melakukan perampokan terhadap SDA dan pembersihan etnis Papua [Genosida], hal itu disebut sebagai “Membangun Papua dengan Hati.”

Tetapi saat kaum pribumi Papua bangkit melakukan protes secara moderat sampai ke tingkat ekstrem, mengangkat senjata untuk membebaskan diri dari eksploitasi dan dominasi imigran Indonesia dari Sabang-Ambon, Indonesia menyebut mereka Teroris KKB.

Sebelumnya, pembalasan awal atas kematian Briptu Rudi Agung dan pembakaran 7 Kios [Pos tersembunyi Satgas Ops Damai Cartenz] oleh TPNPB telah dilakukan Satgas Ops Damai Cartenz dengan menembak 3 warga sipil OAP di Oksibil, salah satunya bocah berusia 12 tahun.

Teror brutal Satgas Ops Damai Cartenz ini telah memaksa sedikitnya 91 warga sipil OAP, termasuk puluhan anak-anak, Ibu hamil dan orang sakit, mengungsi ke hutan sekitar Oksibil untuk menyelamatkan diri.

Setelah menyerahkan dana santunan dan mencium tangan Tami Ondah Kombes Faizal Ramadhani berdoa agar istri dan anak Brigpol Rudi Agung selalu diberikan ketabahan serta keikhlasan. “Kami berdoa mudah-mudahan almarhum mendapatkan tempat yang layak di sisi Allah SWT di surga, semoga istri dan anaknya selalu diberikan ketabahan serta keikhlasan,” kata Faizal Ramadhani sebelum meninggalkan Rumah Duka.

Dana santunan terus meningkat

Sebagaimana diketahui, status Papua saat ini sebagai Daerah Operasi Militer [DOM] – tetapi di-iklan-kan melalui ‘kamuflase papan nama’ sebagai Operasi Penegakan Hukum – membutuhkan banyak prajurit TNI dan Polri untuk – diperintahkan oleh para Jenderal haus darah dari balik meja di ruangan ber-AC – bertugas di garis depan [sebagai umpan peluru] berhadapan dengan moncong senjata TPNPB di daerah konflik seperti Nduga, Pegunungan Bintang, Yahukimo, Puncak, Puncak Jaya, Intan Jaya dan Sorong Raya.

Sebagai kompensasi atas kerugian prajurit TNI Polri seperti kehilangan nyawa atau cacat [ringan atau permanen] dalam insiden baku tembak dengan TPNPB, pihak negara telah membuat semacam kebijakan rahasia untuk memberikan uang santunan kepada keluarga korban. Dana santunan ini berfungsi semacam uang tutup mulut agar keluarga duka tidak terlalu lama bersedih dan menangis.

Pada tahun 2023, besarnya santunan telah meningkat dari tahun-tahun sebelumnya, tergantung pangkat dan tingkat kecelakaan korban. Jika korban berpangkat perwira dan tewas ditembak, besarnya santunan Rp. 2,5 M. Jika korban berpangkat Brigadir, santunan yang diterima pihak keluarga sebesar Rp 1,5 Milyar. Dan jika korbannya berpangkat prajurit, santunannya sebesar Rp 1 Milyar.

Besaran dana santunan yang semakin meningkat dari tahun ke tahun telah memotivasi para orang tua untuk secara aktif mendorong putra-putra mereka melamar menjadi anggota TNI-Polri dengan target akhir menerima uang santunan jika anak-anak mereka tewas dibedil TPNPB.

Data-data menunjukan, pembagian dana santunan biasanya diatur secara kekeluargaan. Misalnya seorang prajurit tewas memiliki orang tua kandung dan isteri-anak, berarti dana santunan dibagi dua. Jumlah dana yang diterima masing-masing pihak sesuai kesepakatan.

Tetapi pembagian dana santunan kadang tidak memuaskan kedua belah pihak, karena masing-masing pihak ngotot mendapat bagian lebih besar. Contohnya di Sorong, Provinsi Papua Barat [Sekarang Papua Barat Daya]. Ketika seorang Brigadir TNI tewas ditangan TPNPB Sorong Raya dan pihak TNI memberikan uang santunan sebesar Rp. 1,5 Milyar, terjadi konflik antara pihak orang tua dan pihak isteri korban.

Orang tua beralasan mereka harus menerima Rp 1 Milyar karena orang yang sudah berubah jadi jenazah ini adalah anak kandung mereka. Sedangkan istri korban, yang mengikutsertakan keluarga besarnya tetap bertahan harus menerima Rp. 1 Milyar dengan alasan memiliki status nikah resmi dan ada tanggungan dua anak kecil yang ditinggal pergi sang ayah.

Adu mulut pun terjadi sampai berakhir dengan baku hantam selama dua hari, akhirnya Polisi, setelah mendapat laporan warga, datang menyeret mereka ke Polres untuk penyelesaian masalah secara damai. Negosiasi baru mencapai titik temu ketika utusan khusus dari Pangdam XVIII/Kasuari [Kodam XVIII/KSR] di Manokwari tiba dengan tas berisi uang tunai Rp. 500 Juta. Akhirnya kedua pihak yang bertikai saling memaafkan karena masing-masing pihak telah puas menerima uang tunai sebesar Rp. 1 Milyar.

Tetapi ada kasus pembagian uang santunan yang diatur baik. Misalnya untuk kasus Brigpol Rudi Agung. Keluarga Brigpol Rudi mengatur baik dana santunan sebesar Rp 1,5 Milyar yang diberikan Kapolri.

Pihak orang tua dan kerabat Brigpol Rudi Agung memilih tidak menerima sepeser pun dana santunan. Mereka sepakat dana santunan sejumlah Rp 1,5 Milyar yang diantar Kombes Pol Faizal Ramadhani itu diberikan utuh kepada sang janda, Tami Ondah, untuk digunakan merawat dan membesarkan putri semata wayang bernama Shezza Balvya Agung yang kini berusia tiga tahun. [W]

1 Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *